Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Serius, Deh. Kenapa Jadi Begini?

Halo 🐤✨
Jangan lupa menekan tombol vote sebelum mulai membaca (/^▽^)/

Terima kasih. ╭(●`∀'●)╯╰(●'◡'●)╮

***

Elio.

Sebagai seorang penulis dengan imajinasi gila-gilaan yang menghantui sampai ke ujung mimpi, aku mempercayai bahwa keberadaan siren itu nyata. Aku tidak ingin menyangkal entitas indah yang digambarkan dan diabadikan sedemikian cantik dalam film-film, animasi, bahkan buku bacaan favoritku ketika kecil. Ditambah dengan kenyataan bahwa misteri lautan lebih dalam dibandingkan semesta, dugaan bahwa makhluk ini ada kian mempertegas kepercayaanku.

Kendati demikian, bukan berarti aku ingin jadi salah satu dari mereka.

"Bagaimana ini?" ujarku panik sambil mengangkat kaki-ekorku. Dalam benak, terukir ratusan ribu pertanyaan, mulai dari bagaimana aku akan menemui paman dan bibi? Bagaimana aku akan sekolah? Bagaimana aku bisa menulis? Bagaimana aku caranya kembali normal? Dan bagaimana-bagaimana lain yang hanya bisa diutarakan dalam dua kata di awal tadi.

Aku menoleh ke samping, memegang bahunya, dan mengguncang gadis ini pelan. "Bagaimana? Bagaimana caranya untuk kembali?" Tadi kami berkomunikasi dengan sentuhan, tepatnya, dia yang berbicara padaku. Mungkin dengan begini, dia juga bisa memahami bahasaku.

Namun, nihil. Dia menggeleng.

Kulepaskan tangan dari bahunya dengan kecewa. Sambil berusaha untuk tetap tenang dan berpikiran jernih, terpikir sebuah ide yang patut dicoba.

"Minggir!" titahku sambil mengangkat tubuh. Aku tidak akan terbiasa ini, terasa seperti jeli ketika digerakkan.

Gadis di dekatku menyingkir saat kugeser tubuhnya secara paksa. Kami bertukar posisi. Satu hal yang seharusnya mudah, tetapi jadi rumit karena ekor kami saling belit dan aku berkali-kali terpeleset. Dengan usaha yang membuat napasku tidak teratur, akhirnya kami bertukar. Dia bersandar di dinding keramik, sementara aku di tepi kolam.

Setelah mengatur napas, aku menoleh padanya. Kuberi dia isyarat dengan kepala yang menunjuk pintu kamar mandi.

"Bantu aku keluar," kataku, menunjuk-nunjuk pintu. Jaga-jaga jika dia tidak paham dengan isyarat kepalaku. Gadis ini mengangguk-angguk, entah karena memang paham atau hanya supaya aku berhenti melakukan gerakan-gerakan tarian yang aneh.

Merasa akan mendapat bantuan. Aku menekan pinggir bak dan mengangkat tubuh dengan ekspektasi terlihat bak atlit renang. Alih-alih, aku malah mengenjan, seperti seekor sapi yang sedang buang air besar. Aku tidak sanggup mengangkat tubuh bawahku sendiri! Karena telah menduga akan jadi seperti ini, makanya aku minta tolong. Namun, gadis yang katanya mau membantu justru bergeming.

"Kenapa diam saja?" tanyaku dengan suara tercekik. Aku tidak bisa menahan setengah tubuh manusiaku di luar bak lama-lama, seseorang harus membantu mengeluarkan ekor biru ini dari dalam kolam. "Ban-tu. Ak-u."

Konyol. Ketika aku sudah akan kehabisan napas, barulah dia bergerak. Kurasakan tangannya memegang ekorku dan benda sialan berbobot dua kali lipat tubuhku ini mulai terangkat. Aku hampir bersorak senang karena akan keluar dengan aman.

Tapi, dia melemparku-tidak-dia membuangku, menjatuhkanku. Seperti menyingkirkan sebuah sampah. Tubuhku menabrak lantai dengan mengenaskan, sakit di sana-sini, terutama bagian dada dan bokong. Padahal, aku tidak tahu apa masih punya bokong dengan tubuh begini.

Dasar tidak tahu terima kasih!

Kutatap paras rupawannya yang terlihat tidak peduli. Ekspresinya seolah sedang berkata, apa? Itu kan maumu.

Sadar bahwa ada tantangan yang lebih berat dari keluar kolam dengan tubuh bawah yang super berat. Aku jadi lemas.

Rencananya, aku ingin mengambil kain, handuk, selimut, atau apa pun untuk mengeringkan tubuh. Seperti gadis ini yang menjadi siren saat terkena air dan sepertiku yang tercebur ke kolam. Jika ekor ini dikeringkan, maka ada kemungkinan mendapat kembali sepasang kakiku.

Berbekal teori yang kudapat dari imajinasi cemerlang ala penulis itu. Aku mulai ngesot.

Ya, ngesot lincah keluar kamar mandi.

Kalau tidak menyeret-nyeret tubuh, bagaimana lagi cara bergerak di darat? Setelah mendadak jadi manusia ikan, dibanting keluar dari dalam bak, sekarang aku harus ngesot-ngesot menuju kamar. Tidak ada yang lebih sial dari ini.

Begitu sampai kamar tidurku, rasanya jauh lebih capek daripada berlari mengelilingi lapangan. Kuraih selimut yang tergeletak rapi di atas ranjang tanpa kolong. Benda lembut berwarna cokelat itu kuletakkan di pangkuan, lalu aku mulai mengelap ekorku sampai tidak lagi terasa licin. Sama sekali tidak mudah, karena panjang benda bersisik ini lebih dari kaki asliku. Apalagi saat aku harus melipat tubuh-gerakan mencium lutut-untuk meraih sisi ekor yang di luar jangkauan lengan, bahkan tiduran untuk membentuk huruf O besar di lantai supaya bisa mengeringkan ujungnya.

Usahaku membuahkan hasil yang cemerlang. Perlahan, sisik-sisik pada tubuhku memudar, kembali menjadi kulit. Ekorku terbelah, rasanya seperti melepaskan jari yang terkena lem. Lama-lama, tubuhku mengering sendiri dan kudapatkan kedua kakiku kembali.

Hore!

Tanpa berlama-lama menikmati perubahan positif ini. Aku melilitkan selimut di sekitar pinggang, sebagai ganti celana, dan berjalan cepat menuju kamar mandi sambil menghindari jejak becek panjang hasil ngesot cantik.

Sampai di kamar mandi, siren di dalam bak tengah melamun. Wajahnya kelihatan bingung dan ... entahlah, sedih? Tidak kelihatan jelas, karena rambutnya menghalangi.

"Hei!" Dia menoleh, aku merentangkan tangan bangga. "Ini berhasil."

Dia tersenyum lega.

Makin lama, makhluk ini terasa makin aneh. Pola pikirnya tidak tertebak. Saat aku jadi siren, dia mengucapkan selamat datang yang hangat. Saat aku jadi manusia, dia ikut tersenyum lega. Wanita-apa punjenisnya-memang selalu sulit dimengerti.

"Tunggu di sini," kataku konyol. Lalu pergi mengambil tumpukan handuk dari kamar mandi lain. Kuberi dia isyarat untuk duduk di pinggir kolam dengan posisi ekor di luar dan dia menurut. Tidak sepertiku yang kesusahan, gadis asing ini mengangkat tubuhnya dengan profesional. Begitu dia duduk di tepi, kusampirkan satu handuk pada bahunya dan memberi gestur agar dia menutup badannya dengan itu.

Aku berjongkok, menghindari genangan dan cipratan air. Lalu mulai mengeringkan ekornya. "Kakak perempuanku, Selene. Dia punya beberapa baju di sini. Baju mendiang ibuku juga ada. Nanti kupinjamkan."

Dia bergeming.

Setelah bermenit-menit, gadis ini mendapatkan kakinya juga. Kuberi dia sisa handuk kering untuk menutupi seluruh tubuhnya yang masih polos.

"Nah." Aku mengembuskan napas panjang dengan tangan terulur. "Aku tidak bisa bicara denganmu. Tapi, kamu bisa, 'kan?"

Dia menatapku cukup lama, lalu menerima uluran tanganku.

Kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku yakin tidak sedang terpejam. Tapi, sekelilingku gelap seolah aku ini buta. Udara berembus dingin. Suara langkah kaki terdengar, entah dari mana. Luasnya dunia gelap tempatku berdiri, membuatku sulit menerka arah datangnya suara itu. Satu hal yang pasti, setitik cahaya berwarna putih bergerak mendekat. Semakin dekat dan dekat, lantas kusadari bahwa suara langkah itu adalah milik si siren. Kini ia berdiri di depanku, tubuhnya mengeluarkan cahaya ganjil di tengah pekatnya kegelapan yang seperti tinta.

Dia berkata, "Aku akan menjelaskan semuanya."

Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? (•ิ_•ิ)?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro