Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Selamat Malam! Bab Pertama dan Aku Tenggelam

Halo (/^▽^)/ senang melihatmu di sini. Jangan lupa menekan tombol vote. Terima kasih kepada Kak amaliazelle_ yang sudah membuatkan banner. Jangan lupa dukung Kak Amaliazelle dan karyanya yang juga diikutkan dalam Gas Nulis ฅ^•ﻌ•^ฅ

Selamat membaca. <( ̄︶ ̄)>

***

Elio.

Setelah orang tuaku meninggal, aku tinggal bersama paman dan bibi dari pihak ayah. Mereka menjadi waliku dan mengurus segala keperluanku sampai tamat SMP dan memulai tahun pertama SMA. Setelah bertahun-tahun hidup menumpang, delapan tahun lalu, saat usiaku genap tujuh belas tahun dan kartu kependudukan legalku diresmikan, aku memutuskan untuk tinggal terpisah.

Paman sedang duduk di beranda. Di sebelahnya, secangkir teh yang sudah mendingin menemani keseruan mengisi TTS pada sebuah koran usang edisi dua hari lalu. Beliau pasti sudah mendengar niatku dari bibi. Karena sebelum menghadapi keras kepalanya paman, aku biasa merayu pujaan hatinya duluan. Bibi akan memberitahu paman dan keduanya berdiskusi terlebih dahulu. Lalu kemarin, bibi berkata bahwa paman ingin mendengar izinku secara langsung.

Jadi di sinilah aku duduk sekarang, kursi kayu berukir rumit samping paman, dipisahkan meja bundar berkaki pendek dengan taplak bunga.

"Paman, aku mohon izin untuk tinggal di rumah lamaku. Aku ingin mengurus semua peninggalan Ayah dan Ibu."

Paman menurunkan korannya ke pangkuan, melepas kacamata dan menatapku lembut dengan sepasang mata yang nyaris disembunyikan kerutan pertanda tua. Meskipun aku sudah lebih tinggi darinya, bagi paman, aku akan selalu seperti anak ayam yang rawan tersesat.

"Pikirkanlah terlebih dulu, Lio." Paman memanggilku dengan sapaan yang sama seperti mendiang ayah dan ibu. Aku tahu, ia ingin aku menganggapnya seperti orang tua sendiri. "Hadiah uang tunai dari lomba menulis yang kamu ikuti itu memang luar biasa," katanya dengan seulas senyum bangga.

"Tapi, tetap saja, akan lebih aman jika kamu tinggal bersama kami. Selene juga pasti tidak akan senang, jika adik laki-lakinya memilih keluar rumah."

Aku tersenyum, membayangkan wajah mengomel Selene. "Tidak apa, Paman. Aku sudah siap dimarahi," gurauku, tetapi paman tidak tertawa. Canggung sekali. Aku berdeham.

"Begini, Paman. Bukannya aku tidak senang tinggal di sini. Hanya saja, aku ingin mengurus barang-barang di rumah lama. Ayah dan Ibu juga pasti ingin aku mengurus rumah kuno yang mereka perjuangkan bersama-sama itu." Pelan-pelan, kujelaskan ragam alasan lain yang telah kupikirkan matang-matang. Aku tidak ingin paman menganggapku mau meninggalkan rumah hanya karena baru memenangkan sejumlah uang tunai.

Paman mengembuskan napas panjang. Suaranya terdengar memohon ketika berkata, "Kalau kamu pindah ke sana. Berarti sekolahmu juga pindah."

Aku mengangguk ragu. "Aku akan mengurus seluruh surat kepindahannya."

Paman menggeleng, tangan ia kibaskan seolah mengusir nyamuk. "Tidak-tidak," katanya berulang-ulang. "Paman akan membantumu. Apa kamu sudah tahu ingin sekolah di mana?"

Aku mengangguk. Padahal aku tidak ingin merepotkannya lagi, tapi ujung-ujungnya begini. Paman tidak akan membiarkanku angkat kaki dari rumah jika kuhalangi niat baiknya yang satu ini.

"Baiklah, Lio." Paman tersenyum tipis, kepalanya yang sudah ditumbuhi uban mengangguk pelan. "Tapi, kamu harus memenuhi sebuah syarat."

Paman memberi syarat mudah yang berat. Beliau ingin terus menyokong kebutuhanku meski aku sudah hengkang dari kediamannya. Paman bersikeras, jika uang yang kudapatkan dari lomba menulis nasional dan tabunganku, hanya boleh digunakan untuk bersenang-senang. Jika aku butuh apa-apa, aku tetap harus menghubunginya dan bibi.

Kusumbat telinga dengan headset, pandanganku lurus ke luar jendela yang menampilkan jalanan besar yang lenggang. Menjauhi hiruk-pikuk kota dan impitan gedung-gedung pencakar langit, kawasan hijau sawah sejauh mata memandang benar-benar memanjakan. Kusandarkan kepala pada jendela. Bus ini sepi. Tidak banyak orang yang mau mengunjungi desaku di luar musim liburan. Kendaraan yang tak terisi separuhnya ini berbau asap rokok dan keringat. Bercampur dengan aroma pengharum yang membuat mual.

Ketika hamparan sawah berganti menjadi lautan biru seluas langit, kantuk mulai menyerangku. Samar-samar, kulihat pantai terbaik kota ini di kejauhan. Bus berjalan di atas dataran yang lebih tinggi, sehingga walaupun dari jendela persegi kecil, aku masih bisa menikmati indahnya riak air asin yang menyentuh permukaan pasir. Suara Ashley Serena dalam gendang telinga menjadi pengantar tidur yang sempurna.

Perjalanan dari terminal sampai halte di pinggir kota, memakan waktu tiga jam lebih. Dari halte itu, aku masih harus naik bus terakhir selama tiga jam lainnya dan berjalan lima ratus meter sambil menyeret kopor dan memanggul ransel hitam yang lebih tinggi dari kepalaku. Dengkul, punggung, telapak tangan, bokong, dan betisku mati rasa. Tidak heran Selene malas kemari.

Begitu tiba di rumah lamaku yang sama sekali tidak berubah, masih sederhana dan makin tua, aku langsung merebahkan diri di terasnya dan ketiduran lagi di sana.

Malam belum larut. Aku terbangun karena digerogoti nyamuk. Sudah begini, aku pasti tidak akan bisa tidur sampai besok pagi.

Rumah peninggalan ayah dan ibu rutin kukunjungi bersama keluarga paman, setiap dua atau tiga bulan sekali untuk dibersihkan. Lama-kelamaan, aku ingin menghabiskan waktu di sini. Menepi dari kebisingan kota yang tanpa henti dan menghargai sepi sembari mengetik. Rumah yang dibangun dari kayu-kayu ini luas, ada lima kamar di dalamnya -dua kamar utama dan tiga kamar tamu-dengan tiga kamar mandi, satu dapur, ruang tamu, ruang keluarga sekaligus ruang makan, dan dapur. Tidak ada TV, tetapi ada kulkas.

Setelah menyusun barang-barang, mengabari paman, mandi sampe wangi, dan makan malam. Aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar.

Rumahku berada tidak jauh dari pantai, aku tidak tahu jarak pastinya, tapi jalan sebentar saja sudah sampai. Aspal berganti dengan pasir putih diterpa cahaya rembulan, debur ombaknya memecah kesunyian malam. Sambil menenteng sandal jepit, aku berjalan-jalan terlalu pinggir. Membiarkan air menutupi betis.

Meskipun kakiku memijak tanah, pikiranku sudah melayang-layang entah ke mana. Dunia baru yang hanya ada dalam kepalaku, alur menegangkan, dan konflik sengit yang masih terlalu rumit untuk diurai dalam kata-kata pada laptop kesayangan di rumah.

Lalu, aku mendengar sebuah suara.

Suara wanita, tinggi, tetapi menyerupai bisikan di saat yang sama. Suaranya begitu menyihir tanpa lantunan musik pengiring, hanya suara bersih seindah langit cerah tak berawan, diiringi dengan dengung laut-suara saat menempelkan kulit kerang pada telinga.

Kepala kutolehkan ke segala arah, tetapi tidak ada siapa pun. Nyanyian yang bergema dalam kepalaku membuyarkan seluruh kewarasan, tubuhku diajak meninggalkan tepi pantai dan semakin masuk ke dalam lautan. Air pantai tidak lagi setinggi betis, kini mencapai pinggang, ombak malam yang bergulung-gulung bahkan sudah menampar-nampar wajahku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, pikiranku terlalu fokus pada lagu berbahasa aneh yang beputar di kepalaku. Rasanya seolah mendengar musik menggunakan headset, bedanya, suara ini terlalu indah untuk dimiliki penyanyi manapun.

Tersihir. Aku berjalan terus seolah lagu itu menarik keluar jiwa dan menuntunku. Lalu kakiku tidak lagi berpijak pada pasir. Air laut mengganti pasokan oksigen yang berusaha kuhirup.

Aku tenggelam.

Halo lagi! (ノ・ェ・)ノ bagaimana pendapatnya tentang bab ini?

Terima kasih. Sampai jumpa di bab berikutnya ✧٩(•́⌄•́๑)و ✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro