12. terlambat
"Bunda!"
Bocah laki-laki berumur dua belas tahun itu berlari ke arah sang ibu begitu melepaskan sepatunya. "Astaga, Abang! Kenapa baru pulang?! Abang enggak liat ini udah jam berapa? Ayah sekarang lagi cari Abang di luar, kita khawatir, tau."
Bukannya merasa bersalah, bocah itu malah cengengesan dengan wajah tak bersalahnya itu. "Abang tadi nyasar. Tapi ada Kakak-Kakak cantik gitu yang nolongin Abang! Eh, tapi kayaknya umurnya sama kayak Abang, sih."
Si ibu menggeleng pelan, jam setengah tujuh malam, anaknya ini baru pulang. Dikira tak ingat rumah, ternyata tersesat. Untung saja ada yang menolong.
"Abang dianterin sampe rumah?"
"Enggak. Sampe depan komplek aja. Hehe, Abang main keluar komplek tadi ... makanya nyasar. Yang nolong Abang perempuan! Namanya [Name], cantik kan!?"
Mendengar cerita anak laki-lakinya, sang ibu hanya terkekeh. Dia mengelus kepala anak pertamanya pelan, sebelum memberi perintah kepadanya.
"Ya sudah, sana ke dalam, mandi dulu. Kamu bau banget. Kayak enggak mandi dua hari."
"Bundaaa!"
"Bercanda."
Setelahnya, bocah laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya yang di sana sudah ada lima adiknya. Masing-masing dari mereka memiliki raut wajah yang berbeda begitu melihat si kakak tiba di rumah.
"Abang ke mana aja?" adik pertamanya bertanya dengan raut khawatir.
"Hihihi! Tadi Abang main bola di luar komplek, terus ketemuu cewek cantik, lucu. Dia ngasih ini ke Abang!"
FrostFire―si sulung―mengeluarkan delapan permen berbentuk bintang dengan bungkus yang warnanya berbeda-beda.
"Um―karena kita berenam, masing-masing ambil satu. Nanti sisanya kasih ke Ayah sama Bunda. Ets, Abang yang warna biru, ya!"
"Abang ... Sopan kan enggak boleh makan permen, dia lagi sakit gigi."
"Oh iya juga. Ya sudah, jatah Sopan buat Abang aja, hihihi."
Sopan, sang adik yang mendengar ucapan kakaknya langsung mengerutkan alisnya tak suka. Ia menepis tangan kakaknya yang mau mengambil permen miliknya,
"Ini milik Sopan." katanya.
Sopan langsung mengambil permennya itu, lalu menyimpannya di dalam kantung celana yang sedang ia pakai. "Sopan akan memakan permen ini ketika sudah tidak sakit lagi."
"Aduh, kapan tuh gak sakit nya? Toh, udah sebulan kamu sakit gigi. Dibilang jangan makan permen terus ngeyel, sih. Jadi gak sembuh, kan." kali ini, si anak ketiga yang berbicara, alias Supra.
"Diam. Sopan akan sembuh."
Semuanya hanya tertawa mendengar ucapan Sopan yang terlihat sangat bertekad itu. Walau mereka tau keesokan harinya pasti Sopan kembali memakan permen secara diam-diam.
.
.
Keesokan harinya, di Hari Sabtu pada pagi hari, enam bocah itu berniat bermain bola di luar komplek lagi. Kali ini ditemani oleh kakak sepupu mereka; Beliung, agar tidak tersesat.
Sopan dan Sori tidak ikut bermain bola, sih. Sebenarnya Sopan malah tidak ingin ikut, tapi nanti dia bosan juga di rumah saja. Akhirnya ikut saja menonton saudaranya. Sori sendiri dia asik mencabut banyak bunga untuk diberikan pada bunda mereka.
Sopan sengaja duduk di tempat yang cukup sepi, tempat itu cukup jauh dari lokasi para saudaranya itu bermain bola, namun ia tetap bisa menontonnya.
Dia juga membawa buku, jaga-jaga jika nantinya dia mulai bosan menonton para saudaranya.
Tuk.
Sebuah lembaran batu kecil mengenai bahu Sopan. Membuatnya menoleh ke belakang, mencoba mencari sang pelaku.
"Hei!"
Pelaku pelempar batu itu menampilkan wujudnya. Dengan senyuman yang terpasang itu ia menghampiri Sopan, "ngapain di sini? Kamu nyasar lagi?"
"... Huh?"
"Shut! Biar aku inget-inget―um, namamu itu ... hemhem," dia membuat pose berpikir, seperti jari telunjuk berada di dahinya dan diketuk-ketukan pelan agar ingat.
"Oh, Osty! Iya, kan? Kamu inget aku? Aku [Name]! Yang kemarin bantuin kamu pulang sampe komplek."
Dari situ saja, Sopan langsung paham. Dia salah mengira jika Sopan itu adalah FrostFire, laki-laki yang diselamatkan olehnya.
"Eh? Maaf, kami beda or―"
"―jadi, kenapa ke sini? Kamu kayak gak ada kerjaan gitu. Main, yuk! Di gazebo sana sepi, kita main ke sana aja."
Tanpa persetujuan Sopan, [Name] langsung menyeret tangan Sopan ke arah gazebo, sehingga buku yang Sopan pegang jatuh ke bawah dan tak diambil.
"Di sini aja, tenang! Kalo kamu nyasar lagi aku bantuin pulang. Aku sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kamu baru dua tahun, kan?"
Sopan mengangguk, dia duduk di atas gazebo setelah melepaskan alas kakinya. Matanya melihat [Name] yang saat ini sedang mengambil bunga untuk disatukan hingga menjadi mahkota.
"Permen kemarin habis?"
"Ah? Ya...."
[Name] mengerutkan keningnya bingung mendengar respon orang di depannya, "kamu kenapa? Kok beda gitu. Hari ini kamu lebih kalem. Kemarin emang kalem, sih, tapi gak sekalem ini."
Itu karena mereka dua orang yang berbeda.
Sopan tak menjawab, dia hanya menggeleng dan kembali melihat aktivitas [Name] saat ini, hingga tanpa sadar―matanya terus menerus melirik ke arah paras cantik [Name], bukan ke arah tangan [Name] yang sibuk membuat sesuatu.
'... Cantik. Benar apa yang dikatakan oleh Abang waktu itu.'
[Name] sadar dengan tatapan itu, apalagi ketika melihat wajahnya merona. Sama seperti kemarin mereka bertemu. Dia juga merona seperti itu.
"Kamu liatin aku kayak gitu lagi. Kenapa? Aku cantik? Hahaha!"
Percaya diri sekali dia. Walau memang benar, sih. Sopan saja mengangguk, mengiyakan ucapan [Name] yang membuat [Name] kaget sendiri.
"... Berarti kamu suka dong sama aku?"
"Hah?"
"Kan biasanya kalo terpesona gitu berarti tandanya suka. Kamu suka sama aku, Osty?"
Perkataan [Name] yang seperti itu membuat dahi Sopan berkerut. "Memangnya seperti itu, ya? Bunda tidak bilang seperti itu."
"Kata temenku di sekolah gitu, sih. Ya, tapi kalo kamu suka sama aku, aku gak mau pacaran! Kalo bisa, nanti pas udah besar, kita ketemu lagi terus nikahin aku!"
Tuh, kan. Sopan jadi merona lagi. Umur mereka masih dua belas tahun, namun [Name] malah mengatakan hal itu.
"Bisa seperti itu?"
"Bisa, dong. Makanya, pas udah gede, kamu nikahin aku kalo beneran suka."
[Name] mengeluarkan jari kelingkingnya, ia dekatkan kepada Sopan, bermaksud untuk mengkode Sopan agar ikut mengeluarkan jari kelingkingnya.
"Janji, ya?"
"... J-janji."
Sopan ikut mengeluarkan kelingkingnya, disatukan dengan kelingking [Name] yang lebih mungil dari dirinya.
Tidak. Niat Sopan bukan menipu [Name] dan berpura-pura menjadi FrostFire. Tapi, dari awal ketika ia ingin menjelaskan jika dirinya bukan FrostFire, [Name] terus memotong perkataannya.
'... Ini tidak akan jadi masalah, kan?'
.
.
Dua belas tahun berlalu, usia mereka sudah menginjak dua puluh empat. Masing-masing dari mereka sudah ada yang menikah, dan ada juga yang belum.
Hari ini, Sopan dikejutkan dengan berita pernikahan kakaknya―bukan, ia tidak terkejut karena kakaknya akan menikah, dia terkejut ketika tahu siapa yang menjadi pengantin kakaknya.
"[Name]....?"
Oh, dari sini dia paham. Dia terlambat.
"Iya! Perempuan dua belas tahun lalu itu. Hehe, dia makin cantik sekarang. Duh, untung Abang berhasil nemuin. Tapi kayaknya dia enggak inget Abang, deh. Ya―Abang juga waktu itu pake nama samaran, sih."
Bagaimana bisa? Dia saja selama ini sudah pusing tujuh keliling karena tidak berhasil menemukan perempuan itu. Bagaimana bisa kakaknya dengan mudah menemukannya?
Mereka berdua sudah ditakdirkan bersama, begitu? Makanya dengan mudah Tuhan pertemukan mereka kembali?
"Waah~ selamat Bang Frost!"
"Hihihi, makasih Sori!"
Semuanya nampak begitu bahagia, tapi ada satu yang terlihat tidak menyukai kabar ini, dan Supra menyadarinya.
"Sopan, kok diem aja?"
"Ah, tidak. Hamba turut bahagia atas kabar gembira ini. Akhirnya Abang bisa bertemu kembali ... selamat, ya."
Mulutnya lancar mengatakan itu, namun di dalam hati dirinya sudah berteriak sebal namun harus menerima kenyataan.
Toh, dari awal, nama Sopan tidak ada di ingatan [Name]. Hanya nama 'Osty' dan si pemilik nama 'Osty' yang ada di dalam ingatan [Name].
Dari awal, dia hanya Sopan yang berpura-pura menjadi FrostFire―Osty. Apa yang diharapkan kalau sudah begini?
"Makasih, Pan! Semoga kamu cepet dapet jodoh juga, deh. Abangmu ini kasian liat kamu jomblo terus."
"... Berisik yang paling bahagia."
Adakah cara lain tuk bahagia?
Slamanya denganmu.
―Sopan yang terlambat.
"Jadi? Kenapa kamu ajak aku jalan?"
[Name] tak paham. Tiba-tiba adik iparnya ini mengajaknya jalan, ditambah dengan cara bicaranya itu yang tak seperti biasa. Rasanya [Name] jadi tidak nyaman.
"... Hanya ingin saja. Sekaligus, ingin minta maaf, hehehe."
"Minta maaf? Buat?"
Sopan tak menjawab, dia kembali menyetir mobilnya begitu lampu merah sudah berganti menjadi lampu hijau.
Akan gawat jika FrostFire tahu ini, namun, Sopan tak peduli. Dia akan membawa [Name] khusus hari ini, untuk menyelesaikan semua hal yang terjadi di masa lalu.
"... Maaf, buat dua belas tahun yang lalu. Aku; Sopan, tak bisa menepati janji karena telat."
"... Hah?"
"Intinya, aku terlambat."
[Name] tak paham, apa, sih?
"Detailnya ketika sudah sampai di restoran saja, ya! Oh, jangan beritau Kakak Pertama. Aku akan mati nanti."
Bahasanya agak acak adul, tapi tetap saja [Name] kurang nyaman dan semakin tak paham.
"Apasih?"
"Ya gitu~"
"Sopan!"
________
Wah, Sopan mau berhenti. Sopan menyerah. Wkwkwkwk, dia tau dia terlambat.
Tapi emang nem sampe sekarang taunya itu frostfire, makanya pas gede dia juga agak bingung, perasaan dulu FrostFire tuh kalem.
Padahal yang kalem itu sopan, bukan FrostFire wkwkwkk makanya nem agak ga percaya. Karena dulu itu dua orang berbeda.
Dan yang bikin janji buat nikah sama dia tuh sopan, tapi kayaknya sekarang nem kiranya yang buat janji dulu itu frostfire wkwkwk.
jadi bener-bener dia gatau Sopan.
gapapa sopan, kamu nanti dapet istri jaksel yang sama gajenya :(
See u besok!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro