Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Peluang

Written by HafsahAzzahra09
Edited by Yamashita_Izumi


***

Ara masih belum bosan berjalan mondar-mandir di kamarnya. Gawai putih masih setia menempel di daun telinga. Sesekali, wajahnya menunjukkan perubahan mimik, rasa penasaran dan kesal menyelinap dalam hati.

"Yak, kapan kau akan kembali ke Korea, Eonnie?" tanya Ara tidak sabar.

"Sebentar lagi, Adikku Sayang. Kau tenang saja. Kalau urusanku sudah selesai, aku pasti pulang."

"Tapi aku sudah lelah kalau harus terus menyalin tugas untukmu. Setiap malam tanganku kebas. Punggungku kaku. Dan mataku berair. Oh aku akan gila sebentar lagi!"

"Hei hei, jaga ucapanmu! Besok Hikaru akan keluar dari rumah sakit. Aku harap, ia bisa segera mendapatkan pengobatan yang terbaik."

"K-kau baik-baik saja, kan, Eonnie?" suara gadis berambut pendek itu melunak.

"A-aku—"

"Aku tahu, kau tidak bersahabat dengan Izumi. Jika aku ada di sana, mungkin sudah kupatahkan lehernya jika ia berani menyakitimu lagi," dengkus Ara.

"Sudah, kau tidak usah mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Dan soal Izumi, aku bisa mengatasi wanita itu. Kau percaya saja pada kakakmu ini. Sudah dulu, ya! Aku mau ke rumah sakit."

Panggilan telepon itu pun terputus.

Ana memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas lalu mengecek sekali lagi penampilannya di cermin dan segera keluar dari penginapannya. Langkah jenjangnya menimbulkan bunyi debum ringan saat menuruni tangga menuju lantai satu. Tangan kanannya mendorong pintu kaca lalu tubuh rampingnya dengan cekatan melewatinya sebelum ia mempercepat langkah menuju halte bus terdekat.

Ana mengubah langkah cepatnya dengan setengah berlari, bus yang akan mengantarnya ke rumah sakit telah tiba. Setelah berhasil masuk dan menempelkan kartu ke mesin scanner, Ana pun mengambil tempat duduk di bangku ketiga dari depan. Kedua tangannya bertaut. Seiring bus yang semakin menjauhi penginapannya, untaian pinta untuk kesembuhan Hikaru tidak henti ia rapal dalam benak.

Sesekali, ingatan Ana berkelana saat mereka masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama. Ia masih ingat betul bagaimana dulu ia dengan mudah jatuh hati pada suara Hikaru. Saat itu, Hikaru tengah bernyanyi di pentas sekolah. Mengingat hal itu hati Ana kembali terenyuh. Ia kembali berdoa untuk lelaki itu, berharap keajaiban Tuhan akan segera datang.

Saat Ana tiba di ruang 101, Hikaru telah mengganti pakaian rumah sakitnya dengan sweater putih tulang dan celana bahan biru dongker. Dalam sepersekian detik, gadis itu terpana. Ia sudah biasa mengagumi Hikaru dalam layar sosial media, tetapi melihat pesona lelaki itu secara langsung sudah lama tidak ia lakukan.

Ketika pandangan keduanya bersinggungan, Hikaru menahan napas dan menggantung tangannya di udara. Ia menghentikan sejenak aktivitasnya.

Ana memutuskan untuk lebih dulu mengalihkan pandang dari lelaki itu. Suasana canggung pun menyergap.

"K-kau sudah mau pulang?" tanya Ana basa-basi.

Lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Mari kubantu," tawar Ana. Ia pun mendekat ke arah Hikaru, membantunya membereskan barang-barang.

Kedekatan mereka membuat jantung Ana tidak berdegup secara normal. Beberapa kali, ia sempat menahan napas. Khawatir kalau-kalau Hikaru mampu mendengar detak jantungnya yang terlampau keras. Pintu putih itu pun terbuka saat pekerjaan mereka telah selesai. Izumi tertegun melihat kedekatan keduanya manusia dalam ruangan serba putih ini. Hikaru dan Ana pun merasakan kejut yang sama, mereka pun sontak menjauh.

"P-pagi, Izumi. Aku datang untuk membantu Hikaru berkemas," sapa Ana ramah.

Di balik punggung Ana, Hikaru melempar senyum untuk menejernya itu. Berharap ia bisa bersikap lunak pada Ana.

"Pagi juga, Nona Kim," balas Izumi.

Ana merasa lega karena wanita berkacamata itu tidak lagi ketus padanya. Dengan mengulan senyum tulus, Ana pun berucap, "Kau bisa memanggilku Ana."

Izumi pun mengangguk, "Aku telah menyelesaikan semua administrasi Hikaru. Dan kita bisa pulang sekarang. Dokter mengatakan, kondisi Hikaru sudah membaik, meski ia masih harus ke sini untuk melakukan kontrol," terang Izumi.

Ana semakin melebarkan senyumnya. Izumi telah menunjukkan sikap bersahabat dengannya. Di balik punggung Ana, Hikaru mengacungkan jempol kanannya pada Izumi. Menejernya itu mau mendengarkan ucapannya semalam untuk berbaik hati pada teman sekolahnya itu.

Ketiganya pun berjalan keluar ruangan dengan dikawal empat orang bodyguard dalam balutan kemeja putih dan jas hitam. Bodyguard bayaran Izumi itu tidak hanya menghalau wartawan dan media yang hendak meliput kepulangan Hikaru, tetapi juga membuka jalan bagi ketiganya agar bisa keluar dari rumah sakit dengan aman.

♥♥♥

Ara merenggangkan otot-otot lehernya yang terasa kaku. Lalu ia mengucek kedua matanya dengan telunjuk. Dalam hitungan nano detik, ia menghentikan gerakannya. Ia teringat akan kakak kembarnya yang selalu melarangnya mengucek kedua mata dengan jari. Alasan Ana sederhana: jari Ara tidak terjamin kebersihannya sehingga debu, bakteri, atau kuman bisa masuk ke mata adiknya bila ia melakukan hal itu.

Satu napas berat lolos dari lubang hidung Ara. Ia kembali merindukan Ana. Ara pun meraih ponsel pintarnya dari dalam ransel sambil bersandar di kursi. Instagram menjadi aplikasi pilihan yang hendak ia buka. Ketika ibu jarinya menekan tombol explore, wajah gadis yang serupa dirinya muncul di sana. Ana tengah berjalan bersama seorang lelaki dan seorang wanita yang terlihat lebih tua.

Jadi ini yang namanya Izumi.

Ara pun membaca keterangan yang dibubuhkan di video yang tengah ditontonnya itu.

Arata Hikaru telah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit Moriyama, Tokyo. Saat ini ia ditemani oleh Izumi dan seorang gadis cantik misterius yang diduga sebagai kekasihnya. Baik Hikaru maupun menejernya belum mau berkomentar mengenai hal ini.

Ara memijat pelipis kanannya setelah membaca berita itu. Sebagai orang yang tidak ingin ambil pusing, berjalan bersama seorang artis seterkenal Arata Hikaru tentu akan memicu pemberitaan di mana-mana—hal yang sangat Ara hindari. Hingga detik ini, ia masih tidak mengerti dengan jalan pikiran kakak kembarnya itu. Mengapa ia dengan sukarela melemparkan diri ke dalam skandal para artis yang akan menyusahkannya nanti.

"Yak, Eonnie benar-benar menyusahkan!" dengkus Ara sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia pun mengambil tumbler dan meneguk isinya cepat. Berharap kondisi memusingkan ini akan segera berlalu.

Ara pun kembali meraih pena dan buku tulis kakaknya. Ia melanjutkan salinan tugas yang akan dikumpulkan setelah jam istirahat berakhir. Tinggal sedikit lagi dan selesai. Ia melirik jam digital di ponselnya, tersisa lima belas menit, waktu yang cukup untuk menyelesaikan semua tanggung jawabnya. Selain mampu berbicara secara cepat, Ara juga mampu menulis secara cepat. Tanpa membuang banyak waktu, ia pun kembali tenggelam dalam kesibukannya.

Demi Eonnie, apa pun akan kulakukan. Namun, ini tidak gratis, tentunya. Lihat saja nanti pembalasanku kalau Eonnie telah kembali ke Korea!

♥♥♥

Hari demi hari pun berlalu. Sekarang adalah jadwal bagi Hikaru untuk kembali mengontrol pita suaranya. Ini adalah kali keseribu bagi Hikaru menyesali perbuatannya.

Andai saat itu Hikaru tidak dikuasai emosi. Andai saat itu ia mau menuruti perkataan Izumi. Dan andai saat itu ia mau mengalah pada egonya. Mungkin saat ini ia tengah berada di studio musik untuk latihan olah vokal. Bukan malah berada di ruangan berbau obat-obatan dan berhadapan dengan seorang dokter.

Namun, sebanyak apa pun Hikaru menyesalinya, keadaan tidak akan pernah berubah. Sambil membenarkan posisi duduknya, ia berusaha menerima takdir yang harus ia jalani saat ini.

"Apa kau memiliki keluhan?" tanya sang dokter.

"Tenggorokanku sakit," tulis Hikaru pada secarik kertas, sebagai jawaban.

"Baiklah, mari kuperiksa dulu keadaanmu," ucap dokter spesialis THT itu.

Ia pun memerintah Hikaru untuk berbaring di kasur yang ada di ruangannya. Ia mulai memeriksa kondisi pasiennya. Setelah beberapa menit, hasil pemeriksaan telah di tangan. Keduanya pun kembali duduk di kursi yang dipisahkan oleh meja persegi di ruangan itu.

"Saya pernah menangani kasus yang seperti ini dan berita bagusnya, penyakit ini bisa disembuhkan. Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, peluangnya 50:50. Namun, kamu tenang saja, kita harus selalu optimis, kan? Meski kecil, peluang itu akan selalu ada. Tugas kita hanya terus melakukan yang terbaik untuk kesembuhanmu."

Netra kelam Hikaru memancarkan binar harap. Dokter itu benar, peluang itu akan selalu ada dan ia tidak boleh menyerah untuk kesembuhannya.

"Tenggorokan yang sakit—seperti yang tengah kau alami, adalah respons alamiah yang diberikan oleh tubuhmu. Aku akan memberimu resep pereda rasa nyeri. Kau bisa menebusnya di apotek rumah sakit. Obat ini sedikit pahit, tidak apa-apa, ya?

"Namun obat ini sangat ampuh untuk mengurangi rasa sakitmu. Kau harus meminumnya 3x sehari, satu jam setelah makan," jelas sang dokter sambil menuliskan resep di secarik kertas—tulisan yang tidak dipahami oleh Hikaru. Ia pun hanya mengangguk sebagai respons mengerti atas penjelasan dokternya.

Setelahnya, ia pun meninggalkan ruang periksa dan berjalan menuju apotek. Kepalanya mendongak, membaca petunjuk arah menuju lokasi yang tengah ia tuju. Hikaru harus berbelok ke kanan dalam lima meter. Saat hendak melangkah ke kanan, pekikan sesorang membuatnya menoleh. Seketika, ia pun membalik badan.

"Hikaru-kun, maaf aku terlambat. Seharusnya aku datang lebih awal untuk menemanimu," ucap Ana penuh sesal. Napas memburu dan bahu yang naik turun menunjukkan gadis itu baru saja berlari untuk menyusulnya.

"Tidak apa-apa," tulis Hikaru pada buku kecil yang selalu ia simpan dalam celananya.

"Kau mau ke mana?"

Hikaru pun menyodorkan secarik kertas berisi resep dokter yang ada dalam genggamannya.

"Apotek? Baiklah aku akan membantumu menebus obat. Ayo!" Ana pun meraih tangan kanan Hikaru dan mengajaknya ke apotek.

Pandangan lelaki itu jatuh pada jemarinya yang digenggam Ana. Tanpa ia sadari, bibirnya mengulum senyum.

"Mengapa kau ke sini sendirian? Tumben Izumi membiarkanmu pergi sendirian? Biasanya ia akan memberimu pengawal ke mana pun kakimu melangkah." Dengan spontan, Hikaru kembali memasang wajah datar saat Ana berbalik menatap wajahnya. Ia pun mengedikkan kedua bahu sebagai respons, "Aku tidak tahu."

Ana pun tidak bertanya lagi pada lelaki itu dan segera menebus obat Hikaru di depan konter apotek. Ana agak sedikit kaget melihat banyaknya obat yang harus ditelan temannya itu.

Ini pasti tidak murah.

Setelah sang apoteker menyerahkan semua obat yang dibutuhkan pasiennya, Hikaru pun melakukan pembayaran. Dan sesuai dugaan Ana semuanya tidaklah murah.

♥♥♥

25 Juli 2020

Revisi 1: 15 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro