Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Six Ways To Sunday - 17.1 Sama-Sama Madesu



Question of the day: Harry Potter atau Lord of the Rings?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

Sepertinya aku salah membiarkan Amos melihat calon kencan potensialnya selama satu jam penuh di aplikasi LOVE 404.

True to his words, dia hanya melihat dari penampilan. Foto-foto cewek yang di-swipe ke kanan olehnya satu jenis; semuanya menggunakan heavy makeup dengan tubuh bahenol. Aku memberikan tatapan sebal paling yahudku ke arah cowok yang duduk di sebelah kanan.

Kami berada di rumahku. Lebih tepatnya di ruang keluarga dengan TV yang memperlihatkan Doraemon karena aku sedang mendoktrin Liora dan Adara untuk menyukai kartun ini. Tidak sulit karena mata mereka berdua sudah menempel di layar TV sehingga Rei yang dibebas tugaskan dan bisa pergi ke janji kencannya yang dibuat sejak minggu lalu. Sehingga kini aku dan Amos dapat menjalankan rencana yang kami setujui semalam sebelum dia pulang ke rumahnya.

"That the most judgmental eyes you ever showed me. And it's a lot." Amos menaikkan dua alis tebalnya tinggi.

"Yang lo swipe bahkan ada yang jelas-jelas nulis dia mau child-free. Lo inget nggak, sih, kalau lo itu duda-dua-anak-yang-ditinggal-sama-bininya-buat-cowok-lain?" Aku berbisik karena tidak mau omonganku didengar oleh dua bocah yang masih intens menonton Doraemon dan peralatan ajaibnya.

"Wow, lo kasih gue ide buat tarik simpati cewek-cewek di luar sana. Bapak tunggal yang kerja sambil urus dua anak perempuannya itu cara sempurna, kan?"

Amos adalah Amos yang selalu melihat ke sisi terang dan menertawai hidupnya. Aku tidak tahu harus senang dia tidak juga berubah sejak dulu, atau harus miris. "Gue nggak tahu kalau lagi tren jadiin status bapak dua anak dan bercerai jadi identitas seluruh hidup lo."

Amos mendekatkan wajahnya ke ponsel yang berada di tanganku. "Masa nggak ada yang ok, Ja? Coba dilihat lagi. Lo buka profilenya satu-satu."

"Lo yang perlu buka profilenya satu-satu. Dasar makhluk visual. Lihat bahenol sama cakep dikit langsung swipe kanan. Lo bacain satu-satu, dah itu."

Aku membuka profile Amos untuk mendapatkan ide apa yang ada dikepalanya.

Duda dua anak.

Hanya tiga kata ini yang ada di bio. Foto-fotonya pun isinya foto Amos dengan Liora dan Adara yang mukanya diberi stiker, dugaanku untuk menjaga privasi mereka. Tiga foto dan ketiganya Liora memeluk leher Amos dari belakang, sedangkan Adara di depan. Amos tersenyum lebar dengan satu tangan terangkat yang menandakan kalau itu adalah selfie.

"Lo nggak punya foto lain, Mo? Foto sendirian yang nggak ada Lio dan Ara."

Sebenarnya tanpa ini pun sudah banyak pesan masuk yang menyapa Amos.

"Lo kan tahu gue nggak pernah foto sendiri. It's weird."

"Terus lo nggak punya cara ngenalin diri yang lebih panjang dari tiga kata doang? Yang lebih broad dari identitas baru lo yang duda dua anak itu."

Amos tidak berhenti meneliti wajah-wajah di ponselku. Hidungnya berkerut, sesekali berdecak tidak senang. Ibu jarinya sudah memasuki mulut, tattletale kalau dia sedang serius meneliti apa pun yang ada di ponselku.

"Itu screening pertama. Biar yang mau ngechat pikir-pikir dulu."

"Nggak ngaruh. Ini yang chat udah belasan."

"Susah emang tolak pesona gue," balasnya tak berjeda dengan tingkat percaya diri yang tidak kunjung pudar meski sudah aku ingatkan status dudanya karena apa. "Ini kenapa cowok-cowok yang lo swipe madesu semua."

"Ngaca lo. Prospek cewek lo juga madesu. Punya gue lebih beragam dibanding lo."

"Sama semua, Jaja. Ini douchebag semua. Tipe lo kayaknya emang itu, ya."

Aku mendengkus dan berucap kepada diriku sendiri dengan suara super kecil untuk dikonsumsi telingaku sendiri. "No joke."

"Mana yang bikin lo paling tertarik?"

Kali ini giliran aku yang melongok ke ponselku yang ada di genggaman Amos. Aku menunjuk pada cowok dengan man bun berantakan di atas kepala. Wajahnya bisa dibilang cukup tampan dengan bibir berbentuk busur cupid dan mata yang hampir berbentuk garis saat tertawa ke arah kamera. Rahangnya yang tegas kontras dengan turtleneck hitam di satu-satunya foto yang dipajangnya. Profilenya tidak terlalu mencolok, hanya bertuliskan hobinya untuk berjalan-jalan dengan ransel ke berbagai tempat baik dalam dan luar negeri. Dia tidak menyematkan akun media sosialnya sehingga aku tidak dapat menggali lebih dalam, namanya pun hanya satu dan cukup pasaran, jadi mencarinya di mesin pencari hanya akan membuang waktuku.

Amos tampaknya berpikiran yang sama denganku, tapi dengan tingkat skeptis yang lebih tinggi. "Terlalu banyak rahasia. Bisa jadi dia suami orang atau pacar orang. Makanya dia nggak mau kasih akun media sosialnya."

Aku tidak mau mengakui, tapi Amos ada benarnya. Cowok yang terlalu menutupi kehidupan sosialnya bisa jadi karena dia memiliki rahasia yang tidak mau diungkap. Menjadi suami atau pasangan orang lain salah satunya.

"Nggak percuma lo dulu selingannya banyak. Yang sejenis biasanya emang saling kenal."

Dia mendorong dahiku hingga aku kembali menyender ke sofa. "Gue nggak pernah selingkuh, ya."

"Tapi nggak ada yang lo pacarin juga."

"Tetep aja nggak bisa masuk kategori selingkuh." Amos menatapku yang menurunkan kedua sudut bibirku ke bawah dan melemparkan tatapan menghakimi ke arahnya. "Bisa jadi ini karma karena kelakuan gue dulu. Puas lo?"

Bahuku terangkat sekali. "Gue nggak bilang apa-apa."

"Muka lo nunjukin semuanya." Amos menutup wajahku dengan tangannya.

Aku memukul tangan cowok itu. "Yang ini kalau gitu." Aku memperlihatkan profile cowok yang jelas sekali menunjukkan kalau dia adalah gym bro. Dari fotonya di dalam gym dengan pakaian olah raga tanpa lengan. Yang membuatku tertarik adalah lengan kiri besarnya yang bertato. "Lumayan temen nge-gym. Lebih bagus lagi kalau dia bisa jadi PT gratis."

"Gue nggak yakin lo pernah bernapas di ruangan yang sama ma dia. Emang lo pernah join membership gym?" Amos mengangkat tangan kiriku dan menggoyang trisep yang bergelambir tanpa banyak kata. Kali ini gantian aku yang menutup wajahnya dengan bantal meskipun aku tahu dia benar seratus persen.

Dengan kesal, aku menunjuk profile lain dan menunggunya melontarkan hinaan kepadaku.

"Ini ... kayaknya ok," katanya singkat.

Cowok di foto profile itu menggunakan kaos band jadul berwarna hitam dan tengah bermain gitar. Tampaknya diambil secara candid karena dia terlihat menikmati musik ketimbang tengah berpose. Rambutnya yang panjang tergerai dan berantakan seolah dia tidak peduli dengan hal lain selain gitarnya.

Aku baru akan bernapas lega saat Amos mengatakan. "Nope. Not this one. Dia jelas-jelas tulis nggak tertarik sama hubungan. Which means he only do casual. Don't delude yourself thinking he will change for you."

"I can do casual."

"You have I-want-to-mary-the-love-of-my-life with Pinterest board for your wedding day written all over your face."

Aku manyun lantaran Amos benar lagi. Bahkan di bagian Pinterest board karena aku pernah membuatnya sepuluh tahun lalu. Bahkan hingga sekarang aku masih suka menyematkan beberapa hal yang aku suka di pinterest board-ku. Jaga-jaga jika ada yang cukup khilaf untuk memintaku jadi istrinya.

Amos melihat ekspresiku dan aku yang tidak membalas ucapannya sebagai kemenangan tersendiri. Dia mengulir layar ponselku sambil menggumamkan nope, enggak, apaan sih ini, dan kalimat sejenisnya. Dia melemparkan ponsel itu ke sisi lain sofa setengah jam kemudian.

"Gue nyerah cari di aplikasi. Kita lakuin cara lama aja: ke café buat lihat-lihat dan flirting."

16/9/23

Hayo Jaja mau nggak wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro