8 - Sebuah Rasa
"Sekali-kali, manusia memang perlu bersikap egois. Karena mementingkan perasaan orang lain yang belum tentu benar-benar peduli, tak jarang berakhir tragis."
~Sinyal Hijrah dari Mantan~
***
Di tempat lain, Yasa sebagai ketua Rumah Baca Madinah tengah sibuk mempersiapkan kegiatan persiapan serah jabatan pada beberapa kandidat pengurus RBM untuk bisa bekerjasama dalam mengkoordinir anggotanya dengan baik. Namun, sebelum itu mereka melaksanakan kerja bakti dulu. Jadi, untuk sementara anak-anak diliburkan dulu belajarnya.
Rumah Baca Madinah sendiri adalah sebuah perpustakaan sederhana yang sengaja dibangun khusus untuk anak-anak yang kurang mampu. Ruangannya dibagi menjadi tiga. Yaitu kelas belajar, perpustakaan, dan TPA. Yasa sengaja mendirikan tempat ini karena dia begitu prihatin melihat anak-anak kecil yang harus lari ke jalanan untuk mengais sesuap nasi juga putus pendidikan. Kebanyakan dari mereka adalah anak yatim piatu dan anak-anak yang memang ditelantarkan oleh orang tuanya. Bersama dengan beberapa temannya, Yasa berupaya dengan keras agar mereka tetap mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak lain di sekolah. Dan yang lebih membuat Yasa dan teman-temannya semangat adalah dukungan dari warga-warga sekitar yang tak jarang ikut berdonasi. Ya, meski kadang ada beberapa pihak yang tidak suka.
"Yumna tumben nggak ikut," celetuk Argi yang berada di sebelah Yasa.
Yasa terdiam. Dia baru sadar akan sesuatu. Ya Tuhan, dia lupa untuk mengabari Yumna. Pasti perempuan itu marah padanya. Bukannya apa-apa, Yumna memang sering berkata bahwa jika Yasa mengunjungi Rumah Baca Madinah, Yumna harus ikut. Perempuan itu suka sekali jika harus dilibatkan dalam membantu anak-anak di sini. Tak jarang saat libur kerja Yumna ikut mengajar di sini.
Tadi pagi Bilqis ke rumahnya untuk mengantar berkas-berkas yang akan diserahkan oleh Yasa ke pemerintahan setempat untuk penggalangan dana. Karena saat itu Bilqis datang dengan diantar ojek, sekalianlah dia ajak Bilqis berangkat bersama.
"Astaghfirullah, aku lupa ngabarin Yumna," seru Yasa sambil menepuk jidatnya.
Argi tergelak melihat perubahan pada wajah Yasa. Dia tak menampik bahwa Yasa dan Yumna terlihat seperti sepasang suami istri yang ke mana-mana selalu bersama. Memang selalu ada jarak di antara mereka, tetapi tetap saja. Yasa dengan perhatiannya, Yumna dengan sifat keras kepala dan manjanya. Hal itu kerap menjadi bahan ledekan di sini. Dan ini adalah pertama kalinya Yasa datang tanpa Yumna, dan digantikan oleh Bilqis.
"Hati-hati, nyonya besar marah nanti," ledek Argi seraya bangkit menuju pojok ruangan untuk mengambil sapu.
Yasa buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Setelah menemukan kontak Yumna, dia langsung menghubunginya. Sayangnya, panggilannya justru ditolak. Tak kehilangan akal, Yasa segera mengetik pesan untuknya. Semoga saja Yumna mau membalasnya.
Assalamualaikum. Yumna, maaf tadi pagi aku lupa jemput kamu. Soalnya buru-buru.😬
Yasa menghela napas lega begitu pesannya langsung dibaca oleh Yumna. Namun, jadi lemas kembali saat mendapati balasan singkat dari perempuan itu. Hanya kata "iya" untuk mewakili perasaan dongkol Yumna di sana.
Saat sedang mengetik pesan, Bilqis memanggilnya.
"Kak, itu dipanggil sama Kak Gilang," ujar Bilqis dengan tangan menggenggam sapu lidi.
Sontak, Yasa langsung memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, tidak jadi membalaskan pesan Yumna. Lantas bergegas menuju halaman depan untuk membantu yang sedang bersih-bersih.
Rupanya di depan sudah ramai. Beberapa di antaranya sibuk mengecat dinding yang warnanya sudah sedikit memudar. Sedangkan di sisi lain para perempuan sedang membakar sampah.
"Yas, sini," panggil Hamdan sambil melambaikan tangannya.
Yasa langsung menghampiri dua orang yang baru selesai mencangkul tanah untuk ditanami bunga. "Assalamualaikum, Kak Hamdan, Yudha. Udah dari tadi?" sapanya sambil menyalami kedua rekannya.
Sambil menggeser duduknya agar Yasa bisa ikut duduk, Hamdan menjawab, "Hmm ... lima belas menit yang lalu kayaknya. Belum lama. Kamu ngerjain apa di dalam?"
Terik matahari membuat Yasa merasa gerah. Bulir peluh membasahi pelipis hingga punggungnya. Untung saja tadi dia melepas kemeja dan menggantinya dengan kaus oblong.
"Nyusun barang-barang supaya ruangannya kelihatan makin luas. Pas cek isi lemari, masyaallah barangnya masih banyak yang belum terpakai. Mungkin besok-besok saat ada acara bisa dipergunakan. Sayang, mubazir kalau beli terus tapi cuma dipakai sesekali," seloroh Yasa membuat Hamdan dan Yudha manggut-manggut.
Yudha juga menambahkan, "Bener, Yas. Salah kita yang enggak ngecek dulu sebelum memutuskan untuk beli lagi. Kayak kemarin tuh, aku pikir spidol papan tulis hilang, makanya beli lagi. Ternyata pas tadi bersih-bersih si Bilqis nemuin empat spidol terselip di etalase. Pelajaran untuk ke depannya mungkin, ya. Supaya kita enggak ceroboh kalau naruh barang."
Hamdan tergelak. "Ya, begitulah barang. Saat dibutuhkan suka ngilang."
"Omong-omong, mana si Yumna? Biasanya dia yang bikin rame," celetuk Hamdan sambil mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru, namun tidak mendapati keberadaan Yumna.
Yasa hendak menjawab, tetapi kalah cepat dengan Yudha. "Kata si Retno tadi Yasa berangkatnya bareng Bilqis, Kak." Yudha mengalihkan pandangannya ke arah Yasa, "si Yumna nggak ngamuk kamu tinggal?"
Yasa menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. "Ya, gitu. Soalnya tadi lupa."
"Jadi laki-laki harus tegas, Yas. Pilih salah satu, Yumna atau Bilqis. Jangan sampai dua-duanya baper, nanti kamu yang repot. Namanya perempuan kan sulit ditebak apa maunya. Apalagi Kakak lihat, si Bilqis itu sudah mulai kelihatan suka sama kamu," jelas Hamdan membuat Yasa terdiam.
"Masa iya, sih?" pikir Yasa.
Yudha menepuk bahu Yasa beberapa kali. "Nggak pengin nikah muda, Yas? Enak lho, ke mana-mana ada yang nemenin, sakit dikit diperhatiin," godanya sambil menarik turunkan alisnya. Laki-laki itu tak mampu menahan tawanya begitu Yasa melayangkan tatapan tajamnya. Yudha memang sudah menikah, tepatnya Retno, perempuan salihah yang juga ikut berpartisipasi dalam memajukan Rumah Baca Madinah.
"Nikah itu bukan modal iseng dan buat senang-senang aja, Yud. Aku juga pengin nikah, tapi masih ada banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan," tandas Yasa memancing gelak tawa dua laki-laki di depannya.
"Apa pun itu, ingat kata-kataku tadi, ya," ujar Hamdan yang dibalas anggukan oleh Yasa.
"Insyaallah, Kak."
***
Yumna memandang kosong ke luar kaca jendela taksi yang dia tumpangi. Sedikit jenuh karena taksi yang ditumpanginya beberapa kali berhenti karena macet. Yumna baru ingat bahwa ini adalah weekend. Pantas saja kendaraan tampak padat merayap. Yumna tidak benar-benar datang untuk menjenguk Naresh seperti yang dikatakannya tadi pagi pada Ibra. Niatnya, dia akan berkunjung ke rumah Ustazah Firdha.
Sekelebat, Yumna teringat pada percakapan antara dirinya dengan Yasa beberapa waktu lalu.
"Denger aku baik-baik. Aku akan dengan senang hati dengerin tangisan kamu, kalau tangisan itu berasal dari rasa sesal atas kesalahan kamu pada Allah. Tapi kalau tangisan kamu hanya ditujukan untuk laki-laki itu, telingaku rasanya panas, Yumna. Kamu sadar, nggak? Yang kamu tangisin itu belum tentu jadi jodoh kamu kelak. Berhenti berharap sama manusia kalau kamu nggak mau sakit hati kayak gini."
Setelah diam sejenak, Yasa kembali menambahkan, "Dari kesalahan kemarin seharusnya kamu bisa memetik hikmahnya. Ingin-Nya belum tentu inginmu. Tetapi pilihan-Nya sudah pasti baik untukmu. Allah pisahkan kamu sama Naresh dengan cara seperti itu supaya kalian sadar. Kan Allah udah tegaskan, jangan mendekati zina. Jangan karena alasan cinta kalian jadi buta atas ketetapan yang Allah kasih. Jujur aja, aku merasa bersalah marah-marah kayak gini. Tapi ini demi kebaikan kamu, Na. Aku nggak mau kamu menyesal di kemudian hari."
Tanpa sadar, bulir air mata keluar dari pelupuk mata. Yasa telah menyadarkannya bahwa apa yang dilakukannya melanggar syariat Islam. Yumna tersenyum kecut, mengingat saat dia bersikukuh tidak mau disalahkan atas apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Naresh. Padahal itu memang salah keduanya yang mengedepankan hal-hal yang mereka anggap sebagai wujud dari cinta yang sebenarnya. Mereka keliru, hingga mereka lupa pada hakikat cinta yang sebenarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro