BAB 6
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
"Pada sebuah persinggahan, Allah memperhadapkan hamba-Nya pada dua pilihan; ingin memilih jalan yang diridhai-Nya atau jalan yang tanpa ada restu dari-Nya."
Suasana pagi di sekitar pelataran masih terlihat sepi. Pukul enam lewat dua puluh, Rifly sudah menunggu kelas terbuka untuk bisa hadir lebih awal. Itu selalu saja terjadi, meski kosnya berada begitu dekat dari kampus, ia tetap saja selalu datang lebih awal. Disusul juga dengan Darma, yang tak lebih kalah cepatnya dari Rifly-dua anak teladan ini tak salah menjadi percotohan di kalangan mahasiswa lainnya. Tak jarang juga mereka dilirik sama wanita-wanita berjilbab syar'i yang mendefinisikan diri mereka sebagai Akhwat Perindu Rasulullah.
"Assalamualaikum warahmatullah," sapa Rifly pada Darma yang duduk di atas serambi pelataran depan kelas. "Gimana pagi ini? Sehat?"
"Alhamdulillah. Lo sendiri?"
"Ya gitulah. Segar seperti biasa."
"Ha ha, tapi bagaimana dengan hati?"
"Ha ha. Masih pagi, Bro. Ngapain tanya hati? Sudah jelas kok jawabannya nggak ada yang isi."
"Alah, alasan lagi. Oh iya, Ilham sama Bagus di grup sudah jawab belum? Mereka sudah berangkat ke kampus?"
"Bentar, gue cek dulu." Rifly menarik handphone dari dalam saku kemeja. "Paket data lo nggak aktif lagi, yaaa?"
"Lah itu tahu. He he." Darma terkekeh. "Kan kampus nyediain wifi gratis. Di rumah juga ada wifi. Ngapain repot-repot beli kuota?"
Rifly mendengkus. "Iya iya, deh. Manusia super yang suka gratisan. Nih udah gue chat mereka di grup. Terakhir lo yang bales pas mau otw ke kampus."
"Ya elah. Kita kan udah bayar uang kuliah mahal-mahal. Yaaa, nikmatin fasilitas kampus lah, Rif."
"Iya juga, sih. Tapi gue masih banyak kuota. Gimana dong? Ha ha." Rifly terlihat tertawa.
Beberapa saat kemudian, Ilham hadir di tengah-tengah mereka. Laki-laki yang memiliki perawakan besar itu langsung menyelingkup Darma dari belakang. Ia terkejut, hampir saja terperanjat. "Eh, Ilham! Bikin kaget aja lo."
Ilham menindih kedua pundak Darma dengan kedua tangannya sembari tertawa. Sedangkan Darma tengah mendesa kesakitan. "Ah, Ilham, Ilhammm. Lepasin. Sakit, Ham! Lo udah tahu gede masih aja nimbrung ke pundak gue."
Darma mencoba mengangkat kedua tangan Ilham yang berat itu dengan sekuat tenaga. Ia merasa terzalimi dengan Ilham yang tidak juga sadar diri. Setelah berhasil melepaskannya, Ilham tetap tertawa dan Darma masih mendesah kesakitan. "Ni anak baru dateng bukannya beri salam, malah cari masalah!"
Sebuah senyum tersungging pada bibir Rifly melihat tingkah keduanya yang masih terlihat kanak-kanak. Sisa satu saja dari mereka yang belum hadir. Bagus memang selalu yang paling terlambat. Biasanya semenit yang lalu ia mengatakan sudah on the way, satu jam kemudian baru tiba di kampus. Atau, satu jam lagi akan menyusul, dua jam kemudian baru konfirmasi berhalangan hadir. Sepertinya Bagus tidak pandai melihat jam seperti yang lain atau bisa juga kesibukannya di rumah belum selesai.
Sembari menunggu Bagus, ketiganya bercengkerama hingga pukul tujuh, petugas ruangan sudah hadir dan langsung membuka pintu ruang-ruang kelas yang ada di lantai satu kampus fakultas hukum. Ketiganya pun langsung masuk kelas dan duduk paling depan di pojok kanan-selalu seperti itu.
Dua menit setelah kelas terbuka dan ketiganya masuk lebih awal. Bagus pun menyusul.
"Maasya Allah," tegur Rifly. "Akhirnya bisa bangun pagi, ya? Biasanya lo chat gue; berkabar ya kalau udah ada dosen."
Bagus kemudian duduk di sebelah Rifly. "Alhamdulillah, Ada istri di rumah masak pagi-pagi, jadi nggak kesiangan lagi."
Rifly terkekeh, Darma dan Ilham juga. "Ha ha. Halu aja terus. Nikah aja lo nggak berani."
"Insya Allah. Jodoh bakal ngantri nanti. Emang situ, cewek ngantri, tapi nggak ada yang sreg di hati." Bagus menoleh ke arah Rifly, alisnya naik turun mengejek sahabatnya itu.
Lagi-lagi Rifly tidak bisa menahan tawa. "Ha ha. Kamprettt!"
Begitu berbeda rasanya ketika Rifly berhadapan langsung dengan Ilham, Darma, juga Bagus yang teman satu sepenanggungannya di kampus. Sejak terhitung dua semester menjadi mahasiswa baru, ketiga lelaki yang tergolong latar belakang berbeda itu tak hanya menjadi teman sekelas Rifly di beberapa mata kuliah, namun juga mereka akrab hingga saat ini.
***
Mata kuliah jam pertama sudah selesai. Setelah dosen keluar, sesaat kemudian segerombolan mahasiswa yang tergabung dalam sebuah organisasi masuk dan langsung memperkenalkan diri mereka masing-masing
Di saat memperkenalkan diri, Darma dan Ilham sudah saling melempar tatapan, memberi kode. Tak perlu penjelasan panjang, keduanya sudah tahu organisasi tersebut cukup dari penampilan saja. Jaket persatuan berwarna biru terang dengan celana kain yang cingkrang serta orang-orang yang di hadapan mereka itu hampir semuanya memiliki perawakan berjanggut tipis.
Mereka berasal dari sebuah organisasi rohis, orang-orang selalu menyebutnya mahasiswa pecinta masjid; sebuah lembaga yang diwadahi oleh BEM fakultas khusus berdakwah sesuai Asyariah yang tergabung dari mahasiswa muslim dan muslimah fakultas hukum di kampus ternama itu.
Darma dan Ilham paling antusias ingin mengambil formulir pendaftaran organisasi tersebut, sedang Rifly dan Bagus masih harus menyimak penjelasan-penjelasan dari senior yang satu sampai dua tingkat di atasnya. Mereka memaparkan secara singkat sejarah organisasi hingga jadwal open recruitment. Rifly menyimak dan cukup terkesima dengan perawakan serta kedermawanan dari seorang senior yang menjelaskan perihal organisasi itu; begitu tenang dan perkataannya penuh penyampaian sesuai tuntunan al-hadist.
Dan kata-kata yang paling melekat di telinga Rifly adalah, "Kita hanyalah manusia yang Allah titipkan ke bumi untuk menghamba kepada-Nya. Bumi ini persinggahan, dan pada sebuah persinggahan, Allah memperhadapkan hamba-Nya pada dua pilihan; ingin memilih jalan yang diridhai-Nya atau jalan yang tanpa ada restu dari-Nya. Hidup itu tentang pilihan; mau berjuang di jalan Allah untuk menggapai apa yang kita mau, atau ingin menggapai sesuatu bukan berlandaskan atas nama Allah."
Sejenak Rifly termenung. Ia memikirkan dan meresapi kata demi kata yang dilontarkan oleh seniornya itu. Memikirkan semua yang ia hadapi hingga saat ini. Tentang kehilangan seorang wanita yang begitu disayanginya, tentang kehilangan kepercayaan pada dirinya. Tentang sebuah hati yang tak tahu ke mana muaranya.
"Afwan, Dek. Kenapa bengong?" kejut seorang senior yang berbicara di hadapannya barusan dengan menyodorkannya sebuah kertas. "Ini formulirnya. Beberapa teman antum di kelas katanya mau mendaftar. Antum ditunjuk sebagai penanggunjawab. Dan saya amanahkan untuk fotocopy formulir ini dan mendata siapa-siapa yang ingin mendaftarkan diri, bisa?"
Rifly yang baru tersadar memperbaiki posisi duduknya. Darma dan Ilham sudah tertawa kecil di pojokan. Namun yang menunjuk Rifly tadi adalah manusia yang cukup pendiam di sebelahnya, Bagus.
"Bi-bisa, Kak. In-sya Allah." Rifly terbata-bata menjawab.
"Na'am. Silakan catat konta WA saya."
Kemudian Rifly kembali membuka bukunya dan mencatat kontak WhatsApp dari seniornya yang bernama Aldi itu. Setelahnya, mereka saling berjabat tangan.
"Syukron, Dek. Kami tunggu ya, minggu ini," ucapnya.
Sebelum pergi Aldi yang merupakan senior dari pengurus dan sekaligus yang memaparkan tadi tentang organisasi tersebut menepuk pundak Rifly dan sekaligus mencoba bersikap ramah dengan tersenyum padanya. Namun Rifly hanya mengangguk paham tanpa ada raut wajah gembira. Datar seperti biasa.
Setelah senior iru keluar dari dalam kelas, Rifly menoleh ke Bagus. "Lo-""
"Yuk, kita bareng daftarnya," sambar Bagus menghentikan perkataan Rifly yang belum sampai setengah kata.
Bagus mengambil formulir dari tangan Rifly dan berdiri, lalu keluar dari dalam kelas. Anak itu sedikit usil pada Rifly. Tapi mereka setidaknya bisa saling melengkapi. Di samping Rifly yang dingin dan ketus, tapi ada Bagus yang cukup usil. Sehingga Rifly yang harusnya marah, justru jadi tertawa.
"Lo daftarkan?" tanya Darma kemudian.
Rifly mengembuskan napas lalu diam sejenak, dan kemudian berkata, "Kalau banyak kebaikan di dalamnya. Insya Allah, gue daftar."
Wajahnya ditutup dengan senyum merekah yang benar-benar tulus untuk pagi ini.
***
To be continued ....
Alhamdulillah bisa update lagi sesuai jadwal. Gimana bab ini? Setelah dari Istanbul, kita jenguk Rifly dulu ya di Indonesia bareng sahabat-sahabatnya; Ilham, Darma, dan Bagus. Ditahan dulu jalan-jalannya ke negeri impian seribu umat bersama Inayah dan Raline.
Jangan lupa komen dan vote. Syukron yang masih setia menunggu update-an cerita Single-Lillah. Selamat Ngebubu-READ🌝🙏🏻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro