Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Single - 3

Today i realise, sometimes the ones you love, hurt you the most...

☆☆☆☆☆

Waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh pagi saat aku menenteng sepeda keluar dari garasi. Setelah meregangkan badan sejenak, aku siap mengendarainya.

Aku mencintai olahraga, ini adalah hasratku. Jiwaku. Itu yang kuharapkan. Namun pada kenyataannya, dengan lemas aku mulai mengayuh sepeda. Kalau bukan karena dia, aku tidak akan mengayuh benda sialan ini.

Apa yang lebih menyenangkan dibanding bergumul di bawah selimut pada hari minggu? Jawabannya tidak ada. Dan kenapa aku malah melakukan sebaliknya? Karena sepeda inilah satu-satunya hal yang akan mengantarku bertemu dengan sahabatku yang lain.

Kami sama-sama dilanda ritme kerja masyarakat Jakarta yang hampir tidak mengenal belas kasihan. Padahal rumahku dan rumahnya hanya berjarak lima blok.

Saat lewat di depan rumahnya, aku berhenti dan melihat dia sedang mengeluarkan sepedanya sambil tersenyum. Memang benar, siapapun yang bangun pagi, dia akan mendapat rejeki.

Dan inilah rejeki milikku.

"Tumben duluan." Dia menyapa dan kami bersepeda beriringan.

"Tadi kebangun, jadi langsung siap-siap."

Alasan klise, Nad. Jelas-jelas alarm menjerit dari jam setengah lima pagi.

Aku menoleh dan menemukan wajah damai sedang menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ibarat cokelat, pria di sampingku ini bagaikan potongan terakhir yang tidak akan kubagi pada siapapun. Terlalu lezat.

Dia melihatku dan menyeringai. "Tanding?"

Aku menggeleng. "Gue mau santai aja."

Bagaimana aku bisa menikmati keindahanmu wahai kaum adam jika kita malah asyik ngebut-ngebutan?

"Nadnad payah." Cibirnya dan aku tertawa. Merasa bahagia jika dia memanggilku dengan panggilan masa kecil.

Tujuan kami adalah taman kota yang tidak jauh dari kompleks rumah. Taman yang tadinya tidak terurus, sekarang sudah disulap menjadi bersih dan terawat oleh pemerintah kota. Hari minggu seperti ini akan banyak orang berolahraga atau sekedar duduk-duduk menikmati jajanan pagi di sekitar taman.

Kami memutar keliling taman beberapa kali sebelum berhenti di salah satu bangku panjang yang menghadap ke arah jalan raya. Dengan gesit aku memanggil tukang bubur ayam dan memesan dua porsi.

Kan sudah kubilang, olahraga ini kamuflase, ujung-ujungnya tetap mengisi perut. Sambil menunggu pesanan datang, kami mulai mengobrol tentang pekerjaan.

Satria Maheswara. Itulah nama yang selalu bergema dipikiranku. Dia tetangga, sahabat, dan sudah kuanggap kakak laki-laki. Pria terbaik yang pernah kutemui. Pria yang sudah mencuri cinta pertamaku. Pria yang sudah melakukan banyak hal padaku. Dia bukan saja sekedar sahabat-yang-kukagumi-dalam-diam. Tapi juga sahabat-yang-setengah-mati-kupuja.

Suara tawanya memecah lamunanku. Lihatlah dia dan mustahil kalian tidak jatuh cinta. Satria lebih tua tiga tahun dariku, dia seorang dokter spesialis obstetric dan ginekologi. Pekerjaan yang memakan waktunya hampir dua puluh empat jam.

Saat dia mengungkapkan keinginannya untuk mengambil spesialis itu, respon pertamaku adalah aku tidak ingin memiliki suami yang telah melihat begitu banyak 'milik' wanita. Namun alasan mengapa dia mengambil jurusan itu cukup membuatku sedih.

Ibu Satria meninggal usai melahirkan adik bungsunya, dan dia seorang piatu sejak berumur tujuh tahun. Kejadian itulah yang mendorongnya mengambil jurusan tersebut.

"Nadnad. Hanum dateng minggu ini." Aku tersenyum hambar mendengar nama wanita yang dipuja Satria.

Ya, sudah jelas kan kenapa aku memendam cintaku? Karena Satria sudah punya pacar. Ralat, calon istri. Mereka pacaran sejak SMA.

Jangan kasihan padaku, aku baik-baik saja.

Sumpah.

"Lho bukannya dia dateng bulan depan?" Hanum bekerja di salah satu perusahaan asing di luar Jakarta. Mereka sudah pacaran beda kota sejak lulus kuliah.

"Dia memutuskan datang lebih cepat. Ada hal penting katanya."

Aku mengangguk dan menerima mangkok dari tukang bubur ayam. Saatnya sarapan.

"Nad, gimana kalau gue sekalian ngelamar Hanum ya minggu depan?"

Tanganku yang memegang sendok melayang di udara dan tidak pernah sampai ke mulutku. Hening beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk menaruh kembali sendok dimangkuk dan menghadap ke arah Satria.

"Emang lo udah yakin?"

Dia mengangguk. "Pacaran gini terus nggak enak, Nad. Lebih enak kalau udah halal."

Bunuh aja gue sekalian. Pinjem pisau ama tukang bubur ayam, daripada lo nyiksa gue begini.

Aku berdehem dan mengerjapkan mata. Satria nggak salah, dia tidak pernah tahu perasaanku.

"Sudah pernah ada omongan ke arah sini?"

"Hanum maunya tahun depan. Gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi."

"Asiiiik ... gue bantuin milihin cincin ya?"

Dengan bodohnya aku malah mengembangkan senyumku selebar-lebarnya.

Tahu apa yang menyedihkan dari friendzone? Kita berusaha setengah mati untuk senang dan mendukung, namun dibalik itu semua ada hati yang terkena sayatan-sayatan kecil kemudian diperasi jeruk nipis. Perih.

"Iya. Kalau perlu lo semua deh yang urus soal undangan, souvenir, dan lain-lain. Lo kan pengalaman." Satria memamerkan deretan giginya yang rapih.

Jadi ... begini akhirnya?
Sudah selesai?

Aku tidak sabar menceritakan kepada kalian soal dia, namun ternyata dia memutuskan menikahi wanita lain. Aku berdiri dan menaruh mangkok berisi bubur ayam yang hampir tidak kusentuh. Dengan langkah gontai, aku mengambil sepeda.

"Lho, Nad mau kemana?"

"Pulang." Sahutku. "Perut gue sakit."

Tanpa menunggu jawabannya aku berbalik dan mengayuh sepeda. Sudah hampir pukul tujuh pagi namun awan tebal masih menyelimuti, matahari tampaknya juga enggan muncul pagi ini.

Aku memilih jalan memutar menuju rumah, setidaknya aku perlu menjernihkan pikiran sejenak setelah mendengar niat Satria tadi.
Aku pernah pacaran kemudian putus, rasanya sakit. Tapi tidak sesakit ini.

Dengan keras kugigit bibirku, menahan keinginan untuk menangis meraung-raung sambil bersepeda. Perasaan terhadap Satria sudah kupupuk sejak kami masih kecil. Tidak ada yang lebih kupuja daripada dia.

Kemudian aku teringat kata-kata bijak yang mengatakan, jangan pernah menyimpan cinta terhadap seseorang. Karena hati seringkali patah akibat cinta yang tidak terucapkan.

Damn right ...

***

Saat papaku pensiun dari pekerjaannya enam tahun yang lalu, mama dan papa sepakat pindah ke Jogjakarta, kampung halaman mama. Sementara aku tidak bisa mengikuti mereka karena sudah punya pekerjaan dan sedang ujian untuk mengambil S2.

Dengan berat hati, papa dan mama meninggalkan putri tunggalnya sendirian di Jakarta. Rumah yang kutempati pun batal dijual, karena papa lebih khawatir jika aku harus kos. Setidaknya warga kompleks ini sudah mengenalku dan jika terjadi sesuatu, aku tidak sendirian.

Alasan utamaku tidak ikut ke Jogja sebenarnya bukan karena pekerjaan. Aku bisa mendapatkan pekerjaan lagi di Jogja jika memang ingin pindah. Namun aku tidak pernah bisa meninggalkan Satria. Ibarat kata, aku sudah mengabdikan diriku padanya.

Berlebihan? Tidak juga. Setelah ditinggal meninggal ibunya saat umur tujuh tahun, Satria hanya tinggal dengan ayah dan adik perempuannya. Lima tahun yang lalu, ayahnya meninggal. Simpati yang bertumpuk-tumpuk yang membuatku tidak bisa meninggalkannya.

Dengan tidak bersemangat aku masuk kembali ke dalam selimut, tidak lagi memedulikan badanku yang masih lengket karena keringat.

Harusnya aku senang dia menikah lebih dulu karena aku pernah berjanji pada diriku sendiri tidak akan meninggalkannya kecuali dia yang melangkah pergi.

Ya, harusnya aku senang kan?

Tapi kenapa malah air mataku tidak bisa berhenti sekarang?

♡♡♡♡♡

Heihooo...

Mengenai mirror web yang lagi menjadi isu hangat di kalangan wattpader, jujur saja saya belum memprivate cerita saya. Karena saya posting lewat aplikasi. Dan hanya bisa berdoa semoga 'anak-anak' saya nggak ada yang copas.

Oiya bicara ttg friendzone. Duh, ini hal yang paling ngenes. Siapa yang pernah ngerasain angkat tangannya? Monggo kalo mau curhat di komen. Nanti insyaAllah saya bales..

Selamat natal bagi yang merayakan. Selamat liburan untuk teman-teman semua yaa :*

Love,
Vy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro