3. Can't Talk
Written by Yamashita_Izumi
Edited by HafsahAzzahra09
Gadis Korea bernetra gelap memusatkan perhatian pada rumput hijau di taman RS. Moriyama. Indera penglihatan Ana perih dan basah. Bulir bening tak henti lolos dari sudut mata. Ia mengambil tisu yang baru dari tas kecilnya dan mengusap wajahnya yang basah.
Pikiran kalut adalah penyebabnya. Ana masih syok dengan kondisi Hikaru yang memprihatinkan. Jantungnya berdenyut nyeri setiap kali ia mengingat ucapan Izumi.
Dia tidak bisa bicara.
Laringitis.
Bayangan masa lalu terus berkeliaran di benak Ana. Meski, ia dan Hikaru sudah lama tak bertemu. Namun, perasaan gadis wibu itu belum berubah.
Ana tidak paham dengan penyakit yang diderita Hikaru. Tanpa sadar, tangannya meraba leher sendiri. Ia membayangkan, Hikaru yang benar-benar tidak bisa bicara. Tentu lelaki itu sangat terpukul dengan kondisinya saat ini.
"Kenapa? Kenapa kau harus mengalami ini?" lirih Ana yang kembali hanyut dalam perasaannya.
Kesedihan gadis itu bertambah saat mengingat perlakuan wanita berkacamata di samping Hikaru tadi. Ana menggeleng, menepis ucapan menyakitkan Izumi yang belum bisa ia lupakan. Saat ini, ia tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak penting. Tujuannya datang jauh-jauh ke Jepang hanyalah Hikaru. Bukan yang lainnya.
Menolak untuk kembali larut dalam kesedihan, gadis Korea itu beranjak dan mulai mencari penginapan. Ia juga harus menjaga kesehatan. Ia perlu beristirahat setelah perjalanan panjang yang dilaluinya hari ini.
♥♥♥
Ara berbaring di sofa. Berkali-kali jarinya melintir rambut dengan pandangan tak lepas dari layar ponsel. Perasaan cemas terus menggelayuti hati. Hingga kini kakak kembar belum memberinya kabar. Padahal, menurut perhitungannya, jam terbang antara Seoul-Tokyo hanyalah dua jam. Namun, hingga empat jam berlalu, tidak ada pesan atau telepon dari kakak kembarnya itu.
"Santai saja, Noona. Ana noona itu hebat. Dia pasti bisa menjaga diri," celetuk Yongsu dengan muka santai. Si bungsu kini sedang berdiri di belakang sofa sambil memperhatikan Ara.
Ara menoleh dan mendapati adik angkatnya yang terlihat sama sekali tak peduli dengan keadaan kakaknya. Perasaan jengkel pun menyusup di hati. "Aku tahu, dia pernah tinggal di sana. Tapi, bagaimanapun juga, dia perempuan dan sendirian. Tak ada Ayah yang menemaninya."
"Kalau kau memang khawatir, susul saja dia! Huaaaahm!" sahut Yongsu sambil menguap. Lagi-lagi tak terlihat tanda kepedulian pada bocah laki-laki itu. Yongsu melenggang pergi ke kamarnya. Sementara Ara, justru kepikiran dengan perkataan si bungsu.
"Haruskah aku harus menyusulnya?"
"Kau jangan aneh-aneh, nanti malah menyusahkan Ana di sana."
Ara menoleh. Ibunya sedang berjalan melewati ruang tengah, lengkap dengan celemeknya.
"Arasseo," sahut Ara lesu. Ia punbangkit dan menopang dagu dengan lutut. Rasa tidak nyaman menyelimuti hatinya. Meski dulu ia sudah pernah berpisah dengan Ana semasa sekolah menengah pertama, ia tetap tidak terbiasa jika mereka harus kembali berjauhan seperti ini.
Wanita paruh baya itu menghentikan langkah sebelum keluar ruangan. Tubuhnya dicondongkan ke belakang dan menengok Ara. "Kakakmu ... pasti baik-baik saja."
Ara menoleh dan ibunya hanya tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan tempat. Kaki Ara pun tertekuk membentuk silang, lantas kedua tangannya menepuk pipi dengan kuat. "Kajja, Ara! Kau pasti bisa melewati ini!" ucapnya menyemangati diri.
Tak ingin larut dalam kecemasan, Ara memilih menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas. Meski Ana akan absen selama beberapa hari kedepan, gadis itu akan tetap mendapat nilai tugas karena Ara yang menyalin pekerjaannya untuk kakaknya. Alasan cuti keluar negeri memang tidak dibenarkan di sekolahnya.
Apalagi, jika pihak sekolah sampai tahu alasan kepergian Ana hanya untuk menjenguk cinta pertamanya, gadis itu pasti akan menerima kemungkinan terburuk—dikeluarkan dari sekolah. Beruntung, Ara dan kedua orang tua mereka mau menjaga ini rahasia rapat-rapat. Pasangan suami istri Kim tentu pernah muda dan mereka tidak ingin melihat putrinya bersedih.
♥♥♥
Izumi menutup ponsel, lalu memasuki kamar inap Hikaru. Ia berdiri di samping kursi. Tangannya terlipat depan dada lantas bibirnya menggerutu kesal. "Siapa sih wanita tadi, mengganggu sekali!"
Hikaru hanya menatap dingin si manajer. Wajahnya mengeras. menyiratkan bahwa ia tak suka kehidupan pribadinya diulik. Izumi yang memahami maksud dari tatapan Hikaru menjadi sedikit kikuk. Ia hanya takut, orang di sekitar Hikaru memberi dampak buruk bagi karir lelaki itu.
Izumi pun duduk di kursinya lalu bertanya, "Apa dia temanmu? Hmm ... siapa pun dia, aku tak masalah. Tapi, sebaiknya, jangan sampai ada hubungan spesial di antara kalian," ucap Izumi mengingatkan tentang posisi Hikaru. Kini ia tentu bukan lagi orang biasa yang bebas untuk berhubungan dengan siapa pun. Hikaru adalah orang yang kehidupan, tingkah laku, dan ucapannya akan selalu diawasi, baik oleh paparazi maupun fans.
Hikaru membuang muka, tak suka diceramahi. Baginya, masalah perasaan adalah haknya. Tidak ada yang bisa mengatur hatinya. Bahkan keluarga sendiri sekalipun.
Izumi mendesah kasar. "Ini bukan serta merta hanya karena kau seorang bintang, tapi juga tentang kehidupanmu. Siapa dia? Wanita asing yang tidak mungkin berada di sisimu selamanya. Tak mungkin kau merepotkannya, cukup aku saja."
Hati Hikaru merasa tertusuk. Lelaki muda itu tak berpikir jauh. Ia juga sama sekali tak ingin merepotkan siapa pun bahkan Izumi.
Saat ini, memikirkan dirinya sendiri saja sudah begitu berat bagi Hikaru. Apalagi ditambah dengan memikirkan orang lain. Namun, pikirannya masih terusik oleh kehadiran Ana. Hikaru sama sekali tak menyangka, temannya itu jauh-jauh mau ke sini, hanya untuk melihatnya.
Bahkan, jika gadis itu adalah penggemar beratnya, Hikaru rasa, cukup nekat dan terlalu berlebihan kalau sampai membawa Ana hingga ke Tokyo. Lantas, mengapa Ana yang hanya berstatus sebagai teman sekelasnya dulu bisa menginjakkan kaki ke bumi sakura? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh gadis itu? Mereka tidak pernah memiliki hubungan lebih dari sekedar teman sebelumnya.
Rasa penasaran menguasai pikiran Hikaru. Tubuh lemahnya pun berbalik menghadap sisi berlawanan dengan Izumi. Ia berusaha memejamkan mata. Namun, setelah menit demi menit berlalu, dahinya berkerut, menandakan ia tak bisa tidur. Pikirannya masih saja melayang pada gadis yang sudah lama tak ditemui itu.
♥♥♥
"Iya, iya, Bawel!" dengkus Ana ketika menelepon saudara kembarnya. Ia menyesal lupa memberi kabar pada keluarganya di Korea. Hati dan pikirannya terlalu khawatir dengan kondisi sang pangeran hati. Beruntung, hal itu tidak berlangsung lama dan ia segera menghubungi Ara untuk menyampaikan kondisinya—yang baik-baik saja.
Ana sudah mendapatkan penginapan murah di daerah Taito City. Dengan keterbatasan uang yang dimilikinya, ia harus pintar mengatur penegluaran. Ketika sampai di penginapan, gadis bersurai panjang itu tidak langsung beristirahat. Setelah merapikan barang-barangnya, ia segera berselancar di internet. Mencari tau, buah dan makanan apa yang cocok untuk penderita laringitis. Setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, Ana pun keluar penginapan untuk membeli makanan tersebut.
Ana ingin kondisi Hikaru segera kembali normal. Ia optimis, penyakit lelaki beralis tebal itu pasti bisa disembuhkan. Setelah selesai berbelanja, ditambah langit yang mulai menggelap, Ana memutuskan untuk kembali mengunjungi Hikaru besok. Ana melakukan segala cara agar bunga hatinya segera diberi kesembuhan, termasuk berdoa dengan tulus.
Keesokan harinya, Ana kembali ke rumah sakit. Tidak seperti kemarin, hari ini Izumi tidak ada di sana. Ana bernapas lega. Ia segera mendekat ke arah Hikaru dengan membawa buah tangan.
"Ohayou, Hikaru-kun!" sapa Ana dengan senyum lebar, berharap keceriaannya bisa menular. Ia berharap, dukungannya bisa menyembuhkan psikologis lelaki Jepang itu.
Sementara itu, netra kecil Hikaru membelalak ketika mendapati yang memasuki ruangan adalah Ana, bukan Izumi. Ia heran, mengapa gadis Korea itu masih di sini dan belum pulang ke negaranya? Apa ia sudah gila?
Ana meletakkan sekeranjang buah di meja, lalu duduk tanpa sungkan di hadapan Hikaru. Gadis itu berusaha memposisikan dirinya seperti teman yang sudah lama tak berjumpa. Ana berusaha mencairkan suasana di sekitar mereka, agar keadaan tidak kaku dan canggung.
Sayangnya, Hikaru tak bisa diajak bekerja sama. Ia tidak hanya menghadiahi tatapan tajam yang seakan mengusir gadis itu, tetapi ia juga membuang muka. Ana merasa jantungnya seolah tertusuk panah. Hikaru tidak menginginkan kehadirannya. Namun, bola mata Ana beralih dengan cepat—memerhatikan infus yang terpasang di tangan Hikaru. Ada sedikit darah di ujungnya, membuat gadis itu bangun dari kursinya dengan wajah terkejut.
"Hikaru-kun! Da-darah!"
Hikaru ikut melihat ke arah pandang Ana. Sebagai pasien, ia memahami, hal ini biasa terjadi jika ia terlalu banyak bergerak, terlebih saat ke kamar mandi.
Bukan hal yang besar, tetapi tidak bagi Ana—orang awam yang tidak tahu apa-apa. Tentu ia akan mudah diserang panik. Gadis itu pun segera bergerak keluar dan memanggil perawat. Hikaru tidak bisa menghentikan gerakan gadis itu karena ia tidak bisa bersuara.
"Dasar gadis bodoh!" umpat Hikaru dalam hati. Namun, berkebalikan dengan ucapannya, seulas senyum terbit dari sudut bibirnya, merasa tersentuh dengan kebaikan Ana. Namun, tidak berselang lama, senyum itu segera pudar.
Apa yang aku pikirkan? Tidak, tidak! Dia bukan siapa-siapa! Jangan hiraukan dia, Hikaru!
Dua menit kemudian, Ana datang bersama seorang perawat. Lantas ia menunggu perempuan berbalut seragam putih itu memperbaiki selang infus Hikaru. Setelah menyelesaikan tugasnya dan mengatakan kondisi Hikaru baik-baik saja, perawat itu kembali meninggalkan ruangan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ana mendesah lega dan menyengir pada Hikaru.
Pasien itu menatap Ana dengan kesal. Sungguh memalukan! Terlebih, ketika si perawat juga menjelaskan bahwa kemunculan darah biasa terjadi jika pasien banyak bergerak. Hikaru berteriak sekencang-kencangnya dalam hati. Namun, tentu tidak bisa Ana dengar.
Seperti tak terjadi apa-apa, Ana kembali duduk dengan santai. Ia mengambil sebuah jeruk dari keranjang yang dibawanya dan menyodorkan pada Hikaru. "Kau mau?"
Hikaru melengos. Ia masih malu dengan perkataan perawat tadi dan sekarang ia harus merasakan hal yang sama akibat perhatian yang Ana. Lelaki penggemar Yamapi itu tidak mengerti, sekarang ia lebih sensitif dibanding biasanya.
"Aku kupaskan jeruk ini untukmu, kudengar vitamin C bagus untuk pemulihan ketika sakit," kata Ana sembari mengupas kulit jeruk. "Bagaimana kabarmu sebelum ini? Aku jadi rindu masa SMP kita. Apa kabar teman-teman lainnya, ya?" lanjutnya.
Hikaru kembali memandangi Ana. Ia melihat setiap lekukan manis yang terpahat pada wajah oval itu. Alisnya yang tebal, senada dengan rambut legamnya, bulu mata lentik tampak memayungi mata kecilnya, pupil kelamnya, hidung mancung, dan bibir yang ranum, semakin menambah kesan manis di wajah Ana. Ana tetaplah Ana. Teman sekelasnya yang cantik. Tak banyak yang berubah dari gadis itu.
"Kau memandangiku? Jangan begitu, aku malu!" ucap Ana tiba-tiba sambil mendongak dan memegangi pipinya yang bersemu.
Tiba-tiba saja, Hikaru menepis jeruk yang dipegang Ana hingga menggelinding ke lantai. Ia mencoba berteriak yang berujung sia-sia—karena tidak ada suara yang lolos dari bibirnya.
Ana menggigit bibirnya kesal lalu ia berdiri dari duduknya. Ia mengambil jeruk yang terjatuh. Namun di saat yang bersamaan, Ana juga sedih, karena tak bisa mendengar suara Hikaru. Ia merindukan suara merdu itu. Hampir saja Ana menangsi dibuatnya. Namun, ia cepat menguasai diri.
Ana mengambil tisu dan mengusap permukaan jeruk. Ia berharap jeruk ini masih bisa dimakan. Ana pun kembali duduk dan mengambil seruas jeruk. "Kau boleh marah padaku, tapi tidak dengan jeruk ini. Jeruk ini tidak bersalah. Jangan hanya emosimu lalu kau membuang makanan semudah itu. Tak taukah kau, banyak orang kelaparan di luar sana?"
Hikaru tertegun diceramahi Ana.
"Jeruk ini, mungkin bisa sangat berarti bagi orang lain," sambung Ana sambil mengangkat jeruk itu dengan dua jarinya. "Banyak orang di luar sana yang tetap berjuang meski dalam kondisi serba terbatas. Mereka tidak memiliki apa pun selain raga dan jiwa. Namun, itu cukup bagi mereka untuk terus melangkah. Kau pun juga sama. Kau mungkin kehilangan suaramu, tapi kau masih punya segalanya. Kau masih punya orang-orang di sekitarmu. Kau masih punya aku."
Keduanya sama-sama terkejut dengan kalimat terakhir yang baru saja Ana ucapkan. Muka kedua remaja itu sudah semerah kepiting rebus. Masing-masing melengos. Perasaan tak karuan mulai merayapi kedua insan. Tiba-tiba, di sela perasaan yang tak menentu, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian dua anak manusia dalam ruangan. Izumi telah datang.
Ana segera berdiri dan meletakkan jeruknya di atas tangan Hikaru. "Kau makan ya, cepat sehat! Na-nanti aku datang lagi!"
Ana terburu-buru mengambil tas lalu berpamitan pulang. Peringatan terakhir Izumi kemarin masih terngiang di kepalanya, membuat gadis itu gugup. Ia sedikit tak nyaman dengan keberadaan Izumi. Namun, bukan berarti Ana menyerah untuk tetap di sisi Hikaru. Saat ini Ana hanya berusaha mengumpulkan keberaniannya, sehingga besok ia kembali untuk menjenguk Hikaru, dan terus mendukung lelaki itu.
***
TBC
Note:
~Arasseo = aku mengerti
~Kajja = ayo
~Noona = panggilan kakak perempuan dari adik laki-laki
***
11 Juli 2020
Revisi 1: 15 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro