Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 - Halalkan atau tinggalkan


"Sepertinya, kau perlu berteman dengan luka. Agar jika suatu hari nanti kaudapati hatimu patah, kau mampu memetik hikmahnya."

~Sinyal Hijrah dari Mantan~

***

Suasana hening menyelimuti ruang tamu di kediaman keluarga Yusuf. Ruangan yang seharusnya dingin karena adanya AC justru berbanding terbalik dengan suasana petang ini. Panas. Membuat amarah Yusuf semakin mendidih. Padahal, sudah menjelang magrib. Badannya sangat lelah karena seharian bekerja. Niat hati pulang cepat agar dapat istirahat, nyatanya keadaan hatinya malah makin runyam.

Beberapa menit yang lalu, Yumna pulang setelah dijemput oleh sang adik dengan mata sembab serta penampilannya yang berantakan. Keluarga Yumna tentu saja kaget. Yusuf langsung meminta penjelasan dari Ibra, dan laki-laki itu langsung menceritakan kronologinya se-detail mungkin. Mereka yang ada di ruangan kaget bukan kepalang. Lain halnya dengan Yumna yang  menangis sesenggukan dalam dekapan Aisyah.

"Papa kan sudah bilang. Tidak ada yang namanya pacaran syar'i! Pacaran itu berproses. Awalnya pegang tangan, terus peluk-pelukan. Dan sekarang, dia nyaris merenggut kehormatan kamu. Papa nggak habis pikir dengan anak kurang ajar itu." Suara yang berasal dari mulut Yusuf sampai menggema di setiap sudut ruangan. Tergambar jelas bahwa pria yang usianya hampir menginjak 50 tahun itu sedang marah besar.

Yumna semakin mempererat pelukannya. Dia terlalu takut menghadapi amarah Yusuf. Papanya itu pendiam, tetapi akan sangat mengerikan jika sedang marah.

"Sudah, Mas. Cukup. Yumna masih syok. Enggak baik memarahinya saat ini," lerai Aisyah. Bagaimanapun, dia seorang ibu. Tentu sangat tahu apa yang sedang dirasakan putrinya.

"Mas ngomong begini juga buat Yumna. Kalau aja kamu enggak terus memanjakan dia, pasti enggak begini kejadiannya. Apa-apa dituruti, jadi seenaknya," sentak Yusuf masih terbawa emosi.

Aisyah membuang napas pasrah. Percuma berbicara pada orang yang sedang dilingkupi emosi. Tak ingin membuat suasana semakin memburuk, wanita itu langsung membantu putrinya untuk berdiri. Membawa gadis itu menuju kamarnya untuk beristirahat.

"Ibra, masuk ke kamarmu." Aisyah menoleh ke seberang tempat duduknya, "sebaiknya Mas Yusuf mandi. Mas belum sholat, kan?"

Mendengar kata "salat" membuat Yusuf tertegun. Ya Tuhan, hampir saja dia melupakan kewajibannya. Begitulah cara kerja setan. Mereka pandai menyulut emosi pada manusia agar jauh dari-Nya. Untungnya, Yusuf segera sadar. Dia langsung mengusap kasar wajahnya sambil beristighfar. Tanpa banyak bicara, dia segera melenggang ke kamarnya.

Aisyah mengantar Yumna sampai depan pintu kamar. Begitu masuk, Yumna langsung duduk di sisi tempat tidur.

Rasanya begitu sakit saat mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Yumna tidak menyangka kalau Naresh akan melakukan hal itu padanya. Padahal, selama ini Yumna selalu percaya dan berharap besar pada lelaki itu. Dia kira, Naresh akan jadi yang terakhir untuknya. Ternyata, lelaki itu tidak lebih dari seorang pecundang.

Yumna terkesiap saat merasakan getaran pada ponselnya. Layar utama menampilkan notifikasi berupa pesan yang berasal dari Yasa.

Yasa
Yumna, aku udah tau ceritanya dari
Ibra. Now, I know you're not okay.
But, let me tell you one thing.  Allah
enggak tidur. Jadi, jangan takut, oke?

Kedua mata Yumna seketika terbuka lebar. Sudut bibirnya tertarik ke atas setelah membaca pesan yang dikirim oleh sahabat karibnya. Dia segera bangkit  dan melangkah menuju kamar mandi. Hampir saja dia lupa untuk melaksanakan salat Magrib.

***

Hingga malam menjelang, Yumna tidak beranjak dari kasurnya selain untuk menunaikan kewajibannya untuk salat. Makan malam juga dia lewatkan. Rasa perih pada perut yang kosong sejak siang tadi tidak menjadikannya alasan untuk segera turun ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan. Kini, semua anggota keluarga telah tidur. Namun, sepertinya tidak untuk Ibra. Laki-laki itu pasti sedang main game online sekarang.

Tak lama, terdengar ketukan pintu dari depan kamar Yumna. Gadis itu segera bangkit dan membuka pintu.

"Tuh, kan, belum tidur," seru Ibra seraya melenggang masuk ke kamar sang kakak tanpa permisi. Di tangannya terdapat nampan berisikan makanan dan susu putih hangat.

Yumna mendelik. Tangannya bergerak cepat menangkap ujung baju Ibra dan menariknya ke luar. "Ke kamarmu sendiri sana. Ngapain numpang makan di sini? Ngotor-ngotorin aja," usirnya dengan nada tak santai.

Ibra berdecak kesal pada Yumna yang tidak peka. Dia langsung menaruh nampannya di atas kasur. Setelah itu, menarik ujung bajunya yang belum juga terlepas dari tangan kakaknya.

"Dasar nggak peka. Cepetan dimakan itu, aku tungguin sampai Kakak selesai makan," tandas Ibra seraya merebahkan tubuhnya di kasur lantai. Dengan santainya dia menyalakan televisi sambil mengunyah kacang polong yang dia yakini baru saja dibuka bungkusnya.

Yumna terenyuh. Diam-diam mengulum senyum atas perhatian Ibra yang selama ini selalu jadi rivalnya saat di rumah. Dia tidak menyangka kalau Ibra akan melakukan hal semanis ini.

"Kamu habis kepentok apa? Tumben perhatian," ujar Yumna yang lantas dihadiahi pelototan tajam oleh sang adik.

"Asal Kakak tau, aku tu dari dulu memang baik. Kakak aja yang baru sadar," sahut Ibra, lantas kembali fokus pada layar televisi di depannya.

"Orang yang baik beneran nggak akan mengakui bahwa dirinya baik," sindir Yumna cukup pelan yang masih dapat didengar oleh Ibra.

Laki-laki berusia dua puluh tahun itu sengaja tidak menyahut. Kalau ditanggapi terus, dia yakin makanannya akan terbengkalai karena tidak jadi dimakan.

Yumna memakan makanannya sampai tandas tak tersisa. Setelah mencuci tangannya yang kotor, dia langsung duduk di samping sang adik sambil menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur.

"Udah?" tanya Ibra tanpa menoleh.

"Udah," jawab Yumna, ikut menatap layar televisi yang sedang menyiarkan film Blunt Force Trauma.

"Jadi, apa keputusan Kakak selanjutnya?" tanya Ibra. Dia mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Yumna.

Yumna terdiam. Jujur saja, berat rasanya jika harus berpisah dengan seseorang yang dia cintai. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Ini adalah salahnya. Membuka peluang bagi setan dalam menyesatkannya pada jurang kemaksiatan.

Saat sedang terpuruk seperti ini, Yumna jadi ingat pada perkataan Umar bin Khattab; "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, karena hasil akhir dari semua urusan di dunia ini sudah ditetapkan oleh Allah. Jika sesuatu ditakdirkan untuk menjauh darimu, maka ia tak akan pernah mendatangimu. Namun jika ia ditakdirkan bersamamu, maka kau tak akan bisa lari darinya.”

Ibra meraih tangan Yumna dan menggenggamnya dengan erat. Seolah menyalurkan kekuatan agar kakaknya bisa tersenyum lagi. "Jangan mencintai seseorang melebihi cinta Kakak terhadap Allah. Anggap aja ini teguran dari Allah karena Kakak terlalu mencintai Kak Naresh sampai Kakak nggak dengerin kata Papa untuk berhenti melakukan sesuatu yang mendekati zina."

Kedua mata Yumna mulai berkaca-kaca. Begitu terharu dengan cara berpikir adiknya. Jika biasanya kakak yang menasihati adik, ini justru sebaliknya. Yumna merasa tidak berguna sebagai seorang kakak.

Laki-laki itu menegakkan tubuhnya dengan bertumpu pada lutut. Dia langsung memeluk sang kakak sambil terus mengusap punggungnya agar Yumna berhenti menangis.

"Rasanya sakit, Ib," keluh Yumna tak mampu menahan air matanya yang terus menetes dari pelupuk mata.

"Kalau ada yang mau nyakitin Kakak, Ibra siap jadi tamengnya."

Yumna mengerti. Tidak semua kisah berakhir manis. Mulai saat ini, dia harus bisa membiasakan dirinya tanpa kehadiran Naresh. Dia akan anggap bahwa pertemuannya dengan Naresh adalah bentuk ujian yang sengaja Allah kirim kepadanya agar sadar bahwa tidak baik berlebih-lebihan dalam mencintai makhluk-Nya.

Dulu juga Aisyah pernah menasihatinya. Katanya, kesedihan memang akan senantiasa melekat pada hati orang-orang yang beriman pada-Nya. Namun, bukan berarti tidak masalah jika kita kita berlarut-larut dalam kesedihan.



 

_________________________________________

Gimana gimana gimana?
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro