9. Ini Bukan Lari Estafet
Halo! Semoga sehat dan bahagia selalu (*ˊૢᵕˋૢ*)
Ada satu gambar di luar banner pada bab ini. Enggak dilihat juga tidak apa-apa (ノ・ェ・)ノ soalnya udah dideskripsikan.
Jangan lupa menekan tombol vote sebelum membaca. Selamat membaca (/^▽^)/
***
Elio.
Aku tidak tahu mana yang lebih mengganggu, antara kenyataan bahwa semua ini bersumber dari kesalahan murni Matthea atau melihatnya bicara dengan si Fee-Fee itu dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Ah, sialan!
Kenapa juga, kutukan ini hanya pindah setengah-setengah? Bukan berarti aku ingin jadi siren sepenuhnya, tetapi si Matthea ... jadikan saja dia manusia seutuhnya! Kalau dia manusia, lancar berbahasa manusia, dan melupakan bahasa siren, pasti tidak perlu mengabaikanku seperti orang dungu dan asik bicara berdua saja dengan Fee-Fee itu. Tidak adil! Kenapa di saat begini, bahasa ikan yang kupahami malah terbatas sekali. Matthea juga tidak lancar bahasa manusia, tetapi tidak keberatan. Aku sebenarnya tidak masalah, malah senang karena berarti sisi manusiaku lebih banyak dari siren, tetapi dikacangin gini rasanya menyebalkan juga.
"Elio, kamu kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Wajahmu kelihatan kesal," cicit Matthea dengan kening berkerut. "Kamu enggak apa-apa?"
Aku menggeleng, berusaha tampak kalem, dan berwibawa. "Enggak apa-apa."
"Jadi kamu udah tahu, apa yang harus dilakuin?"
Menendang bokong si Pengganggu ini, segera setelah kudapatkan kaki? Ya, aku mengerti.
Tapi, alih-alih menjawab pertanyaan Matthea seperti itu, aku malah berkata, "Hah?" Dengan wajah tolol.
Kepala Fee menyembul dari bahu kanan Matthea, ikut memperhatikanku. "Kurasa dia tidak mengerti," katanya dengan nada mengejek. "Kelihatannya dia fokus pada hal lain sejak tadi."
"Diamlah!" semburku tanpa sadar. Kutatap Matthea, berusaha menetralkan ekspresi, dan tersenyum. "Aku tidak menyimak obrolan kalian sejak tadi, yang kudengar cuma, 'ini ... begini ... harus begitu ... nyanyi ...." Aku menggedikkan bahu. "Jadi, yah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tolong jelaskan ulang, kalau bisa, gunakan bahasa yang hanya kita mengerti."
Fee menahan tawanya di perut. Aku menatapnya tajam.
"Karena kamu tidak sepenuhnya jadi siren, aku tidak bisa menjadi manusia utuh."
Aku menyimak baik-baik.
"Supaya, kamu bisa jadi manusia, kamu harus memindahkan kutukannya ke orang lain, Elio. Seperti yang kulakukan padamu. Kalau kamu tidak lagi memegang kutukannya, kurasa kita bisa sama-sama jadi manusia."
"Kurasa?" Aku menaikkan satu alis. "Aku tidak mau melakukan sesuatu berisiko tinggi, tetapi hasilnya masih belum jelas."
"Aku tahu." Matthea mengembuskan napas, menaikkan tangan ke bahuku. "Tapi, ini patut dicoba. Aku juga ... entah mengapa, merasa hal tersebut akan bekerja. Mekanismenya sama saja, kamu bernyanyi Lagu Kutukan, pikat seorang manusia, manusia itu dapat wujud siren-mu. Kamu dapat wujud manusianya."
Memikirkannya saja membuatku pusing, tentu itu tidak akan semudah ucapan. Walau manusia bertebaran di darat dan aku tidak perlu kesakitan melewati perbatasan. Aku punya beberapa masalah. Pertama, suaraku saat bernyanyi seperti tikus terjepit. Kedua, aku belum memahami bahasa siren dengan sempurna. Ketiga, aku sama sekali tidak ingin mengubah siapa pun jadi siren. Maksudku, bayangkan, harus menanggung beban kutukan aneh ini selama bertahun-tahun sampai bisa dioper ke manusia lain layaknya sepak bola.
"Kalau aku menolak?"
Matthea memelotot. Dia mengguncang kedua bahuku pelan. "Kamu akan jadi siren secara perlahan. Dimulai dari ingatan yang menghilang, lalu rasa membutuhkan air semakin meningkat. Kamu tidak akan tahan hidup di daratan. Sementara kamu akan jadi siren, aku sebaliknya." Dia mengigit bibir bawah, ada raut khawatir kentara dalam bola mata fusianya. "Tiga bulan lagi akan ada gerhana bulan. Dewa Laut memanggil para siren di seluruh dunia pada saat itu. Kalau kamu ... tidak segera memindahkan kutukannya, kamu akan jadi siren sepenuhnya pada saat itu. Bisa lebih cepat atau lebih lambat."
Aku terpejam. Penjelasan panjang Matthea berusaha kucerna baik-baik. Intinya, aku harus memindahkan kutukan ini dengan bernyanyi Lagu Kutukan atau ucapkan selama tinggal pada kakiku?
"Aku tidak jadi manusia seutuhnya, karena kutukan itu tidak benar-benar pindah. Kalau kamu memindahkannya, kita akan sama-sama terbebas." Aku penasaran, apakah Matthea memikirkan perasaan manusia lain yang akan jadi target dari kutukan kami atau tidak? Di balik rautnya yang kelihatan khawatir bercampur sedih, apa yang dia pikirkan, ya? Apa dia khawatir aku tidak mau memindahkan kutukannya, khawatir aku jadi siren, atau khawatir tidak bisa menerima kehidupan normalnya sebagai manusia utuh dalam waktu dekat?
"Kutukannya ada padamu sekarang, Elio. Kamu lakukan, kita bebas. Kamu tidak lakukan, aku saja yang bebas. Memang kubilang kutukan ini masih ada padaku, tetapi secara harfiah kamu sudah memilikinya. Tinggal menunggu waktu."
Aku mendesis. Jika diibaratkan dengan lari estafet, kutukan itu adalah tongkatnya. Matthea sedang dalam posisi mengoper padaku, kami sama-sama memegangnya. Kan tidak mungkin memegang tongkat estafet itu terus, tetap harus segera dioper ke pemain berikutnya.
"Aku mau pulang. Kita bicarakan lagi nanti," kataku. Matthea tidak menjawab apa pun, hanya mengangguk paham. Ia berbalik pada Fee dan mengucapkan terima kasih karena sudah membantunya membuka pikiran.
Kami berbalik, Matthea berenang mendahului karena seseorang menahan lenganku.
Fee berbisik lirih, "Aku tidak menyarankanmu untuk jatuh cinta pada Matthea. Terakhir kali ada dua ras berbeda saling mencintai, semuanya berujung pada kutukan ini." Ia melepaskanku dan berenang pergi, sebelum aku sempat merespons.
Manusia setengah ikan, sialan! Memberikan peringatan, enggak sekalian sama penjelasannya.
Aku menaikkan ritsleting celana dengan gemas.
Kami tiba di perairan dangkal dan naik ke pantai setengah jam lalu. Setelah mengeringkan ekor, aku berlari menuju tempat yang lebih tertutup untuk ganti baju dengan handuk di sekeliling pinggang. Meninggalkan Matthea dan pakaian kakakku di tempat kami menepi.
Aku memunculkan tubuh dari balik karang besar setelah lima belas menit, melihat Matthea sedang melipat handuk yang tadi dipakai. Ia sudah berganti baju dengan terusan selutut warna kuning bunga matahari. Rambut hitamnya tergerai kusut menutupi punggung, sementara kakinya yang panjang menapak pasir tanpa sandal.
Ponselku berbunyi, layarnya menyala dengan wajah seorang perempuan berambut pendek dalam frame bundar. Sebelum sempat kuangkat, panggilan dari Selene selesai. Dari notifikasi yang terpampang di layar kunci, dia sudah menghubungi lebih dari sepuluh kali.
Wah, aku akan dibunuh.
Kutelepon dia cepat-cepat dan sebelum menyapa, Selene sudah berteriak dari ujung sana.
"Heh, Piyik! Kamu di mana, hah? Tengah malam, bukannya di rumah malah keluyuran enggak jelas! Udah pergi dari rumah Papa enggak bilang-bilang! Disamperin ke sini, malah enggak ada! Di mana kamu? Berduaan sama cewek?"
Haha. Matilah aku.
Wah, enggak terasa udah hampir genap sepuluh bab. Tokoh-tokoh sentral mulai bermunculan 🐤 Kutukan Elio dan cara mengatasinya telah memenukan titik terang. Jika di masa depan (prolog) Elio adalah manusia, apa berarti dia mengoper kutukannya pada orang lain? Jawabannya ada di bab 10.
Terakhir, apa penjelasan Matthea soal cara mengatasi kutukan dan konsekuensi yang Elio terima jika enggak memindahkan kutukan itu, bisa ditangkap? 🐥 takutnya bahasaku terlalu ribet.
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. (づ ̄3 ̄)づ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro