2 - Sesal 'kan Jadi Pelajaran
"Ingin-Nya belum tentu inginmu. Tetapi pilihan-Nya sudah pasti baik untukmu."
~Sinyal Hijrah dari Mantan~
***
Sudah terhitung sebulan lamanya Yumna berdiam diri di rumah. Alasannya, tentu saja menghindari Naresh yang masih berusaha menghubunginya, bahkan datang ke rumah.
Hari itu Yasa mengajak Yumna untuk pergi ke sebuah pondok pesantren tempat Yasa menuntut ilmu beberapa tahun yang lalu di Bekasi. Dia membawa banyak bingkisan sampai membuat Yumna ternganga saat melihatnya. Perempuan itu berpikir pasti Yasa menghabiskan banyak uang untuk membeli semua itu.
Yumna sampai pusing memperhatikan Yasa yang bolak-balik untuk memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil.
"Kok banyak banget sih, Yas? Enggak sayang uangnya dipakai sedekah semua?" tanya Yumna seraya mengekor di belakang Yasa untuk masuk ke mobil.
Yasa tersenyum singkat seraya menyalakan mesin mobil. "Jangan pernah takut jatuh miskin karena bersedekah, Yumna. Justru nih ya, orang-orang yang bersedekah sering mendapat keajaiban dan pertolongan tak terduga dari Allah," sahutnya.
"Tapi kan, Yas, menurut aku ini berlebihan deh. Orang-orang yang lebih kaya aja sedekahnya enggak sebanyak kamu menurutku," tambah Yumna.
"Gini ya, Yumna. Mau sedekah itu enggak perlu nunggu kaya dulu. Masalah banyak atau sedikit asal ikhlas ya why not? Lagi pula harta yang selama ini kita dapat kan hanya titipan dari Allah, sewaktu-waktu bisa diambil. Jadi, daripada dipakai untuk beli hal-hal yang enggak penting, lebih baik dipakai sedekah aja."
Perempuan itu mengangguk paham. Memang kebaikan Yasa tidak dapat diragukan lagi. Mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya selalu bisa membuat hati Yumna merasa begitu tenang. Laki-laki itu tidak pernah hitung-hitungan saat bersedekah.
Perjalanan kali ini memakan waktu sekitar satu jam. Hingga tak terasa mereka telah sampai di Pondok Pesantren Al-Hikmah.
Yumna menguap lebar setelah sempat ketiduran di mobil. Lantas terkekeh begitu mendapat teguran dari Yasa. Katanya, tidak baik menguap lebar tanpa ditutup dengan tangan sambil beristighfar.
"Iya, iya, maaf." Dia segera keluar dari mobil sambil membantu Yasa untuk mengeluarkan barang-barangnya.
"Assalamualaikum. Masyaallah, Kak Yasa. Apa kabar? Sini, sini, saya bantu," seru seseorang dari kejauhan. Di belakangnya turut mengekor beberapa santri yang sepertinya hendak menuju masjid untuk menunaikan salat Zuhur.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Eh, Fatih. Alhamdulillah baik. Udah masuk waktu salat, ya?" sahut Yasa sambil melihat ke arah segerombolan santri yang sudah rapi dengan balutan baju koko dan sarung.
"Alhamdulillah iya nih, Kak. Ya udah, Kak Yasa langsung masuk aja ke dalam. Barang-barangnya biar saya sama yang lain bantu keluarkan," ujar laki-laki bernama Fatih yang Yumna tebak usianya sama dengan Ibra. Sekitar 20 tahunan.
Yasa melirik ke arah Yumna yang hanya diam saja. Perempuan itu merespons dengan anggukan, mengiyakan perkataan Fatih.
"Terima kasih banyak ya, Fatih. Kalau gitu saya langsung masuk aja. Assalamualaikum," pamitnya seraya melambaikan tangan kepada Yumna agar mengikutinya.
Perempuan dengan balutan blouse dan celana kulot hitam itu merasa risih karena sepanjang jalan para santriwati terus melihatnya dengan tatapan aneh.
"Mereka kenapa, sih? Kok ngelihatin aku sampai segitunya. Ada yang aneh ya sama penampilan aku?" tanya Yumna sambil mensejajarkan langkahnya dengan Yasa.
Sebelah alis Yasa terangkat mendengarkan nada protes dari sahabatnya. Bola matanya ikut memperhatikan sekeliling. Lalu pandangannya jatuh pada Yumna. "Oh, itu karena kamu pakai celana, mungkin?" sahutnya setelah beberapa detik terdiam.
"Kok gitu? Apa salahnya coba?" ujar Yumna dengan nada protes.
"Namanya juga lingkungan pondok. Kan perempuan memang sebaiknya pakai rok atau gamis. Karena kalau pakai celana dan baju yang kamu pakai ini, lekuk tubuhnya masih bisa kelihatan." Yasa menjawab sambil sesekali menyunggingkan senyum saat beberapa santri dan santriwati menyapanya.
Mendengar perkataan sahabatnya, Yumna langsung menunduk.
Yasa terus melangkah tanda menyadari bahwa Yumna masih terpaku di tempatnya. Perempuan itu terdiam sambil menatap punggung Yasa yang kian jauh. Kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu merasuk jauh ke dalam lubuk hatinya. Ada perasaan malu dan sedih secara bersamaan.
Yumna mendongak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk melihat para santriwati yang tengah berjalan menuju masjid. Mereka benar-benar menjaga auratnya. Mungkin, bagi orang awam penampilan mereka terkesan norak. Namun, sangat menjaga penampilan.
Sebetulnya, Yumna paham dengan batasan-batasan aurat seorang muslimah. Anehnya, dia tidak menerapkannya. Malah sibuk mengikuti trend sampai mengabaikan syariat-Nya. Padahal, Allah Swt. selalu mengingatkan hamba-Nya dalam firman Al-Qur'an surat Al Ahzab ayat 59:
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang."
"Kok aku merasa tertampar banget ya sama kalimatnya Yasa?" gumam Yumna.
Sadar bahwa Yasa telah berjalan jauh di depannya, Yumna segera mengejar. Namun, langkahnya kian melemah saat mendapati seorang laki-laki berkemeja putih dengan bagian tangan yang dilipat sampai siku. Darahnya berdesir hebat begitu pandangan mereka terkunci satu sama lain.
"Naresh?" Yumna menggeleng lemah. Itu tidak mungkin Naresh. Lagi pula untuk apa laki-laki itu kemari?
Laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya, diikuti seorang perempuan cantik dengan balutan gamis hitam dan hijab syar'i.
"Yumna?" cicit laki-laki itu ragu. Jantungnya berdebar tidak karuan. Rasa rindu yang membuncah, rasa sesal teramat dalam, juga sekaligus rasa malu untuk menampakkan diri di depan perempuan yang masih dia cintai hingga detik ini. Keduanya saling bertatapan tanpa ada yang memulai pembicaraan.
Sepertinya, Yasa baru sadar bahwa Yumna tidak ada di belakangnya. Begitu menoleh ke belakang, dia terkejut bukan main. Lantas segera berlari untuk menyelamatkan perempuan itu dari rasa sedihnya. Bagaimana bisa dia baru menyadari ada Naresh di sini?
"Ak-aku ...." Yumna meremas ujung bajunya dengan tangan gemetar. Rasanya begitu sakit melihat kedekatan Naresh dengan perempuan yang dia yakini adalah kekasih barunya. Padahal, mereka baru putus setelah Naresh hampir merenggut kehormatannya. Tetapi laki-laki itu dengan mudah mendapatkan pengganti.
"Yumna." Yasa segera mendekat dan membawa Yumna pergi dari sana tanpa banyak bicara.
Perempuan itu hanya bisa pasrah saat Yasa menarik ujung bajunya untuk mengekor di belakang. Mengabaikan tatapan bingung dari Naresh juga seorang perempuan di belakangnya.
"Dia siapa, Bang?" tanya perempuan di sebelah Naresh.
Naresh tersenyum kecut seraya menyahut, "Bukan siapa-siapa. Ayo, ke mobil."
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Yumna masih saja menangis. Tak dapat dipungkiri bahwa rasa cintanya pada Naresh masih utuh. Belum berkurang sedikit pun. Padahal, laki-laki itu telah menyakiti hatinya. Yumna merasa dirinya begitu munafik. Bibir mengatakan benci sedangkan hatinya masih tak rela Naresh pergi.
"Yumna, udah berapa kali aku bilang? Hapus air matanya," perintah Yasa sambil menyerahkan sapu tangannya.
Lama-lama, Yumna jadi kesal. Dia langsung menepis sapu tangan yang diulurkan oleh Yasa.
"Kamu bisa nggak sih ngertiin aku kali ini aja? Kamu nggak tau gimana sakitnya di posisi aku saat ini," pungkas Yumna setengah membentak. Dia sudah bersabar sejak tadi. Akan tetapi Yasa seolah memancingnya.
Yasa mengembuskan napas dengan sabar. Dia langsung meminggirkan mobilnya. Yasa sadar betul tidak baik berdebat saat sedang berkendara.
Yasa memutar tubuhnya ke samping. Laki-laki itu paham betul pada apa yang baru dirasakan sahabatnya. Yasa ingat pada beberapa penggal kalimat yang dia baca lewat internet, kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Tatkala adab-adab bergaul antara lawan jenis mulai pudar, luapan cinta yang bergolak dalam hati manusia pun menjadi tidak terkontrol lagi. Dari situlah setan mencari cela untuk bisa menjerumuskan manusia pada hal-hal yang mendekati zina, yaitu pacaran.
"Denger aku baik-baik. Aku akan dengan senang hati dengerin tangisan kamu, kalau tangisan itu berasal dari rasa sesal atas kesalahan kamu pada Allah. Tapi kalau tangisan kamu hanya ditujukan untuk laki-laki itu, telingaku rasanya panas, Yumna. Kamu sadar, nggak? Yang kamu tangisin itu belum tentu jadi jodoh kamu kelak. Berhenti berharap sama manusia kalau kamu nggak mau sakit hati kayak gini."
Setelah diam sejenak, Yasa kembali menambahkan, "Dari kesalahan kemarin seharusnya kamu bisa memetik hikmahnya. Ingin-Nya belum tentu inginmu. Tetapi pilihan-Nya sudah pasti baik untukmu. Allah pisahkan kamu sama Naresh dengan cara seperti itu supaya kalian sadar. Kan udah Allah tegaskan, jangan mendekati zina. Jangan karena alasan cinta kalian jadi buta atas ketetapan yang dikasih sama Allah."
Tangis Yumna mulai reda. Dengan penuh rasa bersalah, Yasa kembali melanjutkan, "Jujur aja, aku merasa bersalah marah-marah kayak gini. Tapi ini demi kebaikan kamu, Na. Aku nggak mau kamu menyesal di kemudian hari."
Yasa mengatakan hal itu dengan nada pelan, tetapi berhasil menampar batin Yumna. Perempuan itu langsung diam.
Beberapa menit setelah keadaan mendadak hening, terdengar isak tangis yang berasal dari Yumna. Dia menangis tersedu-sedu sampai pipi dan hidungnya ikut memerah seperti tomat.
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Yumna bersyukur setelah mendapat wejangan dari Yasa. Laki-laki itu benar, seharusnya dia malu karena telah membuat para setan tertawa setelah berhasil mendorongnya pada jurang maksiat hingga hampir merenggut masa depannya.
Yasa melirik ke sebelahnya. Yumna masih menangis, membuatnya merasa bersalah. Bagaimanapun, rasanya tidak elok marah-marah seperti tadi. Seharusnya dia bisa lebih lembut dalam menasihati Yumna.
Laki-laki itu segera meraih sebotol air mineral yang ada di depannya. Membuka tutup botolnya dan menyerahkan pada Yumna, "Minum dulu."
Yumna menerimanya dengan tangan gemetar. Setelah cukup tenang, dia langsung mengusap air matanya sendiri. Jangan harap Yasa akan mengusap air matanya seperti di film-film, karena laki-laki itu tahu batasan.
"Maaf, seharusnya aku nggak bentak-bentak kamu kayak tadi," ungkap Yasa setelah beberapa saat terdiam.
Yumna hanya mengangguk. Dia masih enggan bersuara.
_______________________________________________
Yuhu, bagaimana dengan chapter ini?
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro