Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Six Ways To Sunday - 10.2 Jaja, Momo, Dan Teh


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)

🌟


"Tengah malem gini judes lo makin menjadi-jadi, ya?" Amos berbicara dengan mulut penuh dan sebagian kecil dari browniesnya mencelat ke mana-mana. Aku meringis geli, tidak tahu kenapa bisa-bisanya aku jatuh cinta setengah modar sama manusia satu ini selama bertahun-tahun.

"Tengah malam gini nggak tahu diri lo semakin menjadi-jadi, ya? Memangnya lo pernah terima tamu tengah malam gini? Tamu yang buka kulkas dan bikin teh sendiri kayak dia di rumahnya." Aku mengoceh, tapi perut lapar membuatku ikut memakan brownies itu. Aku memang sengaja menyimpannya untuk camilan tengah malam saat bekerja.

Amos mengernyitkan alisnya, berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban. "Pernah. Waktu lo ketakutan sama petir dulu. Lo merepet kayak petasan banting."

Aku melemparkan tisu yang sudah kuremas-remas ke arah cowok yang tidak berhenti mengunyah sambil memberikan jawaban. "Gue nggak datang ke rumah lo. Gue nggak makan camilan lo, apalagi bikin teh di sana."

"Tapi lo ganggu tidur dan mimpi indah gue sampai hujannya reda," Amos lalu memicingkan matanya, "itu terjadi selama musim hujan yang kita tahu bisa beberapa bulan. Tambahin juga itu hitungannya tahunan. Gue bisa kasih catatan hutang lo."

Aku tidak percaya kalau Amos mengungkit hal yang terjadi belasan tahun lalu dengan mata yang terbelalak. "Pelit. Medit. Koret. Kuburannya sempit."

"Right back at you. Kacang lupa kulitnya."

Grrr. Empat ejekanku dibalas dengan satu saja, tapi mampu membuatku bungkam. Membawa masa kecil kami membuatku tidak bisa membalikkan kata-katanya. Curang!

Seakan tahu kalau dia memenangkan ronde ini, Amos melemparkan senyum kemenangan, membuatku semakin kecut.

"Besok gue yang bawa baju Lio dan Ara ke sini pagi-pagi. Terus gembok depan dikunci aja. Mami punya kunci cadangan rumah ini yang Nantulang kasih sebelum berangkat." Amos menunjukkan kunci rumah dengan gantungan bertuliskan Danau Toba milik Mama. "Gue bakalan pulang tepat waktu besok, tapi mungkin sampai sini pukul tujuh kurang. Gue bawa makanan, jadi nggak usah beli makan malam."

"Gue ogah makan sama lo."

"Dih, siapa juga yang mau makan bareng? Gue bilang gue bawain makanan, bukan mau lihat muka lo di meja makan. GR banget hidup lo."

Kali ini aku melemparkan kotak brownies yang sudah kosong ke arah Amos. Perpaduan kesal dan malu karena ucapannya, juga karena camilanku habis diganyang cowok ini padahal aku baru mau makan satu lagi. "Beliin brownies gue!"

Kotak brownies sudah terjatuh ke lantai tanpa mengenai Amos yang gesit menghindar. "Iya, iya. Besok gue beliin. Ribut banget soal brownies doang." Dia membawa cangkir tehnya ke dapur dan memang dasar tamu tidak tahu diri, dia meninggalkannya begitu saja di sink. Dia tahu kalau itu akan membuatku kesal dan sengaja melakukannya. "Nanti gue yang anter Lio ke sekolah. Kayaknya di gudang masih ada carseat cadangan. Akhir pekan mereka full sama gue—"

"That goes without saying. Lo bapaknya, ya kali lo masih titipin juga ke orang lain waktu lo nggak kerja."

Posisiku yang membelakangi dapur membuatku tidak sadar kalau Amos sudah berada di belakangku. Satu tangannya mencubit bibirku cukup kencang hingga kepalaku ikutan maju, seperti dulu saat aku tidak berhenti mengoceh ketika kesal, itu membungkamku lebih cepat dari yang aku kira. Antara itu atau karena kontak fisik kami setelah sekian lama dan aku benci reaksiku.

"Bisa nggak ini mulut jangan ngoceh mulu? Lebih berisik lo dari burung Papi."

"Nggak tahu. Gue nggak pernah lihat burung Amang Boru."

Amos melotot jijik. "Bisa nggak lo jangan bahas burung bapak gue?" Dia menggeleng kesal, tapi melanjutkan ucapannya sebelum kupotong tadi. "Gue bakalan ajak mereka ke playground atau nonton film anak-anak, atau yang lainnya. Jadi gue pastiin Lio nggak bakalan ganggu lo selama weekend." Dia mengambil satu napas panjang dari mulutnya, "Thank you sudah bantu jaga anak-anak gue. Gue lebih tenang di kantor karena tahu mereka sama orang yang dikenal, dibanding gue harus titipin sama nanny atau ke daycare."

Aku menolak melihat ke arah cowok itu, memfokuskan mata ke cangkir yang berada di dalam genggaman terasa lebih mudah. Sementara itu, Amos kembali duduk di kursinya.

"Lio." Cara Amos mengucapkan nama anaknya terdengar getir. "Dia nggak mudah. Semua nanny yang pernah jagain dia selalu keluar. Nyerah karena Lio selalu ngerjain mereka."

Jariku terangkat dan menghentikan laju bicara Amos. "Gue nggak ingat buka sesi curhat tengah malam."

Tanpa kehilangan momentum, Amos kembali membuatku diam seribu bahasa. "Gue nemenin lo yang ketakutan sehabis kita nonton Sadako. Seingat gue, itu tengah malam sampai subuh. You reap my ear off with every scream."

Ugh!

Dia kembali tersenyum pongah. "Gue harus balik ke sini setelah suster terakhir mereka keluar. Itu suster kesepuluh lebih kayaknya. Sampai nggak ada penyalur suster yang mau lagi kasih yang baru. Daycare juga dia langganan dikeluarin. Gue bersumpah mereka punya paguyuban buat ngomongin anak yang bermasalah, karena semua daycare yang gue tanyain selalu bilang penuh. I know it's not fair for you, but I can't thank you enough for doing this. Juga ke Rei." Senyum yang tersungging di bibirnya tadi kini sudah menghilang. Dia tampak serius saat membicarakan Liora dan Adara.

Aku kembali melihat sisi Amos yang tidak pernah aku temukan sebelumnya. Sisi dewasa yang kebapakan. Sisi orang tua yang mengkhawatirkan anaknya, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan karena dia juga kehilangan arah. Dia tersesat.

Aku kenal ekspresi itu dengan baik karena aku juga pernah melalui fase ini beberapa tahun yang lalu. Bedanya itu pilihanku, sedangkan orang lain mengambil pilihan itu dari Amos sehingga dia merasa gamang.

Gusar mengisi dadaku. Aku seharusnya menjaga kuda-kudaku sehingga kebal dari serangan yang Amos lancarkan tanpa dia sadari, tapi cowok yang berada di hadapanku sekarang membuatku seperti melihat diriku sendiri. And I swear I'm doing this for the sake of our old friendship and for the sake of comraderies.

"Lo pernah bawa Ara dan Lio ke psikolog nggak?" Amos menggeleng. Aku tahu kalau terkadang hal-hal seperti itu terlewat begitu saja setelah menghadapi badai besar yang mengguncang kapalmu. Kamu akan sibuk menambal setiap lubang yang terlihat, tetapi melewatkan yang kasat mata hingga akhirnya kamu tenggelam. "Gue nggak tahu bilangnya gimana ke lo tanpa bikin lo kesal."

"Oh, please, lo nggak pernah nggak bikin gue kesal."

Memang manusia satu ini nggak bisa dibaikin.

"You know after all the things they went through."

"You mean the dawn fall and the crashing?"

"Gue berusaha buat memperindah kata-kata gue."

"Nggak ada yang indah dari gimana ibu mereka pergi gitu aja. Jadi lo nggak perlu tempelin bunga-bunga di kalimat lo. Your bluntness suits this situation the most."

Oh, he wants bluntness? I'll give him the most bitter pill to swallow.

25/4/23

ihiwww curhat-curhatan. Bagi-bagi cerita, makanan, teh, ntar bagi apaan lagi.

Ni, aku apdet lebih cepet biarpun part sblmnya belum sampai target atau belum waktunya apdet. Apdet lagi waktu bintang 500 dan komen 100 ya ges, atau 13 Mei 2023 :D

yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro