Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Ayahku Pasti Tidak Waras

Ini baru banget ditulis. Karena aku tulis ulang. Bantu temukan tipo, ya. Selamat membaca (๑•̀ㅂ•́)و✧

Buat ancang-ancang, masih ingat sama cowok yang ngikutin Matthea dan manggil dia, putri? Dia muncul lagi di sini.

Tekan tombol vote.

***

Matthea.

Sulit untuk mendeskripsikan ibunya Lynn. Wanita bernama Sarah ini mengingatkanku dengan salah satu tokoh ibu peri ajaib dalam buku dongeng bergambar di rak baca Elio, yang membantu Cinderella pergi ke pesta dansa. Kehadirannya saja sudah membuatku merasa senang. Beliau berwajah mungil dengan kerutan penanda tua yang tidak bisa menyembunyikan betapa cantiknya dia saat seusia kami, tubuhnya lebih pendek dariku, berambut hitam yang dipangkas menyerupai laki-laki, kulitnya putih kemerahan, dengan mata cokelat yang berkilat-kilat penuh humor. Setiap kali dia tersenyum, aku bisa melihat sepasang cekung di pipi dekat bibirnya.

Sarah memancarkan kehangatan, keramahtamahan, dan berada di sekitarnya membuatku senyaman tinggal di dalam bak mandi Elio. Antusiasmenya menular dan dia bersikap seolah dirinya adalah ibu semura orang. Dia memanggilku, "Nak." Dan menggengam kedua tanganku lembut, meskipun telapak tangannya kasar. Manisnya. Angkat aku jadi anakmu, Bunda!

Kami sedang duduk berhadapan di ruang tengah rumah Lynn. Catnya berwarna salem, lantainya dilapisi karpet cokelat bermotif kuda yang lembut. Di tengah-tengah, ada meja persegi dengan taplak dan penghangat di bawahnya. Sebelah kananku ada lemari setinggi pinggang yang pintunya kaca. Ada beberapa pigura foto keluarga di dalamnya dan album-album tua. Elio bersandar di sana, sementara Lynn duduk dekat pintu masuk dengan buku sketsa. Ruangan ini beraroma kayu manis dan angin sepoi-sepoi berembus dari kipas berdiri di kiri Elio.

Aku sudah menceritakan semuanya, mulai dari pertemuan dengan Elio sampai ajakannya untuk menemui ibu Lynn. Aku tidak bercerita soal penguntit waktu itu, merasa bahwa ia tidak perlu mengetahuinya.

Sarah menatapku teduh, membuatku betah memandanginya juga. Walau sesekali ia kelihatan terkejut, apalagi saat kuceritakan bahwa aku dan Elio sama-sama separuh, ia dengan cepat kembali tersenyum. Saat kubilang, aku masih tidak bisa mengingat kehidupan lamaku juga betapa sakitnya kakiku ketika berjalan, dia mengelus tanganku dengan ibu jari sambil tersenyum.

"Itu memang tidak bisa dihindari, Sayangku. Saat pertama berubah sepertimu, Ibu juga merasakannya." Kata 'sayangku' masuk sampai ke hatiku yang paling dalam. Dia terus mengelus punggung tanganku. "Rasa sakit itu akan hilang nanti, pelan-pelan. Kalau tidak tahan, kamu bisa duduk. Tidak perlu memaksakan diri untuk berjalan."

Aku menggangguk patuh.

"Lalu, soal ingatan ... Ibu mendapatkan ingatan lama secara berangsur-angsur. Mula-mula kabur sekali, tidak jelas. Seiring berjalannya waktu, semakin kelihatan. Butuh waktu seminggu untuk mengembalikan ingatan dasar seperti ...." Dia bergumam panjang sambil menatap lantai, kemudian beralih padaku lagi, "darimana kita berasal, seperti apa wajah orang tua kita, siapa nama mereka. Hal-hal seperti itu. Lalu setelah dua minggu, tiga minggu, ingatan seperti: apa yang terjadi sebelum menjadi siren menghampiri. Keping ingatan tentang siapa diri kita, apa makanan favorit kita, lagu yang kita sukai, hobi macam apa, rutinitas yang dulu dilakukan. Kemudian setelah sebulan, dua bulan, kamu akan ingat pelajaran-pelajaran di sekolah dulu, juga teman-teman dan para sahabat." Dia menggenggam tanganku erat.

Kutatap tangan kami yang saling berpegangan dengan perasaan tidak enak. "Sudah hampir seminggu," kataku pelan. "Namun aku benar-benar tidak ingat apa pun."

"Semua orang punya waktunya masing-masing, Nak." Tangannya mengelus pipi kananku. "Mungkin ingatanmu akan muncul terlambat. Itu tidak masalah. Kami akan menemanimu sampai benar-benar ingat, ya." Kulihat Elio tersenyum dan mengangguk dari sudut mataku. Aku ikut tersenyum.

"Daripada itu," Sarah menurunkan tangannya dari pipiku, "Ibu merasa kamu belum tahu. Dulu, saat awal-awal menjadi manusia, ada seseorang yang mengikuti Ibu."

Aku terbelalak. Dia tersenyum seolah mengatakan: Aku tahu, kamu juga. Meskipun, kamu enggak cerita, Sayangku. Tiba-tiba aku merasa malu sekali, karena sudah menyembunyikannya.

Sarah tertawa. Suara ketawanya mengusir gelisahku. "Orang yang mengikutiku ini, aku tidak tahu namanya siapa, dia juga tidak pernah bicara, atau berusaha menghampiriku ...."

Tunggu, apa?

"Kurasa dia hanya bertugas, sampai aku benar-benar aman dan nyaman di daratan. Setelah ayah Lynn mengajaku bertemu Papa dan Mamaku, dia menghilang. Dalam diary-ku, dia kusebut sebagai Utusan Laut."

Aku melepaskan tanganku dari Sarah. Dia kelihatan kaget dan bingung. "Kamu enggak apa-apa, Sayang?"

Aku menggeleng. Bukan untuk menjawab pertanyaannya. Aku bingung, merasa pusing, dan tertekan. "Utusan Laut itu ... dia bicara padaku."

Kudengar Elio berbisik, "Sudah kuduga."

Aku menatapnya, Elio beringsut mendekat. "Kalau kamu enggak keberatan, kamu bisa cerita sekarang."

Perkataan Elio, senyuman dan genggaman Sarah, bahkan tatapan Lynn dari sana seperti memberikanku keyakinan. "Waktu itu Elio dan Selene baru aja pergi. Aku akan masuk ke rumah, tetapi dia menghentikanku. Katanya, aku harus kembali ke laut."

"Aku bukan putri," bantahku. Aku bersumpah, perasaanku sangat tidak enak. Aku tidak pernah merasa begitu terganggu dengan kedatangan orang lain, selain melihat pria asing ini berdiri di depanku. "Namaku Matthea."

"Itu bukan nama." Dia membantah cepat. "Itu gelar dari penguasa laut."

Bulu kuduk di punggungku meremang. "Omong kosong!"

"Pernah mendengar soal bangsa Nisnas?" Dia menatapku lekat, sampai-sampai aku merasa gugup. Barangkali tinta cumi-cumi di tengah laut tidak segelap matanya. "Aku rasa belum."

"Tanya sendiri, jawab sendiri," sindirku. Mengutip perkataan Selene saat kami sarapan tadi. Aku ingin beranjak dari sana, meninggalkannya dan membanting pintu. Namun, entah kenapa aku tetap berdiri seolah menunggu penjelasan seperti orang dungu.

"Bangsa Nisnas hidup di zaman sebelum manusia pertama diturunkan," katanya. "Ada yang beranggapan mereka tidak secerdas manusia saat ini dan hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi aku lebih setuju dengan dugaan bahwa mereka jenius karena bisa menciptakan peradaban yang lebih maju dari sekarang. Kapan-kapan kutunjukkan buktinya. Bangsa Nisnas terbagi dalam tiga ras: manusia setengah hewan, manusia bersayap, dan manusia setengah ikan." Jeda di antara penjelasannya membuatku ingin kabur. Ada perasaan tidak asing dalam penjelasannya dan aku takut. Takut menerima sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa.

"Tuhan menghukum bangsa Nisnas yang gemar berperang dan menumpahkan darah saudaranya sendiri dengan mendatangkan bala tentara dari langit, para iblis yang waktu itu belum membelot. Hasil peperangan tentu dimenangkan pihak Azazel. Sebagian besar bangsa Nisnes punah, sebagian kecilnya hidup bersembunyi. Termasuk manusia setengah ikan yang membangun peradaban mereka sendiri di dalam lautan."

Aku memelototinya. "Cukup!"

"Bangsa Nisnas terakhir dari ras ketiga, menjadi Penguasa Laut. Dialah yang mengawasi dan mengatur seluruh makhluk-makhluk yang tinggal di dalam air. Kurasa tidak perlu kujelaskan, makhluk-makhluk seperti apa yang mendiami wilayah itu, kamu pasti sudah tahu."

"Buat apa kamu menceritakan ini!" Semburku galak. Aku berusaha menyangkal, tetapi untuk kali pertama, aku merasa hidupku sedang berada dalam poros yang tepat.

Dia menatapku lekat-lekat. "Ada alasan kenapa kamu harus kembali ke laut, walaupun aku berani sumpah, kamu adalah manusia. Pertama dan satu-satunya, ayahmu sang Prodigious Savants yang memintamu. Jika kamu ingin menyalahkan seseorang atas kutukan siren, salahkan dia bukan 'Dewa Laut' alias Penguasa Laut alias Bangsa Nisnas. Tapi, dia. Ayahmu."

Siapa pun yang disebutnya sebagai 'ayahku' ini terasa sangat menyebalkan dan aku tidak ingin dianggap sebagai anaknya. "Aku tidak mau kembali."

Pria di depanku menatapku seperti: sudah kuduga, kamu akan bilang begitu. "Kalau kamu tidak mau. Penguasa Laut akan melakukan cara paksa."

"Apa?" Aku menjerit.

Dia menatap arlojinya. "Maaf, aku ada janji makan siang dengan ayahmu. Sebaiknya pikirkan ini baik-baik dan kembalilah secara sukarela. Kamu tidak mau desa ini ditenggelamkan, kan? Omong-omong, ayahmu bilang kamu menguasai benda cair. Mungkin juga kekuatan lain, soalnya kamu itu anaknya Prodigious Savants." Dia menggedikkan bahu.

Sebentuk cahaya spiral muncul dari balik tubuh laki-laki ini. Dia tersenyum dan melambaikan tangan. "Sampai jumpa lagi, Matthea." Dalam sekedip, tubuhnya lesap bersama cahaya tadi.

Hai, halo! Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? (ノ・ェ・)ノ
Penasaran? Pelan-pelan, ya. Nanti bakal terjawab. Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro