23. Pria Bernama James Nikolaus
Tantangan hari pertama: tidak boleh memakai kata tawa/tertawa/ketawa, sedih/menagis, ucap, mengucap, dan diucapkan.
Bantu aku temukan tipo dan pelanggaran tantangan.
Aniwei, lama tidak nulis buku ini. Gaya bahasanya jadi sedikit berubah 🤣 walau cocok sama suasananya yang serius.
***
[Matthea]
Ternyata tujuh tahun lalu jaraknya hanya selangkah.
Elio dari masa depan alias Elio Dua, dia enggak sedang melucu waktu bilang bahwa kami akan pergi ke masa lalu. Selama beberapa detik yang terasa cepat sekaligus lambat, dunia di sekitarku seperti dilipat. Tidak ada yang bisa kuperhatikan karena sekitar kami berubah menjadi blur, seperti foto yang diambil dalam gerakan asal-asalan dan setelah satu langkah usai memasuki portal buatan Elio, aku tidak lagi berada di pantai.
"Ini bukan lompatan waktu serius, cuma mundur tujuh tahun. Mukanya enggak usah cengo gitu." Elio terkekeh geli sambil menyikutku, karena tingginya sudah beda dari masa depan, sikutnya mengenai mataku.
"Bisa enggak," aku mengusap mata yang kesikut, "kita muncul di tempat yang lebih bagus."
"Aduh, aku enggak bisa mengatur lokasi mendarat, hehe."
Kami kini berada di kolong jembatan yang gelap, lembab, dan agak bau. Bunyi klakson kendaraan bersahutan dari atas kepala, diiringi pejalan kaki yang berjalan di pinggir jalan raya sambil memandangi kami acuh-tak acuh. Tak ada yang sadar bahwa kami sebelumnya jelas-jelas muncul dari ketiadaan.
Elio menatapku, mengangguk, dan memberi seulas senyum meyakinkan. Kami kemudian berjalan menjauhi kolong jembatan, mencari cara untuk naik ke atas jalan raya. Aku mensejajarkan diri dengan Elio, kami hendak menyebrang. Sembari menanti lampu pejalan kaki berubah hijau, aku bertanya, "El, kamu ... kamu dari mana?"
Elio menoleh sebentar. Kami menyebrang bersama dengan dia di sebelah kanan sambil menjawab, "Kalau dari masa datangnya kita tadi, aku dari 8 tahun kemudian."
"Berarti sekarang umurmu 25 tahun?"
"Yup."
Beriringan, kami meniti pinggir jalan raya. Cuaca di atas sana cerah berawan, angin berembus sekali-kali menyebarkan bau asap kendaraan. Selama tinggal dengan Elio—Elio kecil—dia tidak pernah mengajakku ke mana-mana. Ini kali pertama aku melihat bangunan-bangunan dan kendaraan sejauh mata memandang. Suasana yang dulunya hanya bisa kubayangkan dari dalam novel ciptaaan Elio, kini bisa kulihat, kudengar, dan kurasakan sendiri. Aku tidak bisa mencegah diri untuk tidak memutar kepala ketika ada motor yang melintas, terkejut setiap kali mobil menekan klakson, bahkan nyaris ditabrak pejalan kaki lain dari arah berlawanan. Suasana ini tidak secuil pun ada dalam benakku.
"Kamu enggak mau tanya yang lain?" Elio menarikku ke sebelah kirinya, setelah menyebrang tadi ternyata kami bertukar posisi karena aku bersemangat sendiri melihat orang sebanyak ini. Kayak ... wow. Lautan cenderung luas, tetapi sepi. Memang ada beberapa tempat yang ramai oleh ikan-ikan dan makhluk laut aneka ukuran. Biasanya, sih, daerah permukaan. Namun, makin ke bawah justru makin sepi. Ada hewan pun hanya yang bertubuh lebih besar dari rumah-rumah ini dijadikan satu. Aku tidak suka dengan mereka.
"Contohnya?" Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan Elio.
"Masa enggak paham?" Elio tersenyum kecil. Tentu aku tahu apa maksud perkataannya. "Tentang Ayahmu gitu?"
"Aku bahkan masih enggak percaya kalau kamu Elio," kataku jujur. "Aku juga enggak tahu, kenapa mau-maunya ikut ke sini. Awalnya padahal cuma mau iseng buat gangguin kamu, ternyata beneran bisa ke ... masa lalu? Aku bahkan enggak tahu cara membuktikan ini masa lalu gimana, walau memang pengalaman masuk portal dan dunia berubah jadi blur itu hebat."
Kami berhenti di depan sebuah gerbang hitam besar di pinggir jalan raya, setelah melewati beberapa kali kelokan akhirnya kami berhenti juga. Peluh membasahi kening dan leher, napasku terasa berat dan agak putus-putus. Aku sudah lupa, berapa lama tepatnya sejak kali pertama kutukan itu berpindah dariku ke Elio, jelasnya sekarang aku bahkan tidak keberatan terpapar sinar matahari.
Tunggu!
Aku menoleh cepat ke arah Elio. "Tunggu—kamu? Kamu enggak jadi siren ... kan?" Suaraku meninggi.
Pintu gerbang di depan kami berderit dan terbuka otomatis sebelum Elio menjawab. Laki-laki berambut hitam itu tersenyum, walau entah kenapa wajahnya kelihatan sendu.
"Enggak. Berkat kamu," balasnya ambigu lantas berjalan masuk.
"Hah?" Aku melongo seperti orang tolol. Waktu itu Lynn bilang kalau Elio sudah memantapkan diri memindahkan kutukannya pada orang lain. Lalu aku akan meminta Fee datang dan mengubahku kembali jadi siren. Lantas di bagian mana pembatalan kutukan Elio itu terjadi berkatku? Aku mengernyit, berusaha mencari titik temu dari rencana kami sampai tak sadar sudah tertinggal sejauh belasan langkah. "Elio! Tunggu!"
Pekarang rumah ini luasnya enggak main-main, mungkin tiga atau empat kali lebih besar dari milik Elio. Bahkan di pekarang sebelah kiri tempat jalan berbatu batako terparkir tiga buah mobil sedan, sementara di sebelah kanan ada lahan kosong berumput hijau pendek dengan pohon mangga tinggi di pojokan dekat batas pagar yang dilanjut tembok setinggi dua meter mengelilingi rumah bertingkat tiga ini.
"Elio! Maksud kamu gimana? Gara-gara aku? Emang aku ngapain?" kutangkap ujung pakaiannya ketika Elio baru melangkah menaiki anak tangga pertama menuju pintu masuk.
Laki-laki ini menempelkan telunjuk ke bibir. Kepalanya menoleh melalui bahu kiri. "Enggak boleh spoiler masa depan. Itu aturan para Pelompat Waktu."
Aku terbeliak dan memekik, "Para? Jadi enggak cuma kamu?"
"Masuk aja dulu. Biar pemimpinnya sekalian yang jelasin." Elio berlari-lari kecil menaiki anak tangga. Aku mengikutinya dari belakang, perasaan dan benak sudah tidak sejalan. Perasaan bingung dan rasa penasaran, dibungkus bersama ketakutan untuk bertemu pria yang Elio sebut-sebut sebagai ayahku.
Pemimpin? Pemimpin para Pelompat Waktu?
Bertindak seolah rumah megah ini miliknya, Elio mendorong daun pintu ganda berbahan kayu itu perlahan. Kenopnya yang dibuat berbentuk kepala singa warna emas seolah memberi kesan dominasi. Di dalam, kami disambut lorong luas berkarpet merah. Langit-langit rumah ini tinggi sekali, dilukis dengan gambar para manusia-manusia bersayap yang memegang harpa maupun busur dan anak panah.
"Sepi sekali." Tempat ini mengingatkanku pada rumah Elio.
"Iyalah. Dia tinggal sendirian."
Di sepanjang sisi kanan-kiri ada beberapa lukisan pemandangan tergantung bersama potret-potret wajah asing. Tak jarang ada pula meja-meja akayu licin yang menopang benda-benda seperti vas bunga, tumpukan buku, pigura, pajangan keramik berbentuk seperangkat alat minum teh, dan lain-lain.
Tiap langkah yang kuambil terasa berat, jantungku bertalu-talu di balik rusuk membuat napas terasa sesak. Tangan kunaikkan untuk mencengram dada, berusaha menetralisir debaran gila-gilaan yang lebih parah daripada saat dipeluk Lynn hari itu. Aku dan Elio menaiki tangga spiral menuju lantai dua, sepanjang jalan hanya bunyi langkah dan napas yang bisa kami dengar.
"Namanya siapa?" Aku berbisik. Di balik pintu tempat kami berdiri sekarang ada seseorang yang Elio katakan sebagai pencipta dari kutukan siren.
"James Nikolaus." Elio menaikkan tangannya ke bahu kananku. Dia menarik napas dan menekan tuas pintu. "Aku datang bersama putrimu."
Seorang pria berambut kecoklatan berbalik. Dia mengenakan kemeja putih dengan kerah terbuka, disambung celana kain hitam semata kaki dan sepasang sepatu. Penampilannya sederhana sekali, tetapi aku merasakan aura luar biasa yang membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan. James tersenyum, aku menahan napas. Rasanya seperti melihat diriku sendiri, tetapi laki-laki.
"Matthea." Suaranya merdu, dalam, dan sendu. Senyumnya merekah tipis dan perlahan seperti kepakan sayap kupu-kupu baru. Sorot matanya sehangat teh saat musim hujan. Dia mendekat dengan langkah-langkah lebar yang mantap, aku mundur selangkah saat kedua tangannya menangkap kedua bahuku dan menariknya ke dalam pelukan besar.
Oh?
Rasanya sulit dijelaskan dengan kata-kata saat merasakan bobot dahi beserta kepalanya pada bahu kanan. Dia bersandar, pria megah yang kulihat mengurung diri di balik istana suram ini tampak seperti meruntuhkan pertahanan yang dibangunnya seumur hidup. Kedua tanganku bergetar di balik punggung kokohnya yang melengkuk supaya bisa memelukku.
Sumpah! Aku tidak pernah merasa senyaman dan seaman ini seumur hidup. Pria ini yang katanya adalah ayahku, dia seolah tengah menjanjikan ribuan perlindungan bersama dekapnya yang panjang. Suara napasnya seolah berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahkan jika dunia ini runtuh sekarang. Bahwa dia akan melindungiku.
Aku mungkin tidak mengingatnya dengan kepala, tetapi aku jelas mengingatnya dengan hati.
Memori itu tidak berbentuk seperti keping ingatan yang terlintas dalam benak. Namun, berwujud sentuhannya yang menenangkan. Serupa peluk yang menjanjikan kehidupan bahagia, walau kenyataan bukan hal itulah yang kudapat. Yah, semua orang memang pandai berbohong.
"Kenapa?" Suaraku tercetak. Air mata menetes—benar-benar menetes, bukan lagi mutiara berwarna hitam putih. "Kenapa mengutukku? Putrimu sendiri."
James menjauhkan wajah dari bahu kananku. Sepasang mata hitamnya tampak terluka layaknya seekor hewan yang tengah sekarat. Kosong, nyaris tak bernyawa. Dia menegapkan tubuh perlahan, tampak seperti berusaha membangun kembali perlindungannya. Pria berambut pendek ini menaikkan kedua telapak tangannya dan menangkup wajahku.
Dan hal yang kuinginkan semenjak naik ke daratan merambat ke dalam otak. Rasanya seperti tersengat listrik ketika memori-memori yang selama ini kucari mulai mengisi posisi kosong dalam kepala. Mengisi keganjilan yang dahulu membuatku tak bisa tidur siang-malam sampai mulai mempertanyakan sebenarnya aku ini apa.
"Banyak yang ingin kubicarakan padamu Matthea." James berkata tegas, dia tak lagi kelihatan rapuh. Tubuhnya mundur selangkah, pria ini menatapku yang masih ngap-ngapan memproses segala ingatan dalam kepala dalam-dalam. "Namun, pertama-tama, kamu harus tahu kita ini apa."
"Apa?" Mulutku bergerak tanpa suara.
"Para Savants." James tidak berbalik. Dia berjalan dengan langkah-langkah lebar mendekati jendela setinggi dada dan memandang pekarang rumahnya yang luas. "Begitulah kami menyebut diri kami sendiri. Para pemegang bakat Savant contohnya adalah Elio dan kamu. Manusia yang dianugerahi kekuatan supranatural semesta. Namun, kita tetap punya batasan-batasan yang tidak bisa dilanggar sebagai manusia yang lebih rendah dari Tuhan. Elio mungkin bisa bolak-balik antar waktu, tetapi dia tidak bisa mencegah seseorang kehilangan nyawa. Karena kematian seseorang berada dalam kendali Tuhan. Dia tidak berhak mengubah takdir yang seperti itu."
Anehnya, otakku merasa tidak asing dengan penjelasan ini dan aku bisa langsung memahaminya tanpa banyak tanya selagi James lanjut menjelaskan. Aku melirik Elio yang sedang duduk di sofa sebelah kanan ruangan sambil melipat kaki dan menyesap teh. Dia menaikkan kedua alis, menyapa.
"Lalu, kamu," James berbalik, menatapku lekat-lekat, "kekuatanmu berorientasi pada benda cair, baik yang ada dalam tubuh manusia maupun air di seluruh dunia ini. Itu jenis kekuatan yang dikhawatirkan Bangsa Nisnes makhluk air terakhir. Dewa Laut sekaligus membuatmu menanggung kutukan ini selama tujuh tahun."
***
How is it?
Jangan lupa untuk meninggalkan vote. ⊂(´・◡・⊂ )∘˚˳°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro