Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Bahagia Itu Apa?

"Terkadang, sekali pun kita disuguhkan pada hal yang sangat lucu, bibir enggan mengukir senyum. Dan anehnya, kadang-kadang kita akan tertawa hanya karena hal sederhana. Jadi benar, kan? Bahagia tidak selalu tentang satu hal."

~Sinyal Hijrah dari Mantan~

***

Detik demi detik berlalu dan Winda masih setia menanti kedua mata Naresh terbuka. Sedangkan Danang memilih untuk menunggu di luar. Bukan apa-apa, pria itu hanya takut begitu Naresh bangun lalu mengusirnya. Putra tunggalnya itu pasti masih menaruh rasa kecewa padanya.

Hari ini tepat seminggu Naresh dirawat. Belum ada tanda-tanda laki-laki itu akan membuka mata. Satu hal yang membuat Winda menangis seharian karena takut kehilangan Naresh.

Danang mengukir senyum sambil memandangi foto keluarga yang tersimpan pada ponselnya. Itu foto sekitar dua puluh tahun yang lalu, saat Naresh duduk di bangku TK. Dulu, mereka hidup sederhana. Danang masih bekerja sebagai kuli bangunan. Hingga akhirnya sahabat lamanya datang dan mengajak dia untuk kerja sama.

"Maafkan Papa, Nak." Danang menggumam dengan tangan yang bergerak cepat untuk menyeka bulir bening yang membasahi pipinya. Tidak, dia tidak boleh terlihat lemah. Seorang ayah harus terlihat kuat di depan anaknya. Karena ayah adalah tameng, jadi tidak boleh cengeng.

Di dalam sana, Winda hanya melamun sambil terus mengusap-usap tangan Naresh yang terasa begitu dingin dan pucat. Sesekali dia menciumnya.

Perlahan, kelopak mata Naresh terbuka. Jemarinya bergerak ringan tetapi sangat terasa di genggaman Winda. Wanita paruh baya itu sontak terkejut.

Naresh mengedarkan pandangannya pada setiap penjuru ruangan. Dia cukup terusik pada bau obat dalam ruangan yang didominasi warna putih tersebut. Terakhir, pandangannya jatuh pada Winda yang saat ini sedang menangis terharu karena penantiannya tidaklah sia-sia. Naresh bangun dan dia sangat senang.

"Ma?" Naresh memejamkan kedua matanya lagi saat merasa tenggorokannya begitu kering. Dia butuh minum.

"Kenapa, Sayang? Minum dulu ya, Nak." Winda buru-buru meraih segelas air minum dari atas nakas. Tak lupa sedotan agar Naresh tidak kesusahan saat minum.

Naresh menurut. Dia segera meneguk air minumnya hingga setengah gelas.

"Sebentar, ya? Mama mau panggil papa kamu dulu." Winda langsung bangkit dari kursi yang dia duduki. Dia akan memanggil suaminya sekaligus dokter untuk memeriksa keadaan Naresh.

Laki-laki itu sedikit kikuk. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Semalam dia bermimpi tentang Yumna. Perempuan itu menangis dalam peluknya, entah karena apa.

Beberapa saat kemudian dokter pun masuk bersama satu perawat yang mengekor di belakangnya. Dokter terus langsung memeriksa keadaan Naresh. Dokter dengan papan nama Wahyu tersenyum setelah memeriksa.

"Alhamdulillah. Keadaan anak Ibu sudah jauh lebih baik. Ingat ya, Bu, anaknya jangan diajak bicara terlalu serius dulu. Karena hal itu akan berakibat fatal pada saraf kerja otaknya," jelas sang dokter. Selama dokter menjelaskan keadaan Naresh, suster di belakangnya sibuk mengecek selang infus yang terpasang di tangan Nareh, begitu memastikan bahwa alatnya masih berfungsi dengan baik, mereka pamit untuk menjalani pemeriksaan yang lain.

Danang yang semula berdiri di belakang Winda, kini maju untuk melihat keadaan putranya. Bahkan, dia tak sanggup menahan air matanya yang mengalir deras dari pelupuk mata. Dia merasa amat bersalah atas kejadian ini. Melihat Naresh dengan keadaan terkulai lemas, perban di kepala, juga patah tulang pada tangan kiri membuat ulu hatinya terasa nyeri.

"Gimana sekarang? Ada yang sakit?" ujar Danang perhatian. Dia berharap Naresh dapat memaafkan kesalahannya.

Naresh menggeleng lemah. Tiap kali hendak mengeluarkan suara, tenggorokannya terasa kering.

"Naresh mau apa? Biar Mama carikan," tambah Winda. Tangannya bergerak menarik kursi untuk didudukinya.

Tiba-tiba, pikiran Naresh melayang pada Yumna. Dia merindukan perempuan itu. Terakhir kali yang dia ingat adalah saat Yumna berlari sangat kencang saat dia nyaris tak sadarkan diri.

Kini, pandangannya beralih pada papa dan mamanya yang ada di sini. Naresh tersenyum pahit. Apakah harus dengan sakit dulu baru orangtuanya akan peduli? Katanya, anak itu ibarat belahan jantung. Apa pun yang dilakukan oleh orang tua adalah demi anak. Tetapi, apakah dengan menelantarkan anak demi pekerjaan yang tiada habisnya bisa disebut sebagai kasih sayang? Naresh meragukan hal itu. Orang bilang, orang tua bekerja untuk kemajuan perkembangan anak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan terlalu sibuk pada pekerjaan, kadangkala perhatian terhadap anak menjadi terlupakan. Hal itulah yang paling dirasakan oleh Naresh. Dia tidak punya tempat berkeluh kesah. Naresh hilang arah. Sampai pada akhirnya satu-satunya orang yang peduli dan menyayangi dirinya pergi akibat kesalahan yang diperbuat oleh Naresh.

"Apakah harus nunggu Naresh sakit dulu baru kalian peduli sama Naresh?"

Sontak, pertanyaan Naresh membuat Danang dan Winda menelan ludahnya sendiri, tidak tahu harus menjawab apa. Danang berusaha meredam degup jantungnya yang terasa seperti mau copot.

"Papa minta maaf," cicit Danang begitu pelan, nyaris tak terdengar.

Winda jadi ingat perkataan dokter tadi. Dia tidak ingin terjadi hal buruk pada Naresh. "Em, Sayang. Kamu jangan berpikir terlalu berat dulu, ya? Mama enggak mau keadaan kamu jadi makin buruk," ujarnya berusaha menengahi.

Naresh memalingkan wajahnya. Dia senang karena Winda dan Danang masih peduli padanya. Tetapi, kenapa harus dalam keadaan seperti ini baru mereka peduli? Kenapa tidak sejak kemarin? Jujur saja, hatinya masih sakit mengingat saat Danang penamparnya.

"Papa kerja juga buat kamu. Kalau Papa nggak kerja, kamu nggak akan bisa dapatin sesuatu sesuka hati. Papa nggak mau kamu hidup dalam kesengsaraan seperti Papa dulu saat muda."

Naresh semakin naik pitam.

"Papa memang lebih sayang uang daripada dari anak!"

Plak!

"Kamu memang anak nggak tau diuntung, ya!"

Naresh mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia langsung pergi di saat hujan turun begitu deras. Panggilan Winda dia abaikan. Namun nahas, kepergiannya menciptakan malapetaka untuk dirinya sendiri.

***

Ibra duduk bersandar di ranjang tempat tidur Yumna. Bibirnya sibuk mengunyah permen karet, sesekali meniupnya hingga menciptakan gelembung seperti balon. Kedua matanya mengikuti setiap pergerakan Yumna. Perempuan itu sibuk memasukkan pakaian yang baru saja dia setrika.

"Kakak serius mau jenguk Kak Naresh?" tanyanya, memecah keheningan.

Yumna mengangguk. Begitu selesai dengan aktivitasnya, dia ikut duduk di sebelah Ibra. "Iya, jadi."

Ibra kembali bertanya, "Sama Bang Yasa?"

Kali ini, Yumna menggeleng. "Yasa lagi sibuk sama kegiatannya. Kakak nggak mau ganggu."

Yumna menatap kosong ke arah jendela yang terbuka lebar. Embusan angin kencang menerobos hingga masuk ke ruangan yang didominasi warna biru tersebut. Kamar Yumna memang didesain sederhana, dengan jendela yang cukup lebar agar Yumna bisa menikmati sejuknya angin pagi dengan sepuas-puasnya. Tak jarang, dia sengaja duduk di balkon untuk berjemur di bawah sinar matahari.

Ibra mengerutkan keningnya. "Tumben nggak ngajak Kak Yumna," celetuknya.

Yumna mengedikkan bahunya pertanda tidak tahu. "Nggak tau. Tadi Kakak liat dia sama cewek. Mungkin itu yang namanya Bilqis, sekretaris baru di organisasinya Yasa."

Diam-diam, Ibra mengulum senyum. Raut wajah Yumna terlihat seperti tidak bersemangat. Jangan-jangan, Yumna cemburu, pikirnya. "Kakak nggak cemburu kan Kak Yasa pergi sama cewek lain?"

Pertanyaan Ibra disambut cubitan keras pada lengannya. Pelakunya adalah Yumna. "Jangan ngaco, deh!"

Ibra meringis kesakitan. Namun pada detik berikutnya dia justru tertawa terpingkal-pingkal melihat perubahan pada raut wajah Yumna.

"Ibra, ada yang nyariin tuh," seru Aisyah yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu.

Spontan, Yumna dan Ibra menoleh.

"Siapa, Ma?" tanya Ibra.

Aisyah menggeleng. Justru memicingkan matanya seolah Ibra habis melakukan kesalahan. "Kamu enggak pacaran, kan?" selidiknya.

Sontak Ibra berjengit mendapat pertanyaan seperti itu. "Ih enggak, ya. Mana ada Ibra pacaran. Bisa-bisanya Ibra ditempeleng sama Papa," elaknya.

"Kok ada cewek cantik nyariin kamu di depan?" tuding Aisyah masih tak percaya.

Ibra menghela napas pasrah. "Ya udah kalau nggak percaya," serunya seraya melenggang pergi untuk melihat siapa tamunya.

Aisyah tertawa geli. Sebetulnya tanpa bertanya pun Aisyah tahu kalau Ibra tidak pacaran. Bagaimana tidak? Didekati perempuan saja dia sangat tak acuh, apalagi menjalin hubungan terlarang? Boro-boro mau naksir perempuan, Ibra itu cueknya keterlaluan saat di depan kaum hawa. Sampai-sampai sering dijuluki patung hidup oleh teman-temannya. Lain halnya saat di rumah, dia bisa jadi sosok yang sangat menyebalkan sekaligus jahil. Ada saja tingkahnya yang membuat Yumna kesal setengah mati. Bahkan dia tak segan-segan membuat Yumna menangis. Hal itulah yang membuat suasana rumah jadi ramai.

"Cari siapa?" basa basi Ibra begitu sampai di ruang tamu.

Gadis yang duduk di hadapannya langsung menunduk begitu Ibra datang.

"Kakak yang namanya Ibra, kan? Anu, perkenalan nama saya Aliqa. Tadi saya dititipkan ini sama Abang saya. Suruh antar ke sini," jelas gadis tersebut seraya menyerahkan bingkisan yang entah apa isi di dalamnya.

"Siapa nama abang lo?" Ibra bertanya seraya menerima bingkisan tersebut. Saat dibuka, ia langsung bisa menebaknya, "si Fadel, ya?"

Aliqa mengangguk. "Ya udah, Kak. Kalau gitu saya pamit dulu. Udah ditunggu teman di depan. Assalamualaikum," pamitnya.

"Wa'alaikumussalam. Sampaikan terima kasih gue ke Fadel, ya," ujar Ibra sambil mengantar Aliqa sampai teras.

Begitu punggung Aliqa mulai tak terlihat, Ibra terdiam. Dia seperti tidak asing pada gadis tersebut. Sepertinya mereka pernah bertemu, tetapi entah di mana Ibra lupa. Ibra langsung meraih bingkisan yang ada di meja, lantas membawanya ke kamar.

"Cie yang abis didatangin cewek cakep," goda Yumna sambil menaik turunkan alisnya. Iya, diam-diam tadi Yumna memang mengintip. Pembawaan Ibra yang kaku bak kanebo kering membuat Yumna tak mampu menahan tawa.

"Apaan, sih. Nggak jelas!" sahut Ibra seraya menutup pintu rapat-rapat agar Yumna tidak masuk ke kamarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro