Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Lynn Itu Manusia yang Aneh

Halo! Bab ini baru ditulis beberapa jam lalu. Bantu saya temukan typo (๑•̀ㅂ•́)و✧

Selamat membaca (*ˊૢᵕˋૢ*)

Bab ini didedikasikan untuk Matthea dan Lynn.

***

Matthea.

"Thea!" Suara Lynn terdengar dari depan, disusul bunyi pintu yang diketuk.

Aku menatap jam, memang sudah waktunya pulang sekolah. Namun, kenapa Elio tidak bersamanya? Mereka berdua bilang akan menemaniku mencari si Penguntit hari ini. Jadi aku sudah siap-siap setengah jam sebelum waktu pulang mereka.

Pintu depan kubuka, sekilas Lynn kelihatan seperti sedang bicara sendiri. Entah kenapa, aku merasa orang ini selalu bertingkah aneh di dekatku. Apa dia merasa tidak nyaman karena aku siren?

"Iya? Elio mana?"

Lynn menjilat bibirnya sebelum menjawab. 'Maaf, Thea. Kita enggak bisa nyari orang itu hari ini. Aku sama Elio ada tugas kelompok yang harus beres lusa. Jadi kita mau mulai ngerjain hari ini, di sekolah."

"Oh," balasku. "Oke."

"Maaf ... ya."

"Bukan salah kamu."

"Kamu kelihatan sedih."

"Aku cuma pusing," kataku sambil memegangi kening. Pembicaraan beberapa hari lalu di dapur dengan Elio dan Lynn masih terngiang dalam benak. Dua orang ini memberikan penjelasan yang saling melengkapi satu sama lain, sampai-sampai aku sempat merasa tersisih dan salah tempat. Tidak nyaman. Mereka seolah menunjukkan, bahwa aku memang kurang manusiawi. "Kalau emang ada kerjaan. Ya, sudah. Makasih udah datang buat nyampein."

Lynn tidak kunjung beranjak. Sudah dua menit dia kukuh berdiri di depan pintu sambil memandangiku. Belum sempat aku bertanya, dia berkata, "Kamu mau cerita?"

Ah.

"Soal apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

Lynn mengusap tengkuknya dan memandang ke arah lain sebentar. "Soal apa aja. Biar kamu enggak pusing lagi," katanya. "Aku enggak maksa, sih. Tapi, kamu enggak punya teman selain Elio, 'kan? Kayaknya kamu enggak pernah cerita apa-apa sama dia soal bebanmu. Karena enggak mau dia kepikiran."

Orang ini peka.

"Memang," aku tidak mencoba mengelak, "Elio gitu, 'kan? Kalau dikasih tahu masalah orang lain. Dia malah lupa sama masalah sendiri."

Laki-laki berambut hitam di depanku tersenyum sambil menatap lantai. Memangnya mataku ada di bawah apa?

"Iya. Memang gitu. Omong-omong, Elio tadi bilang kalau dia sudah tahu kapan harus memindahkan kutukannya."

"HAH! Serius?" Tanpa sadar aku menjerit. Aku menutup mulut. "Ka-kamu serius? Dia mau?"

Lynn tersenyum dan mengangguk. "Iya. Dia yang bilang sendiri."

Aku sangat terkejut sekaligus lega. Lututku lemas mendengar kabar itu, sampai harus bersandar pada bingkai pintu. Aku menutup mulut, menyembunyikan senyum lebar. "Syukurlah kalau begitu." Kukepalkan tangan gembira.

Hatiku terasa lebih lapang, seperti ada yang terangkat. Tanpa sengaja mengubah Elio menjadi manusia setengah siren, membebani pikiranku siang dan malam. Melihatnya kehilangan jati diri sebagai manusia secara perlahan, terasa sangat menyakitkan. Menyaksikannya kebingungan setengah mati setiap harinya, membuat hatiku hancur. Orang ini membantuku dari awal sampai kini dan yang kuberikan padanya adalah sebuah kutukan. Bertambah pula dengan cerita mengenai si Penguntit.

Uh, aku benar-benar beban.

Malam itu, saat mendengarnya bicara dengan Lynn, aku merasa kehilangan nyawaku. Bagaimana mungkin Elio tidak bersedia memindahkan kutukannya? Begitu pikirku. Lalu saat kudesak keesokan paginya, dia memberiku jawaban yang tidak bisa kubantah. Pernyataan dari Lynn juga seolah memperjelas bagaimana dunia kami sangat berbeda.

"Kamu enggak apa-apa?" Lynn membungkuk untuk melihat wajahku. "Sebentar-sebentar, kamu kelihatan senang, terus sekarang pucat, kecewa, dan sedih. Kamu ... kenapa?"

Lynn punya rambut lurus yang agak panjang, sampai telinga. Aku tidak pernah melihat rambutnya rapih. Dia punya sepasang mata biru terang, berbeda dengan kebanyakan orang sini yang bermata hitam. Mata biru cerah yang seperti langit tanpa awan.

"Kamu enggak apa-apa?" Dia mengulang pertanyaannya. Ekspresinya khawatir. Sebenarnya, apa alasan anak ini begitu peduli padaku? Apa karena aku teman Elio?

Aku menggeleng. "Enggak apa-apa."

"Enggak apa-apa, tapi, kok geleng. Bohong, ya?"

"Ih."

Lynn tertawa kecil. "Kalau kamu enggak enak buat cerita sama Elio. Kamu bisa cerita sama aku, kok."

"Ih, buaya."

"Loh?" Dia ketawa lagi, aku juga ikut tersenyum. "Belajar kata itu dari mana, hah?"

"Kepooo."

Lynn malah ngakak.

"Kamu receh banget," ejekku.

"Kamu belajar kata-kata itu dari Elio, huh?"

Aku mengangguk dan diam sejenak. "Kamu masih nerima sesi cerita?"

Lynn mengeluarkan ponsel dari saku dan menyalakannya sebentar. "Masih bisa lima belas menit," katanya. "Anak-anak janji kumpul jam satu. Tadi waktu ninggalin Elio, dia lagi makan siang." Dia menatapku. "Cerita aja. Mau sambil duduk?"

Kami kemudian duduk bersebelahan di teras. Pagi tadi, Lynn terang-terangan menghindariku saat aku duduk di sampingnya. Sekarang, dia kelihatan baik-baik aja.

Aku memandangi pintu gerbang hitam yang terbuka, semak perdu yang mengelilingi rumah Elio seperti pagar tambahan, bunga-bunga liar kecil yang bermekaran, rumput hijau tua panjang, dan serangga-serangga kecil yang berterbangan juga hinggap di sana-sini. Halaman rumah Elio seperti padang rumput versi kecil kalau ada tambahan beberapa ekor anak kelinci.

"Aku enggak tahu harus mulai dari mana," kataku pada Lynn. Dia memandangiku dari samping, bisa kulihat melalui sudut mata. "Mungkin dari saat aku menyadari, bahwa keberadaanku hanya akan membebani Elio. Kapan itu, ya." Aku bergumam panjang. "Sepertinya sejak awal. Kemarin aku berpikir, kalau aku memang sudah jahat karena mengubah Elio jadi seperti itu. Ditambah lagi, aku menumpang di rumahnya dan sekarang, menambah keribetan ini dengan kenyataan bahwa Penguasa laut, entah untuk alasan apa, berusaha menahanku di wilayahnya."

Dadaku terasa berat dengan perasaan bersalah yang menghantam. Selama lima detik, aku hanya mengatur napas.

"Terus ... soal penguntit itu dan ayahku yang ... uh, aku bahkan tidak bisa dan tidak mau mendeskripsikannya. Entah bagaimana, Penguntit itu bilang bahwa aku manusia. Namun, di saat yang sama ayah justru mengubahku menjadi siren dan Penguasa Laut ingin aku kembali. Seolah-olah, sejak awal aku tidak ditakdirkan tinggal di darat." Kedua tanganku saling meremas erat. "Aku merasa tidak mengenal diriku sendiri. Manusia atau bukan? Siren atau bukan? Apa sebenarnya tujuan atau kesalahanku sampai dikutuk oleh darah daging sendiri? Apa yang harus kulakukan supaya bisa menjadi manusia utuh, tanpa beban bahwa desa ini mungkin saja tenggelam hanya karena aku ingin bertahan?" Sebutir mutiara sebesar biji kacang bergulir dari pipiku. Aku menangkapnya, memberikan benda itu pada Lynn tanpa menoleh. Elio bilang mutiara berharga, anggap saja bayaran karena Lynn mau mendengarkanku.

"Aku merasa gelisah dan memikirkannya setiap detik. Makin dipikirkan, aku malah makin tersesat. Aku tidak mengenal diriku sendiri dan tersesat dalam pikiranku sendiri. Itu membuatku pusing setengah mati."

Lynn tidak berkata apa pun, dia hanya duduk di sana sambil menatapku. Ekspresinya sulit terbaca. Berkali-kali mulutnya terbuka, tetapi mengatup kembali tanpa sepatah kata keluar.

"Kamu enggak perlu bilang apa-apa," kataku, berusaha menenangkannya yang kelihatan bingung. "Makasih udah dengerin omonganku. Itu udah lebih dari cukup. Capek juga, karena dipendam lama-lama." Aku memejamkan mata, dua mutiara berjatuhan. Kutahan napas sesaat dan kuembuskan dengan panjang melalui mulut. Dada dan perasaanku terasa lebih tenang, walau pikiran masih berkecamuk dan kusut. Seperti senar pancing yang minta diurai.

"Kalau sesuatu terjadi padaku. Tolong jaga Elio." Aku berdiri. Bisa kudengar suara napas Lynn yang terburu-buru. "Dia itu kuat, tapi juga lemah. Bijakasana, tapi juga plin-plan dan ceroboh. Pintar, tapi enggak jarang aku ingin mengatainya bodoh. Aku masih tidak paham kenapa manusia bisa punya dua sifat yang bertentangan dalam satu waktu." Di sisi lain, aku merasa Lynn cukup konsisten dengan sifatnya. Dia remaja laki-laki hangat yang membuat nyaman siapa saja. Seperti sekuntum bunga penuh nektar yang menarik kupu-kupu.

"Kamu mau pergi, Thea?"

Aku baru sadar kalau itu panggilan yang bagus.

"Enggak tahu. Mungkin." Aku menggedikkan bahu. "Aku tidak ingin kamu dan ibu kamu, atau orang-orang baik yang sudah mendengar ceritaku dan membantuku, jadi terluka nantinya."

"Tapi, kamu bukan siren! Kamu enggak bisa balik ke laut gitu aja!" Lynn ikut berdiri. Dadanya naik turun. "Kamu enggak bisa pergi." Suaranya yang berat dan terkesan memaksa, sesaat membuatku ingin urung.

"Aku punya seorang teman. Namanya Fee. Dia selalu datang, setiap kali aku bernyanyi. Akan kuminta dia bernyanyi Lagu Kutukan dengan benar supaya aku bisa kembali ke lautan. Kalian semua aman, Fee dapat wujud manusianya." Aku menatap Lynn. Ekspresinya tidak karuan. Antara kaget, marah, sedih, bercampur dengan pasrah dan kebingungan. Matanya merah, hidungnya kembang-kempis, bahunya naik-turun, keringat menuruni pelipisnya.

"Enggak." Cuma itu yang mampu dia katakan. Satu kata yang rasanya ingin kuiyakan.

"Terima kasih, Lynn. Elio sudah membuat keputusannya dan aku juga. Semoga kalian baha-"

Lynn memelukku. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Elio, membuatku merasa seperti 'tertelan' ke dalam dadanya yang bidang. Ia beraroma asin yang mengingatkanku dengan air laut dan pasir, juga kering seperti matahari. Laki-laki ini tidak berkata apa pun, dia hanya menyandarkan wajahnya pada bahuku.

"Kenapa, Lynn?"

"Elio enggak akan suka itu." Suaranya serak. "Aku juga enggak suka."

"Ini bukan soal kalian suka atau enggak suka." Aku mendorong bahu Lynn, sampai kami berhadapan. Matanya lebih merah daripada yang tadi. "Tolong, jangan cerita ke Elio dulu."

"Aku bakal cari cara buat-"

Aku berkacak pinggang, tersenyum menantang. "Gimana?"

"Masih belum tahu."

"Enggak usah maksa." Aku menggeleng dan membuang napas.

"Tapi, kalau ada kesempatan. Walau cuma sedikit. Cara supaya kamu bahagia dan kita semua aman." Lynn menatapku lekat-lekat, sampai aku merasa dipaku di bumi. "Bakal kuambil." Dia enggak mengatakan apa-apa lagi dan melenggang pergi dengan kedua tangan dalam saku. Kudengar ia menggerutu pelan sambil menendangi kerikil.

Saat Lynn sudah menghilang ke balik pagar. Aku menyentuh bahu kanan tempatnya bersandar tadi.

Sedikit basah.

Bukannya aku tidak mempercayai Lynn atau janji Elio waktu itu. Namun, aku sendiri tidak bisa memikirkan alternatif jalan keluar dari kebuntuan ini.

Aku menunduk, menatap ekor hijauku yang terendam air bak.

Aku akan merindukan kakiku.

Sambil masih memikirkan semua obrolanku dengan Lynn tadi. Aku memproyeksikan bentuk bola dalam kepala. Terngiang dalam kepalaku perkataan si Penguntit yang mengatakan bahwa aku mengusai benda cair.

Benar saja.

Sebentuk bola dari air, menggeliat keluar dari dalam bak. Melayang-layang satu jengkal dari kedua telapak tanganku yang menangkup. Bola air ini kelihatan kenyal dan meliuk-liuk seperti agar-agar. Aku berusaha mempertajam gambar bola dalam kepalaku dan benda cair di depanku mulai menjadi bentuk sempurna. Bola air bulat utuh sebesar kelapa.

"PIYIK! Kamu di mana?" Seseorang berteriak dari luar. Bola airku jatuh dan hancur ke dalam bak. Jantungku berpacu cepat, suara perempuan yang tidak asing.

Langkah-langkah berat dan terburu-buru terdengar. Disusul bunyi pintu-pintu yang dibuka. Aku menahan napas, berharap cewek ini menyerah mencari Elio. Namun, doaku sia-sia karena tuas pintu kamar mandi ditekan ke bawah dan Selene muncul di ambang pintu. Aku tidak bergerak, tidak mungkin menyembunyikan atau mengeringkan ekorku.

Semuanya terjadi dengan cepat. Aku merasa panik dan menciptakan bola air baru yang kulemparkan ke wajah Selene sebelum ia sempat bereaksi. Benda bundar itu pecah membasahi wajah Selene dengan suara keras, sementara tubuhnya terhuyung dan jatuh terlentang depan pintu kamar mandi.

Oh, tidak.

Halo (•‿•)
Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? Tercerahkan? Apa makin gelap (?)

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro