Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Six Ways To Sunday - 19.4 Hati-Hati Sama Hati


Question of the day: batagor atau siomay?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

"Lo bukannya nggak suka sama gue? I mean, nggak lebih dari sekedar sahabat."

"Siapa yang bilang?"

"Waktu gue bilang suka sama lo."

"Gue mau nikah, Jaja Miharja. Lo sekonyong-konyongnya bilang suka waktu kita pergi berdua sebelum gue nikah. Menurut lo aja gue harus gimana. Waktu itu juga gue punya komitmen sama mantan istri gue. I mean it waktu gue bilang gue nggak mau selingkuh. Dan gue emang cinta mantan gue waktu itu. I already put my feelings for you in the closet and lock it."

"Ta-tapi ..." aku membuat jarak lagi bagi kami. Memberikan jeda yang banyak untuk diriku menghirup oksigen supaya otakku bisa mengolah setiap kalimat. Tapi si otak kali ini memilih berhenti memakai logikanya. "Tapi lo nggak mau deket gue lagi malam itu."

"Gue kaget, Ja. Lo nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba bilang cinta. Gue capek-capek tata hati dan bahagia sama plihan gue, tapi lo tiba-tiba ngetuk pintu. Gimana jantung gue nggak mau copot." Amos sewot sendiri. "Gue tanya, deh. Emangnya lo nggak pernah cinta sama mantan pacar lo?"

"Ya enggak lah. Masa gue pacarin padahal nggak cinta. Tapi lo sama sekali nggak kontak gue setelah itu. Gue pikir lo nggak mau ada urusan lagi sama gue."

Amos menjentikkan jarinya. "Itu. Dan karena itu lo, gue harus ekstra kasih jarak. Tapi gue pilih Bali karena dulu lo bilang mau pindah ke sana. Gue pikir mungkin jarak dan waktu bakalan kikis perasaan lo ke gue, dan suatu saat kita bisa ketemu lagi sebagai sahabat dan bisa jadiin itu banyolan. But life hits. Hard. Gue terlalu sibuk buat jadi suami dan ayah. Jarak yang gue kasih lambat laun memangkas lo sepenuhnya."

Amos ingat aku pernah berkeinginan pindah ke Bali. Aku mengurungkannya saat tahu dia sudah lebih dulu pindah ke sana dan berakhir menetap di rumah ibuku.

"Timing kita nggak pernah pas. Waktu gue ngumpulin keberanian buat bilang ke lo, eh lo cerita lagi deket sama cowok lain. Terus, kalau lo nggak suka sama gue juga, bakalan aneh nggak, sih, hubungan kita nanti? Plus, gue juga nggak kebayang kalau nanti kita tiba-tiba canggung dan lo ngejauh."

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Mengerang kencang lalu mencubit pipiku kelewat keras hingga aku mengaduh sendiri. Yang terakhir aku tertawa seperti orang gila. Full on belly laugh. Seluruh tubuhku bergetar hebat karena tawa itu.

"Ja, kenapa sih lo selalu ngomong nggak pada tempatnya?"

Aku mau berbicara, tapi aku tidak bisa berbicara. Ini sangat lucu bagiku. Semuanya. Dari awal hingga akhir obrolan ini. Kali ini giliran Amos yang menjauh dariku dengan raut ngeri di wajahnya.

Tawa itu berlangsung lima menit penuh hingga aku kehabisan napas dan bengek sendiri. Saat semuanya sudah berlalu dan aku hanya ditingkahi tawa kecil, aku berbicara. "Lo tahu nggak dari kapan gue suka sama lo sebelum bilang malam itu?"

"Dari bayi? Gue terlalu memesona untuk diabaikan."

Aku menoyor Amos. "Jangan besar kepala. Titit lo besarin sono ke Mak Erot."

"Toket lo besarin sana pakai operasi."

Aku menggeleng, kenapa obrolan kami selalu meributkan hal tidak penting. "Kayak yang lo bilang. Timing kita nggak pernah pas. Waktu gue mau bilang ke lo antara chicken out atau lo baru punya pacar pas gue ngumpulin keberanian. It's like a full cycle of bad timing. Tapi yang bikin lo bilang sekarang apa?"

"Lo yang nangis jelek banget. Belum lagi ingus lo yang nggak berhenti ngalir kayak sungai. Gue doang kayaknya yang tahan lihatnya. Hasil latihan puluhan tahun. Jadi gue mengorbankan diri untuk kemanusiaan."

Aku menendang manusia tidak berguna ini hingga dia berguling di lantai. Dia tertawa lepas.

Dia menahan kedua kakiku seraya kembali duduk. Dengan satu tarikan darinya, tubuhku kini hanya berjarak satu langkah dari Amos. Dia tidak membiarkanku menjauh dengan mengunci tungkaiku di tubuhnya. Perangainya yang tiba-tiba serius tanpa ada sisa tawa membuatku gelagapan sendri.

"Jarak segini masih aman?"

"Ha?" Aku melongo karena tidak paham maksud dari pertanyaannya.

"Gue nggak tahu lo gimana setelah sama mantan berengsek lo dulu. Ada jarak aman yang harus gue jaga atau gimana?" Aku masih diam. Terlalu terkejut dengan semuanya. Jadi dia lanjut berbicara. "Lo bilang ke psikolog, ada trauma atau apa yang perlu gue tahu nggak?"

Tenggorokanku yang tercekat melonggar sedikit. "Mo, gue geli banget lihat lo kayak gini. Bisa yang normal aja nggak? Terus, ini kaki gue dilepasin. Gue merinding ngeri."

"Ogah. Gue juga geli sebenernya, tapi timing kita akhirnya pas. I'm not letting you go this time."

"Lo nggak tanya perasaan gue sekarang gimana? Emangnya gue mau sama duda buntut dua?"

Amos tanpa jeda menjawab pertanyaanku yang tergolong tidak sopan. Tapi ini bagaimana kami terus berbicara. Kecuali mengenai perasaan yang ternyata kami miliki untuk satu sama lain, tapi kami simpan sendiri dengan alasan yang sama persis: takut kehilangan.

"Emangnya siapa yang mau ngajak lo nikah. Gue ngajak lo coba pergi kencan sama gue. Lo pikir gue nggak bakalan seleksi ketat kali kalau mau kenalin ke anak gue. Balik ke pertanyaan yang lebih penting, apa yang bikin lo nyaman di skinship?"

Realization drawn into me in that second. Amos tidak menciumku karena takut aku tidak nyaman.

"Lo bisa bawa glass cover cap waktu kita kencan dan gue nggak bakalan tersinggung. Tapi lo bisa bilang ke gue apa yang bakalan bikin lo lebih nyaman buat pergi kencan sama gue. Misalnya lo mau dilingkungan yang lo kenal kayak di rumah lo. Anything to make you feel comfortable and safe."

"Anything?"

"Anything," sahut Amos mantap.

"Topik ini bikin gue nggak nyaman."

"Kecuali ini. Kan gue udah bilang tadi, kalau gue nggak bakalan lepasin kesempatan lagi."

Lagi-lagi tatapan tajam dan kalimat Amos yang tegas membuat bulu kudukku meremang. Setiap katanya menari-nari di atas permukaan kulitku dengan irama yang tak menentu yang kemudian menyebar ke perutku dengan sensasi geli.

"Mo, pelan-pelan dulu. Lo pikirin dulu. Perasaan gue ke lo nggak sama kayak dulu lagi. Lo yakin juga kalau ini bukan karena lo devastated ditinggal istri buat cowok lain? Buat buktiin kalau lo layak dan sejenisnya."

"Perasaan gue juga nggak sama kayak dulu ke lo. Kita bertumbuh banyak selama nggak ketemu. Everything molds us into what we are today, but I still find myself fall for the new you. Kita lebih dewasa dan cara mencintai nggak semenggebu-gebu dulu. Gue sekarang lebih suka dengan hubungan kita berdua yang apa adanya. Gue nggak perlu sembunyiin sesuatu dari diri gue supaya orang lain suka sama gue. Lo tahu gue luar dalam. Lo kenal semua keburukan dan kebaikan gue. I feel like myself when I'm with you. You feel the same way, right?"

9/10/23

Hayoooo hayoooo

Part 50-56 (TAMAT) sudah bisa dibaca lebih dulu di Karyakarsa Dadodado. Ini bonus dari extra part yang juga bisa dibaca lebih dulu, sudah ada 5 part di sana. Sila pakai kode voucher SWTS10K. Hanya sekali bayar, tinggal tunggu apdet.

Di Wattpad akan apdet seminggu sekali tiap hari minggu. Kecuali yang komen n pencet bintang banyak, boleh lah kita nego haha jangan lupa juga kalau extra part Jaja & Momo ada di WP jika part 1-56 sudah sampai target (bintang 3.2K dan komen 1.2K) ya :) jadi jangan lupa pencet bintang dan komen sebanyaknya!

Extra Part SWTS ada konflik yang sedikit lebih berat dari cerita utama dan resolusinya, jadi bukan cerita lepasan.

Sekian infonya, jangan lupa baca cerita lain yang sedang on going yaa biar nggak ketinggalan intermezzo part yang aku hapus 24 jam setelah apdet hihi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro