10 - Canggung
"Jangan bandingkan kita seolah langit dan bumi. Sebab manusia adalah sama, paket lengkap yang punya sisi baik dan buruknya sendiri-sendiri."
~Sinyal Hijrah dari Mantan~
***
Untuk beberapa hari ke depan, Yumna tidak ingin bertemu dengan Yasa, sekali pun rumah mereka hanya berjarak beberapa meter. Dari balkon saja, dia bisa melihat dengan jelas aktivitas apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki itu. Seperti saat ini, Yumna melihat Yasa sedang duduk di teras kamar sambil membawa Al-Qur'an. Sepertinya, sahabatnya itu baru saja usai dari salat Ashar. Kopiah berwarna hitam masih melekat di kepalanya.
Yumna segera masuk ke kamar sebelum Yasa menyadari keberadaannya. Langkahnya terhenti, lantas mendaratkan bokongnya pada kursi di depan meja rias. Yumna duduk sambil menopang dagunya dengan sebelah tangan. Wajahnya tidak berekspresi, sedangkan bola matanya menatap kosong pada cermin di depannya.
Tatapannya beralih pada jam weker di sebelahnya. Detik demi detik, dari hari ke hari, dia masih belum memberikan jawaban yang tepat atas perjodohannya dengan Yasa. Yumna resah dan gelisah karena takut salah memilih. Yumna bisa saja menerima perjodohan ini, akan tetapi dia takut jika Yasa terpaksa ikut mengiyakan. Bagaimana jika laki-laki bermata bening itu telah menyimpan nama seseorang di hatinya? Bukan hanya itu, nama Naresh masih kerap mengganggu pikirannya. Hanya dengan mengingat namanya saja, jantung Yumna masih berdegup tidak karuan.
"Yasa pasti nunggu jawabanku," gumam Yumna sambil menggigiti jeraminya.
"Yasa alim, ganteng, kelewat baik. Pasti kriteria dia juga tinggi. Seenggaknya, yang sama-sama alim. Kalau aku sama dia jelas bagai langit dan bumi."
"Dan ... aku nggak bisa bohongin diri aku sendiri. Aku masih cinta sama Naresh. Tapi, Naresh nggak ada kepastian. Aku juga nggak mau orang-orang menganggap aku nerima Yasa untuk pelarian."
Yumna tidak menampik bahwa yang diucapkan Aisyah tadi benar adanya. Dia seperti remaja SMA yang masih labil. Terlalu banyak kata "tapi" tiap kali hendak memutuskan sesuatu.
Sibuk melamun, Yumna dikagetkan dengan suara gaduh di depan. Yumna buru-buru keluar untuk melihat situasi yang terjadi.
Di sofa, Ibra tampak mengaduh kesakitan sambil memegangi kakinya. Di sebelahnya ada Aisyah yang begitu panik. Lain halnya dengan dua orang di sofa depannya. Mereka adalah Fadel dan ... entahlah. Yang pasti dia adalah gadis yang sangat cantik. Dan Yumna merasa tidak asing dengan wajahnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Yumna sambil mengambil posisi berjongkok untuk melihat kondisi kaki Ibra yang tampak memar di bagian mata kakinya.
"Yumna, coba deh kamu ke rumah Yasa. Minta tolong dia untuk antar ke rumah sakit. Kaki Ibra terkilir, bakal bahaya kalau nggak cepat ditangani," seru Aisyah dengan mata berkaca-kaca.
Sebetulnya tadi Fadel sudah memaksa Ibra untuk ke rumah sakit. Tetapi, Ibra bersikeras menolak. Alasannya, dia tidak mau disuntik dan minum obat yang sudah pasti sangat banyak.
"Aduh, Ma. Jangan ditekan. Sakit, nih," rengek Ibra sambil terus mendesis kesakitan.
Sontak saja hal itu memancing gelak tawa dari Fadel. Padahal, saat di lapangan basket tadi Ibra terlihat sangat cool seolah-olah kakinya baik-baik saja. Ibra memang selalu begitu, tidak mau banyak berekspresi di depan umum. Karena Ibra sudah pernah merasakan saat dia meringis menahan sakit dan mengundang segerombolan gadis-gadis untuk memberikan perhatian padanya.
"Halah. Di luar aja sok-sokan cool, di rumah ngerengek kayak bayi," ledek Yumna diiringi seringai lebarnya.
Fadel dan gadis di sebelahnya tertawa menanggapi ucapan Yumna.
"Bener banget, Kak Yumna. Mereka nggak tau aja ni bocah takut jarum suntik," tambah Fadel membuat seiri ruangan tertawa. Termasuk Aisyah yang tadi cukup khawatir dengan keadaan putranya.
"Del, ambilin tas gue di jok motor lo," pinta Ibra tanpa menghiraukan ledekan mereka.
Fadel melirik sinis. "Hilih, baru sakit bentar udah nyuruh-nyuruh, ya." Meski begitu, Fadel tetap menurut.
"Yumna, buruan ke rumah Yasa," seloroh Aisyah dengan tangan masih setia mengelus puncak kepala Ibra dengan sayang.
Yumna mengerucutkan bibirnya. Niat hati masih ingin menghindar dari Yasa, malah diminta ke rumahnya. "Ya udah, Yumna ke sana dulu. Assalamualaikum."
Selama Yumna tidak ada, dan Fadel tengah ke garasi untuk mengambil tas, Aisyah mengajak gadis di depannya untuk mengobrol. Karena sejak tadi gadis itu hanya diam saja.
"Kamu adiknya Fadel?"
Gadis itu mengangguk sopan. "Iya, Tante. Saya adiknya Kak Fadel."
Aisyah manggut-manggut. "Masih SMA, ya? Namanya siapa?"
"Kuliah semester awal, Tante. Nama saya Aliqa."
Aisyah melirik ke arah Ibra sekilas. Putra bungsunya itu sama sekali tak tertarik untuk ikut mengobrol. Dia malah asyik memejamkan matanya berusaha untuk meredam rasa sakit di mata kakinya.
Di sisi lain, Yumna berjalan ogah-ogahan menuju rumah Yasa. Begitu sampai, Yumna mengintip dari gerbang. Sepi sekali, pikirnya. Yumna langsung menggeser pintu gerbangnya dengan tenaga penuh. Pintu gerbang yang terbuat dari besi itu memang kerap kali membuat Yumna protes karena tenaganya tidak cukup kuat.
"Bismillahirrahmanirrahim," gumam Yumna sambil berusaha mendorongnya.
Bibir Yumna terbuka sedikit. Kelopak matanya mengerjap sangat lucu. Dia tidak menyangka bisa semudah itu mendorong pintunya.
"Masyaallah. Ini ototku yang terlalu kuat atau pintunya emang udah diperbaiki ya sama Om Darma? Nggak nyangka aku sekuat itu," gumam Yumna seraya tertawa geli dengan tingkahnya sendiri.
"Iyalah kuat. Dibantuin."
"ALLAHUAKBAR!" pekik Yumna seraya menoleh ke belakang.
Yasa berdiri santai sambil bersedekap, memperhatikan Yumna yang terus mengusap dadanya guna meredam degup jantungnya yang seolah mau copot.
Bagaimana bisa Yumna tidak menyadari keberadaan laki-laki itu? Yumna semakin gugup karena Yasa tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun ke arah lain.
"Heh, ghadul bashar!" tegur perempuan itu untuk menyadarkan Yasa. Bagaimanapun, Yumna tidak mau ketahuan salah tingkah di depan laki-laki bermata teduh tersebut.
Yasa terkikik geli. "Galak amat, Neng."
Yumna tidak merespons. Bahkan, dia tidak berani menatap lawan bicaranya.
"Kenapa pesanku nggak pernah dibalas? Tiap aku ke rumah juga kamu selalu nggak ada. Kamu menghindar, ya?" tuding Yasa sambil memicingkan matanya.
Yumna gelagapan. Tangannya meremas ujung baju dengan begitu erat. "Emm ... itu, kamu dipanggil Mama. Mau minta tolong buat antar Ibra ke rumah sakit," ujarnya dengan sengaja mengalihkan pembicaraan.
Laki-laki itu membulatkan matanya, terkejut. "Ibra kenapa?"
"Kakinya terkilir cukup parah. Jadi harus cepet-cepet dibawa ke rumah sakit. Tolong, ya," pinta Yumna. Setelah itu, dia langsung berbalik. Berlari sekencang-kencangnya menuju rumah tanpa mempedulikan Yasa yang sejak tadi memanggilnya.
"Kenapa jadi canggung gini, sih?" gumam Yasa sambil mengamati kepergian Yumna.
Baru sampai pintu, Aisyah sudah memberondonginya dengan pertanyaan. "Kok lama banget? Mana Yasa? Dia mau, kan?"
"Satu, satu, tanyanya, Ma." Yumna mengedarkan pandangannya ke sembarang arah. "Si Fadel ke mana? Udah pulang?"
Aisyah mengangguk.
"Dek, cewek yang tadi itu cewek yang ketemu kita pas lagi berteduh bukan, sih? Yang pas hujan itu," tanya Yumna. Dia masih penasaran, karena wajahnya seperti tidak asing di mata Yumna.
Ibra hanya menjawab dengan gumaman saja. Dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan Yumna.
"Cantik lho, Ib. Nggak tertarik?" goda Yumna sambil menarik turunkan alisnya. Dia tak mampu menahan tawa saat Ibra melayangkan tatapan sinisnya.
"Jangan mulai, deh," sungut Ibra. Kalau saja kakinya tidak sakit, mungkin dia sudah membalas perbuatan Yumna.
Tak lama, terdengar ketukan pintu. Yasa masuk dengan membawa jaket yang belum sempat dipakai.
"Assalamualaikum. Gimana kakinya? Sakit banget?"
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," sahut Yumna, Aisyah, dan Ibra secara bersamaan.
Ibra menggeleng, hal itu kembali mendapat ledekan dari Yumna. "Tadi aja ngerengek kesakitan, sekarang sok cool lagi," ledek Yumna.
"Yumna,"tegur Aisyah sambil melotot.
Yasa langsung membantu Ibra untuk berdiri. Sambil dibantu Aisyah, Yasa memapah Ibra untuk masuk ke mobil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro