3 - Jarak dan Ruang
"Yang membekas memang sulit dilupakan, tetapi bisa diikhlaskan."
~Sinyal Hijrah dari Mantan~
***
Setiap kenangan bersama Naresh begitu membekas. Tak jarang hal kecil saja bisa membuat Yumna teringat pada lelaki tersebut. Namun, setelah perdebatan antara ia dan Yasa seminggu yang lalu, Yumna mulai berubah. Setiap malam, tak sekalipun Yumna tidak overthinking memikirkan cinta dan masa depannya. Naresh, laki-laki itu tidak lagi bisa menghubunginya semenjak Yumna memblokir nomor telepon serta akun-akun media sosialnya. Itu semua semata-mata Yumna lakukan agar hatinya lekas pulih dan bisa berdamai dengan lukanya.
Kalau kata Ibra, "Cintanya setengah mati. Dipatahinnya cuma sekali. Tapi, nusuk banget sampe ke ulu hati."
Yumna jelas tersentil oleh kalimat itu. Salahnya sendiri yang memulai hubungan berlandaskan dosa. Ada sedikit perubahan dalam diri Yumna. Seperti hari ini, jika di weekend-weekend sebelumnya dia selalu menghabiskan waktu bersama Naresh untuk jalan-jalan, maka sekarang sudah berbeda. Yumna lebih aktif mengikuti kegiatan Yasa.
Saat ini Yumna dan Ibra sedang menonton TV di ruang keluarga. Sedangkan Aisyah sedang menemani Yusuf ke tempat pemancingan karena nanti malam mereka akan mengadakan pesta barbeque untuk mempererat keharmonisan keluarga.
"Kok Mama sama Papa lama banget, ya?" gumam Ibra sambil mengunyah cookies cokelat buatan Yumna.
Yumna menanggapinya dengan malas, "Ya udah, sih. Biarin aja mereka menikmati pacarannya. Biasanya kan Papa sibuk kerja, sekarang adalah waktunya menyenangkan istri."
Ibra tergelak mendengar penuturan sang kakak. "Kak Yumna nggak mau tuh kayak Mama sama Papa? Romantis-romantisan gitu. Nikah sana, Kak, nikah," ledeknya sambil menaik-turunkan alisnya menggoda Yumna.
"Ib, Kakak udah pernah nabok kamu belum?" Yumna memasang wajah datar pada sang adik.
Ibra tertawa begitu kencang menanggapi kekesalan Yumna. "Wah, mau dong ditabok sama Kak Yum—"
Plak!
"Aduh! Kok ditabok beneran, sih?" protes Ibra sambil mengelus-elus pipinya.
"Katanya pengin ditabok. Ya udah, rasain," balas Yumna sambil menjulurkan lidahnya. Tangannya sibuk menekan tombol remote TV untuk mencari channel yang menarik.
Ibra mendengus kesal. Dia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai.
"Eh, Kak. Tapi serius lho. Aku ikhlas lahir batin kalau Kakak jadi nikah sama Kak Yasa. Kan kalian udah sama-sama dari kecil, masa iya nggak ada perasaan sedikit pun? Jadi curiga," celetuk Ibra yang kembali membuat Yumna geram.
"Ibra, air selokan punya tetangga sebelah kayaknya seger lho. Mau Kakak cemplungin ke sana, nggak?"
Mendengar hal itu, Ibra langsung bangkit dan lari sekencang-kencangnya menuju kamar. Mengabaikan panggilan Yumna yang sudah kelewat dongkol karena ulahnya.
Selang beberapa menit kemudian, terdengar ketukan dari pintu utama. Yumna bergegas bangkit untuk membukanya. Senyum cerah dari Aisyah dan Yusuf menyambut begitu Yumna membuka pintu. Di tangan kanan Yusuf terdapat kail, serta tangan kirinya menggenggam satu plastik ikan gurame. Sedangkan Aisyah membawa bungkusan yang Yumna tebak adalah bahan-bahan makanan yang akan dipakai untuk acara barbeque nanti malam.
"Banyak banget belanjaannya, Ma?"
Aisyah tertawa kecil seraya menyahut, "Iya dong. Sekalian belanja bulanan juga. Biar nggak perlu ke supermarket lagi."
Yumna mengangguk paham. Dia langsung membantu Aisyah untuk membawa barang belanjaannya.
"Ibra mana? Mau Papa suruh bantuin bersihin ikan, nih," tanya Yusuf sambil mengedarkan pandangannya dan tidak mendapati keberadaan putra bungsunya.
"Ibra di kamar. Nanti Yumna panggil," jawab Yumna, lantas mengekor Aisyah menuju dapur.
Yumna mengulum senyum tipis sambil memandangi punggung Aisyah. Wanita yang usianya menginjak 50 tahun itu bukan hanya seorang ibu baginya. Aisyah adalah teman, penasihat dan ibu yang bijak, juga alarm yang selalu menegur Yumna tiap kali melakukan kesalahan. Di sisi lain, ada Yusuf dengan sifat tegasnya. Yang akan maju paling depan jika mengetahui anak-anaknya disakiti. Patah hati yang paling berat adalah saat dia merasa gagal membahagiakan putra-putrinya.
Katanya, kebahagiaan atau kegembiraan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kecukupan hingga kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan yang intens. Yumna mengakui itu benar adanya. Terlepas dari masalahnya dengan Naresh, Yumna bersyukur masih bisa bercanda tawa dengan keluarganya. Merasakan kehangatan pada peluk manja penuh kasih sayang dari keluarga itu sudah cukup baginya.
"Woy!"
"Allahuakbar!" pekik Yumna begitu seseorang muncul dari belakang sambil menepuk pundaknya. Secara refleks dia langsung mencubit lengan si pelaku dengan gemas. Siapa lagi biang keroknya kalau bukan Ibra?
"Aduh, aduh! Ampun, Kak, ampun. Mama ... Kak Yumna jahat, nih!" adu Ibra sambil meringis karena cubitan Yumna cukup kuat kali ini.
"Kakak, jangan gitu sama adeknya!" seru Aisyah dari dapur dengan volume cukup keras.
Ibra tak mampu menahan tawanya. Dia merasa menang setelah mendapat pembelaan dari Aisyah. "Yuhuuu ... satu kosong," ledeknya. Di sudut matanya terlihat genangan air mata karena tak mampu menahan tawa begitu mendapati raut wajah tanpa ekspresi dari kakaknya.
"Bocah ngeselin!" tandas Yumna seraya berjalan menuju dapur. Telinganya jadi panas karena Ibra belum berhenti menertawainya.
Bukannya menghindar, Ibra justru terus mengekor di belakang Yumna. Hingga tanpa sengaja dia mendengar kegaduhan yang sepertinya berasal dari depan.
"Eh, Kak, bentar. Kok kayak ada ribut-ribut di luar?" celetuk Ibra menghentikan gerakan Yumna.
Perempuan itu langsung berhenti dan memutar badan. "Mana?" tanyanya bingung.
Dalam sekejap Yumna membulatkan matanya. Itu seperti suara Yusuf. Bukankah tadi papanya bilang akan ke belakang? Mereka berdua bergegas menghampiri asal suara.
"Papa kenapa—"
Yumna terpekur. Di depannya, Yusuf berdiri sambil memaki-maki seorang lelaki dengan balutan kaus putih dan jaket kulit yang sangat kontras dengan wajah tampannya. Namun, ada sesuatu yang cukup tidak enak untuk dipandang. Yaitu luka memar pada sudut bibirnya. Dia Naresh. Laki-laki itu terus memandangi Yumna dengan pandangan berkaca-kaca.
"Dasar laki-laki tidak tau malu. Ingat baik-baik! Sampai kapanpun saya tidak akan sudi kamu meninjakkan kaki di rumah ini lagi," maki Yusuf dengan deru napas yang tidak teratur.
Rasa sakit hatinya masih melekat dengan erat hingga saat ini. Bagaimana saat Naresh menyakiti Yumna, tentu dia masih ingat.
"Papa, udah," cicit Yumna dengan suara pelan. Dia berusaha menghalangi Yusuf yang ingin melayangkan tinjunya pada Naresh.
"Cukup, Yumna. Dia pantas mendapatkan ini. Laki-laki macam apa hanya yang mengedepankan nafsu. Kalau dia laki-laki yang bertanggung jawab, seharusnya dia datang ke sini dan lamar kamu. Bukan hanya mengumbar janji dan nyaris merusak masa depan kekasihnya sendiri," pungkas Yusuf sambil berdecih sinis.
Yumna terdiam. Dia sadar betul bahwa Yusuf teramat kecewa dengan apa yang dilakukan Naresh padanya. Bukan hanya Yusuf, Yumna jauh lebih kecewa. Namun, Yumna sudah ikhlas. Dia tidak ingin terlalu larut dalam rasa kecewa yang dia ciptakan sendiri.
Yumna pikir, rasa kecewa adalah sesuatu hal yang wajar karena segala hal yang kita inginkan belum tentu bisa kita dapatkan. Yumna rasa, tidak baik jika harus berlarut-larut dalam hal itu.
Saat merasa kecewa terhadap sesuatu atau seseorang, cobalah cari sesuatu yang dapat membuat rasa kecewa itu hilang atau berkurang. Salah satunya dengan menambah kecintaan kita terhadap Allah. Menjadikan rasa kecewa sebagai ujian hidup yang besar sekali hikmahnya.
"Yumna, aku tau aku sangat bersalah sama kamu. Tapi aku mohon, Yumna, maafin aku. Kasih aku kesempatan sekali lagi," mohon Naresh sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Sorot matanya yang sayu menggambarkan bahwa laki-laki itu kurang tidur.
Yumna sedih, biasanya dia yang selalu mengingatkan Naresh untuk tidak begadang. Ternyata, laki-laki itu belum berubah.
"Maaf, Naresh. Aku harap kamu ngerti. Tolong, silakan pergi dari sini," usir Yumna secara halus. Rasanya, terlalu malas untuk berargumen dengan laki-laki itu.
"Tapi, Yumna—"
"Kalau Kak Naresh beneran sayang sama Kak Yumna, seharusnya Kakak dengerin ucapan Kak Yumna," tambah Ibra yang membuat Naresh diam tak berkutik.
Naresh mengalihkan pandangannya ke arah Yumna, menatap perempuan itu lekat-lekat. Perasaan rindu kian bergejolak tak tertahan. Berhari-hari dia memantapkan hatinya untuk datang ke rumah ini. Sayangnya, yang dia dapat adalah penolakan.
Laki-laki itu cukup tahu diri. Jarak antara dia dan Yumna terlampau jauh. Bukan tentang berapa kilo meter, tetapi ada sekat yang membuatnya sulit mendapatkan maaf dari perempuan itu.
Rindu tercipta karena rentang jarak dan juga jarang bertemu dengan seseorang yang disayangi dan dicintai oleh seseorang tersebut. Iya, Naresh akui itu benar. Jarang bertemu sebab terlalu malu dengan apa yang telah dilakukan. Jika katanya rindu hanya bisa diobati oleh temu. Naresh mencoba memberanikan diri untuk datang, sekadar untuk memastikan bahwa Yumna baik-baik saja.
Naresh merindukan Yumna. Terlepas dari apa yang telah dia lakukan hingga membuat Yumna enggan untuk menoleh sedikit pun padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro