2. Ada Wanita Telanjang di Sebelahku
Tekan tombol vote dulu ヾ(〃^∇^)ノ♪
Terima kasih, selamat membaca. ◖⚆ᴥ⚆◗
***
Elio.
Saat membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah bulan cembung ditemani segelintir bintang, sekelilingku gelap dan tubuhku terasa berat, baju dan celana pendek kelabu yang kukenakan berubah hitam karena menyerap air, kepalaku berat sebelah, hidungku sakit bukan main-rasanya seolah habis menghirup garam-mulutku dipenuhi pasir. Aku terbatuk-batuk, sampai mau muntah. Lalu kusadari, bahwa ada orang lain di sini.
Tubuhnya ramping dan tinggi, terbaring sejauh tiga langkah. Posisinya membelakangiku, separuh badannya tertutupi helai rambut yang sangat panjang-seolah ia tidak pernah potong rambut sejak lahir. Aku merangkak mendekat.
Apa dia mati? Korban tenggelam yang hanyut?
Begitu dekat, kubalik tubuhnya hingga ia terletang.
Gadis ini telanjang.
"Wow!"
Aku mengumpat pelan, berdiri, lalu menutup wajah. Mataku ternodai sesuatu yang harusnya tidak kulihat. Banyak bagian tubuh yang tidak tertutupi. Jantungku langsung berisik, sementara otakkku berusaha mereka ulang kejadian hari ini.
Sejauh yang kuingat, tidak ada adegan dengan gadis telanjang.
Maksudku, aku masih lajang dan terlalu muda untuk berduaan dengan gadis telanjang.
Lalu kenapa ada gadis telanjang di sebelahku? Malam-malam, di pantai yang sepi.
Oke, mulai ngawur. Otakku tidak berpikir jernih.
Aku mengerang.
"Sumpah! Enggak kelihatan! Gelap, gelap. Enggak kelihatan," rapalku berulang-ulang guna mengurangi rasa bersalah sambil melepaskan kaus basahku. Memilin dan mengibaskannya berkali-kali hingga cukup kering untuk menutupi tubuh dingin dan lemah yang tergolek di atas pasir.
Tubuhku menggigil, bayang-bayang selimut dan ranjang empuk membuatku rindu rumah.
"Ini ditinggal enggak apa-apa kan, ya?" Aku mendekati tubuh gadis tersebut, mengibaskan tangan di depan wajahnya yang ketutupan rambut.
Pada akhirnya, aku tidak bisa meninggalkan gadis itu seperti membuang barang lama. Jadi kugendong ia layaknya putri-putri dalam kisah dongeng. Bedanya, kalau ini ketahuan, kami bakal dipermalukan seisi desa dan dilaporkan ke polisi. Remaja puber telanjang dada, basah-basahan sama perempuan asing polos yang tidak sadarkan diri, tengah malam, di pantai yang sepi.
Paman dan bibi di rumah pasti kecewa, pikirku. Selene akan membunuhku.
Karena tidak bisa menyerahkannya ke kepala desa, kubawa gadis ini pulang ke rumah. Selama perjalanan yang dua kali lebih berat-secara harfiah-akhirnya kami sampai juga. Baju yang kuberikan padanya sebagai penutup sama sekali tidak berguna. Karena baju itu basah, menempel pada tubuhnya, membentuk setiap lek-oke, stop.
Aku mengerang, mengutuk lampu-lampu rumah yang memperjelas-maksudku-menyala! Menyala semalaman!
Biaya listrik! Umpatku berusaha mengalihkan pikiran yang mulai mengawang-awang.
Gadis itu kutaruh di kamar tamu yang lampunya mati. Setelah dibaringkan, tubuhnya kututup dengan selimut tebal sampai bawah leher. Aku berganti baju di kamarku dengan perasaan dongkol karena gadis ini tidak bangun-bangun, juga curiga kalau ia benar-benar tewas.
Setelah memastikan penampilanku tidak layak difitnah sebagai pelaku pencabulan, aku meraih ponsel dan kembali ke kamar tamu. Kali ini lampunya kunyalakan. Setidaknya, aku ingin memastikan apakah gadis ini benar-benar tewas atau masih hidup, sebelum menghubungi polisi setempat. Dibandingkan tadi, aku lebih bisa mengendalikan diri sekarang.
Lantai kayu berderit-derit pelan, ketika aku mendekati ranjang perlahan. Semakin dekat, di tengah kesunyian malam dan kamar, aku bisa mendengar deru napasnya keluar dari mulut. Embusannya teratur, seperti seseorang yang sedang menciptakan embun depan cermin kamar mandi.
Sadar bahwa dia masih hidup, aku memutuskan untuk mengambil gelas dan botol air dingin dari dalam kulkas, lalu kuletakkan di meja samping ranjang. Saat melakukannya, aku refleks menoleh untuk melihat wajah tamuku ini. Mula-mula memang hanya fokus dengan embusan napasnya saja, tetapi sesuatu yang jauh lebih menarik merengut semua konsentrasi.
Selama ini kupikir, cantik itu relatif.
Tapi, tidak.
Di wajah gadis asing ini, tergambar kecantikan mutlak. Titik. No debate.
Kalau kecantikan bisa diibaratkan dengan angka 1-10, dia 20. Kalau cantik itu seperti es krim, dia es krim Baskin-Robbins paling mahal dengan tambahan toping, ceri, dan serbuk emas. Jika kecantikannya bisa dijual, maka seluruh dunia akan bebas dari kemiskinan. Berlebihan? Iya, cantiknya memang berlebihan. Mungkin sewaktu diciptakan, Tuhan memberinya kelebihan kadar atraktif.
Sedikit iri melihat seseorang bisa begitu good looking sementara aku, biasa-biasa-aja looking. Kalau ada perumpamaan yang lebih bagus untuk menjelaskan cantiknya, maka dia setara aurora di langit Eropa atau permukaan laut sejernih kaca yang dasarnya terlihat tanpa harus berenang.
Jika perempuan secantik gadis ini hidup dalam dunia dongeng, dia adalah putri-putri rebutan para pangeran yang kemudian mengadakan sayembara, guna mencari pasangan terbaik.
Tiba-tiba dia terbangun. Matanya terbuka lebar, warna fusia-perpaduan merah, merah muda dan ungu. Kontras dengan kulitnya yang agak gelap. Cantik dan terasa magis.
Aku mundur belasan langkah saat dia duduk, selimut yang menutupi dada jatuh ke pangkuan dan rambut hitam kusutnya menutupi potret dari arah samping tempatku memperhatikan. Dia menatapku dengan kepala sedikit dimiringkan, seperti adegan dalam film horror. Sebelum aku sempat angkat suara, gadis ini mulai bernyanyi.
Lagu yang sama dengan yang kudengar di pantai.
Kilas balik kejadian beberapa saat lalu berputar dalam benak.
Suaranya indah, bening seperti embun, dan menyejukkan layaknya hujan deras. Aku tidak tahu bahasa apa yang digunakannya saat bernyanyi, yang kutahu, makin didengarkan isi pikiranku jadi berkabut, rasionalitas tidak terjaga, dan konsentrasi lenyap. Rasanya seolah ada tangan yang menutup kedua mata, lalu menuntunku menuju arah yang tak tentu. Bukan hanya buta, nyanyian ini juga menulikan. Tidak terdengar suara apa pun, selain nyanyian magis itu. Tak heran ketika di pantai tadi, lagu dan suara ini membuatku tidak sadar sudah menenggelamkan diri.
"Berhenti," geramku pelan, berlutut sambil menutup kedua telinga. Berusaha mengenyahkan suara terlampau merdu itu dari dalam benakku. "Berhenti!"
Gadis itu terus bernyanyi, suaranya semakin menjadi-jadi. Indah, sampai rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Namun, menyihir dan mematikan.
"Berhenti! Berhenti! Berhenti!" Aku berteriak.
Dia menghentikan nyanyiannya.
Kutatap gadis itu dengan amarah yang dipompa ke seluruh tubuh, sambil kembali berdiri. Wajah cantiknya tidak lagi terlihat menarik. Gadis ini tipuan, suaranya, tampilannya, dia adalah tipuan. Tampak cantik dan indah dari luar, mematikan, dan menyihir dari dalam.
Aku punya firasat sepahit pil yang ditelan bulat-bulat. Rasanya aku baru saja masuk perangkap, perasaan tidak enak itu bercokol dalam tenggorokan ketika aku bertanya.
"Apa yang kamu lakukan padaku?"

Hai 🐤
Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? Semoga suka, ya (/^▽^)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro