6 - (Masih) Ada Rasa
"Banyak dari mereka yang ingin agar dirinya bisa diterima dengan apa adanya. Tetapi anehnya, mereka sendiri yang sering tidak mensyukuri apa yang dimiliki. Mereka tidak mencintai dirinya sendiri, tetapi berharap dicintai orang lain."
~Sinyal Hijrah dari Mantan~
***
Saat ini Naresh tengah berjuang antara hidup dan mati. Berdasarkan informasi dari dokter, dinyatakan bahwa Naresh mengalami gegar otak akibat benturan yang cukup keras pada saat kecelakaan. Gegar otak tersebut menyebabkan fungsi otak Naresh tidak bekerja dengan baik untuk sementara sehingga mengharuskan Naresh untuk dirawat total hingga benar-benar pulih.
Winda berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit sambil terus menggigiti jarinya. Dia terlalu gelisah, berkali-kali tangannya terangkat guna mengusap peluh yang membanjiri keningnya. Saat cukup lelah, dia langsung duduk di salah satu kursi tunggu.
Yumna diam-diam mengamati setiap gerak-gerik Winda. Raut sedih terpancar pada wajah wanita itu. Yumna yang tidak tega langsung menghampiri Winda.
"Tante yang tenang. Naresh pasti baik-baik aja." Yumna terus menepuk-nepuk bahu Winda agar rasa khawatirnya sedikit berkurang, "sebenarnya apa yang udah terjadi, Tan?"
Winda mendongak, menatap Yumna sebentar. "Siang tadi dia bertengkar sama papanya. Papanya juga salah, seharusnya dia nggak terpancing emosi. Dia malah menampar Naresh. Naresh nggak terima dan memutuskan untuk pergi dari rumah," curhat Winda.
Wanita itu pun menangis tersedu-sedu dalam dekapan Yumna. Winda itu terus menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja dia bisa melerai pertikaian antara suami dengan putranya maka hal ini tidak akan terjadi.
"Tante yang sabar, ya? Semuanya pasti akan baik-baik aja. Naresh pasti sembuh, percaya sama Yumna," bisik Yumna sambil membelai surai hitam Winda yang sedikit lepek karena keringat.
"Tante mewakili Naresh meminta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu, ya, Sayang? Tante sudah tau apa yang menyebabkan kalian putus. Naresh sangat menyesal dengan apa yang dia lakukan."
Tubuh Yumna menegang. "Tante tau dari mana?" selidiknya.
"Ah, bukan dari siapa-siapa. Kamu nggak pulang? Ini sudah malam. Takutnya nanti orang tua kamu khawatir kamu pulang selarut ini," kata Winda mengalihkan pembicaraan.
Layar ponsel dinyalakan, Yumna menepuk jidat setelah baru sadar bahwa waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia juga baru tahu kalau Yasa yang saat ini tengah duduk di kursi depannya beberapa kali mengirimkan pesan. Yumna paham, pasti Yasa sungkan untuk mengajak Yumna pulang karena bagaimanapun Winda sendirian di sini.
"Ya udah, Tante. Yumna pamit pulang, ya? Tante jaga diri baik-baik di sini. Mungkin sebentar lagi Om Danang datang," pamit Yumna sambil mencium tangan Winda.
***
Yasa mengantar Yumna hingga sampai depan pintu. Kedatangan mereka langsung disambut tatapan penuh tanya oleh Yusuf dan Aisyah. Yusuf berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan di dada.
"Terima kasih ya, Yasa. Yumna, ayo masuk." Yusuf berujar dengan raut datar. Tentu saja hal itu membuat bulu kuduk Yumna berdiri saking takutnya.
"Ya sudah, Om, Tante, saya pulang dulu. Assalamualaikum," pamit Yasa.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Yasa berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Dia takut bila Yumna dimarahi habis-habisan oleh Yusuf. Bagaimanapun, ini salahnya karena tidak bisa membawa Yumna pulang tepat waktu. Ya meski memang Yumna yang merengek untuk bisa melihat Naresh lebih lama. Apalagi, Winda sendirian di sana.
Seperti dugaannya, Yumna dimarahi oleh Yusuf. Pria itu begitu kesal karena putri sulungnya ini susah sekali diingatkan.
"Sudah berapa kali Papa bilang untuk jangan dekat-dekat dengan keluarga itu lagi? Kenapa kamu susah sekali dikasih tau?"
Yumna melirik mamanya bermaksud meminta pembelaan. Tangannya gemetar meremas ujung bajunya. Cuaca di luar sedang dingin, tetapi tidak dengan suasana di ruang tamu ini. Yumna jadi teringat saat pertama kali Yusuf memarahinya gara-gara Naresh. "Maaf, Pa. Yumna hanya kasihan sama Tante Winda, beliau sendirian di sana." Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya.
"Itu rumah sakit, Yumna. Ada banyak orang berlalulalang di sana. Kamu pikir Papa akan percaya dengan alasan kamu?" sentak Yusuf yang telah habis kesabaran.
"Papa nggak mau tau. Jangan pernah temui Naresh lagi. Apa pun alasannya. Kalau sampai hal ini terulang, jangan protes kalau Papa jodohkan kamu dengan laki-laki lain."
Yumna terpekur.
Aisyah tidak bisa berbuat apa-apa. Jujur saja, dia tidak tega melihat putrinya dimarahi seperti ini.
"Yumna ke kamar duluan," ucap Yumna singkat. Dia langsung mengayunkan kakinya menuju kamar. Di belakangnya ada Ibra yang turut mengekor.
"Gimana keadaan Kak Naresh, Kak?" tanya Ibra sebelum Yumna memutar gagang pintu kamarnya.
Yumna menghentikan langkah, lantas memutar balik tubuhnya. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya senyum getir untuk mewakili perasaannya saat ini. Dia langsung masuk ke kamar, mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari sang adik. Perempuan itu segera menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tangisnya pecah sambil memeluk bantal. Yumna tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Melihat Naresh dalam keadaan tak berdaya membuatnya khawatir serta ingin merawatnya sampai sembuh.
Jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas malam. Yumna masih belum bisa tidur. Pikirannya masih tertuju pada Naresh yang entah bagaimana keadaannya sekarang. Ponselnya berdering. Nama Yasa terpampang jelas pada layar ponselnya.
"Halo. Assalamualaikum, Yas," sapa Yumna.
"Wa'alaikumussalam. Tuh kan bener belum tidur. Tidur sana, udah jam berapa ini?" ujar Yasa dari seberang sana sambil menatap jam dinding yang menggantung di atas pintu kamarnya.
"Nggak bisa tidur, Yas. Tiap mau merem pasti wajah Naresh nongol di kepala. Perasaanku nggak tenang," curhat Yumna.
Terdengar helaan napas dari Yasa. "Naresh pasti baik-baik aja selama ada dokter yang menangani, Na. Jangan kebiasaan overthinking."
"Ya udah kalau gitu kamu cerita apa kek biar aku bisa tidur," celetuk Yumna diiringi kekehan kecil.
"Hmm ... oke deh. Kita cerita tentang Ummu al-mu'minin aja, ya?"
Yumna mengernyit bingung. Dia tidak paham siapa yang dimaksud oleh Yasa. Apakah dia adalah seorang wanita yang sedang ditaksir oleh Yasa? tebaknya dalam hati.
"Ummu al-mu'minin itu siapa? Doi kamu?" celetuk Yumna dengan polosnya.
Yasa tertawa kecil menanggapinya. "Bukan, Yumna. Ya kali ah. Jadi, dalam tradisi Islam tuh, yang kerap dijuluki ummu al-mu'minin adalah Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu. Istrinya Nabi Muhammad Saw. Ummu al-mu'minin itu artinya ibu orang-orang Mukmin. Seorang wanita yang cocok banget dijadikan panutan oleh perempuan-perempuan di masa sekarang."
Yasa diam sebentar. Tak lama, dia kembali melanjutkan, "Rasulullah aja sampai punya julukan khusus kan buat istrinya yang satu ini. Humairah yang artinya pipi kemerah-merahan. Enggak kebayang seberapa cantiknya Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu. Beliau itu selain cerdas juga punya sifat dermawan, lho."
"Apa bisa ya aku jadi seperti Siti Aisyah? Sempurna banget," celetuk Yumna sambil berangan-angan. Tangannya bergerak cepat mengambil bantal dan menaruhnya ke kepala ranjang sebagai sandaran.
"Tetap jadi diri kamu sendiri, Yumna. Kamu cukup meneladani sifat-sifatnya. Enggak perlu jadi orang lain untuk bisa dianggap baik."
"Kamu tau, Yumna. Meski beliau adalah istri dari Rasulullah, nggak pernah sekalipun Siti Aisyah menampakkan kesombongannya. Beliau tetap rendah hati. Bahkan, pakaian yang dipakai pun selalu sederhana. Masyaallah-nya lagi, wanita ini nggak pernah tergoda untuk meminta harta yang lebih. Padahal seandainya dia meminta, pasti Rasulullah kabulkan."
Yasa mengernyitkan keningnya saat mendengar suara dengkuran halus dari seberang teleponnya. "Na, kamu dengar aku, kan?"
Yumna diam tanpa merespons. Rupanya perempuan itu telah tertidur. Yasa tersenyum simpul. Pasti Yumna sangat kelelahan.
"Alhamdulillah. Akhirnya tidur juga. Selamat malam. Assalamualaikum." Setelah itu, Yasa langsung mematikan panggilan telponnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro