2. Tokyo
Written by HafsahAzzahra09
Edited by Yamashita_Izumi
"Siapa itu Arata Hikaru?"
Pertanyaan Ara tidak kunjung mendapat jawaban dari saudara kembarnya hingga bel masuk berbunyi.
Melihat sang kakak diam saja dan masih dipenuhi keterkejutan, Ara pun tidak lagi mengganggunya. Meskipun isi kepala gadis itu sangat dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai lelaki bernama Arata Hikaru itu. Tidak mungkin, kan, Ana mengenal artis? Yang benar saja. Ara tidak mempercayai hal itu.
Ia menduga, pasti kakaknya hanya kaget melihat idola sedang dirawat di rumah sakit. Terkadang Ara heran dengan sikap Ana yang menganggap para artis idolanya seolah hidup. Mengkhawatirkan mereka ketika sakit, merasa patah hati ketika mereka berkencan, merasa rindu bila mereka lama tidak muncul di layar kaca, dan lain sebagainya. Ara tidak mengerti dengan perasaan semacam itu.
Sisa pelajaran siang itu, Ana tidak lagi menemukan fokus. Konsentrasinya ambyar begitu melihat siaran live dari akun Instagram Shirota beberapa menit yang lalu. Sesekali, Ara menoleh ke arah kembarannya, menangkap raut wajah gelisah di wajah pucat kakaknya.
"Eonnie, tidak apa-apa? Mengapa tiba-tiba pucat dan gelisah?" bisik Ara sambil tetap memandang lurus ke arah papan tulis.
"Hikaru, teman sekelasku ketika SMP kecelakaan." Setelah ratusan detik berlalu, Ana akhirnya menjawab pertanyaan Ana mengenai Hikaru.
"Jadi yang tadi ada di siaran live Instagram itu teman SMP Eonnie? Seorang artis?" tanya Ara masih dengan berbisik.
Ana mengangguk. Sementara Ara membeliak. Ia sama sekali tak menyangka ternyata kakaknya benar-benar memiliki teman seorang artis Jepang. Wow, ini luar biasa! Batin Ara.
Sama seperti Ara, Ana tetap pura-pura fokus dengan buku catatannya dan sesekali memandang papan tulis. Ia melakukannya agar aksinya berbicara di saat jam pelajaran tidak ketahuan.
"Hikaru memang berbakat dan dia mulai debutnya belum lama ini," jawab Ana.
Menit demi menit terasa bergulir begitu lambat. Tiga buah jarum jam yang terkurung di dalam jam dinding seolah tidak bergerak, membuat Ana begitu jengah. Gadis berambut sepunggung itu sudah ingin berlari meninggalkan kelas detik ini juga.
Namun, akal sehat gadis itu masih berada di kepalanya sehingga ia tidak benar-benar melakukan niat gilanya. Membolos sama sekali tidak pernah ada dalam kamus seorang Kim Ana. Meskipun sebentar lagi, mungkin ia akan melakukan absen sekolah kali pertama dalam delapan belas tahun terakhir.
Bel pulang yang berbunyi nyaring membuat Ana merekahkan senyum. Dengan kelewat semangat ia memasukkan semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Walaupun saat ini bibir cerinya mengembangkan senyum, jantung Ana tetap berdentam tidak teratur sejak tadi siang.
Langit sudah menggelap di luar sana. Namun, ini adalah kali pertama bagi Ana merasa takut untuk pulang di malam hari. Bukan karena ia takut dengan penampakan makhluk astral yang didengarnya dari mulut ke mulut di setiap jam istirahat. Namun, lebih kepada bagaimana jika gadis itu tidak bisa lagi melihat Arata Hikaru bernapas dan tersenyum.
Bagi Ana, Hikaru lebih dari sekedar teman sekelas saat ia mengenyam pendidikan di negeri sakura. Hikaru adalah cinta pertamanya.
"Eonnie, tumben bergerak begitu cepat?" Ara bicara cepat dalam satu tarikan napas.
Kim Ara tidak hanya mampu bicara dengan kecepatan di atas rata-rata, tetapi ia juga mampu melakukan segala aktivitas dengan cepat. Berbanding terbalik dengan kakak kembarnya yang cenderung melakukan gerakan slow motion. Melihat Ana seperti ini tentu aneh di mata Ara.
"Tidak perlu banyak bertanya. Ayo pulang!"
Ara segera menyusul kakak kembarnya yang tiba-tiba sudah berlari menuruni tangga.
"Yak. Yak. Eonnie!" Panggilan Ara bagai desis angin di telinga Ana.
Ia tetap bergerak cepat keluar kelas lalu menyusuri koridor. Ana merasa terlalu malas menanggapinya adiknya. Ia takut. Sangat. Pertanyaan-pertanyaan Ara bisa membuat air matanya rebas begitu saja. Menangis di depan Ara bukan hal baru bagi Ana, tapi gadis belia itu tidak ingin menangis di lingkungan sekolah.
Ara tau Ana yang bertipe melankolis akan cenderung mudah untuk menangis. Ia pun mengunci bibir mungilnya rapat-rapat. Meski rasa penasaran itu tetap mengungkungnya. Ia tidak akan menghujani Ana dengan sederet pertanyaan. Kali ini, diam adalah emas adalah sebuah pepatah yang sangat cocok untuk Ara.
Kedua saudara kembar itu pun segera berlari menuju halte yang hanya berjarak dua ratus meter dari sekolah. Mereka berharap bisa sampai di rumah secepatnya.
♥♥♥
"Apa Kakak sudah gila?" tanya Ara dengan mata yang dilebarkan. Ia terlalu terkejut saat mendengar rencana kakaknya.
"Iya aku bisa gila kalau sampai tidak bisa melihat Hikaru lagi, Ara," jawab Ana.
"Tapi membolos dari sekolah itu sama sekali bukan Kim Ana, Eonnie." Ara menghela napas lelah. Matanya tidak melepas sang kakak yang memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.
"Ara, dengar! Aku tidak akan lama, hanya satu minggu. Aku sudah memikirkan hal ini baik-baik dan pergi ke Jepang adalah keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat siapa pun. Sebagai saudara kembarku, tentu kau tahu bagaimana perasaanku saat ini, Kim Ara." Ana benar, Ara bisa merasakan kegelisahan dan kekalutan kakaknya.
Ara memang terkesan cuek dan tidak terlalu menaruh perhatian pada lawan jenis. Di saat Ana telah mengklaim dirinya sebagai wibu, Ara dengan tidak tahu dirinya menganggap kakaknya berkhayal terlalu tinggi dan aneh.
Begitu pula saat tiga tahun yang lalu, kala Ana pulang dari Jepang dan dengan semangat kemerdekaan menceritakan tentang cinta pertamanya. Ara sama sekali tidak mengerti. Bagi Ara yang selalu menampilkan ekspresi datar dan bersikap masa bodoh, cinta monyet semacam ini tidak menjadi prioritasnya. Hingga detik ini, Ara belum pernah jatuh cinta kecuali dengan tokoh-tokoh fiksi kesayangannya.
Ara mendesah pelan. Dengan berat hati, Ia pun menyetujui rencana Ana untuk membolos selama satu minggu. Pagi ini, di saat biasanya Ara adalah satu-satunya orang yang sudah bangun di rumah, tetapi tidak untuk kali ini. Seluruh anggota keluarga Kim telah siap untuk mengantar Ana ke bandara dengan jam penerbangan terpagi.
Kedua orang tua si kembar tidak bisa membantah keingan sulung keluarga Kim. Selain cantik, Ana juga cerdas, tegas, dan mandiri. Wajar bila gadis cengeng itu menjadi kebanggaan keluarga dan keinginannya cenderung selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Keberangkatannya ke Jepang kali ini, misalnya. Ana mengeluarkan semua uang tabungannya untuk membeli tiket pesawat pergi dan pulang.
"Yak, kau jangan merindukanku, Eonnie. Selalu saja menyusahkan!" Ara pura-pura cemberut. Padahal, jauh di lubuk hatinya, ia sangat mengkhawatirkan kondisi Ana.
"Enak saja! Kau yang akan lebih dulu merindukanku," balas Ana sambil meraih tubuh ramping adiknya dalam dekapan.
Ara adalah separuh jiwa gadis itu. Mereka tidak hanya berbagi rahim yang sama selama sembilan bulan tepat delapan belas tahun yang lalu. Namun, pikiran dan perasaan mereka saling terikat kuat. Dan berpisah dengan Ara selalu tidak menyenangkan bagi Ana. Tanpa Ana sadari, bulir-bulir air mata merembes melalui sela netra hitamnya.
"Yak, baru saja kukatakan, Eonnie! Kau selalu saja menyusahkan. Tidak perlu menangis! Bajuku basah karenamu!" Kembar Kim pun tertawa bersamaan.
Ana lalu memeluk satu persatu anggota keluarganya yang lain. Saling bertukar pesan hingga panggilan untuk segera melakukan boarding pass membahana di seantero bandara. Putri sulung keluarga Kim pun melambaikan tangan ke arah keluarganya dan segera bergabung dengan para penumpang lainnya.
♥♥♥
Detak jam dinding mengeluarkan nada tik-tok konstan yang membosankan di telinga Hikaru. Perawat baru saja keluar dari ruangan untuk mengantar makan siang. Hikaru melirik sekilas ke arah menu di atas nakas, sama sekali tidak tertarik. Nafsu makannya hilang sejak tahu vonis dokter mengenai penyakitnya. Bahkan untuk sekedar bernapas tidak lagi menarik di mata Hikaru.
Izumi duduk di sofa di seberang brankar Hikaru. Ia membolak-balik majalah yang ada di genggaman, terlihat begitu antusias. Sangat berbeda dengan Hikaru yang sudah tidak memiliki ketertarikan pada apa pun.
Kedatangan Shirota beberapa jam yang lalu pun hanya menambah denyut di pelipis Hikaru. Kini seluruh dunia telah mengetahui perihal penyakitnya. Hikaru tidak suka dikasihani. Namun, ia bisa sedikit bernapas lega karena Izumi berhasil menarik paksa Shirota keluar dari kamarnya. Menejernya itu selalu bisa diandalkan. Tidak hanya itu, Izumi bahkan bisa mengkondisikan wartawan-wartawan yang tanpa jemu menunggu kabar darinya di sekitar ruang rawat.
"Kau tidak mau makan? Sudah berapa kali jam makan yang kau lewatkan?" tanya Izumi.
Hikaru hanya diam. Selain karena ia tidak bisa lagi bicara, pemuda itu memang malas menanggapi ucapan manajernya. Izumi selalu cerewet dan terkesan mengatur Hikaru. Namun, lelaki itu tahu, Izumi hanya menyayanginya, lebih dari sekedar hubungan menejer dengan artisnya. Hikaru adalah saudara bagi wanita itu.
"Hikaru-san, aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan suara sama seperti kehilangan nyawa bagimu. Tapi apakah kau tahu? Ini semua belum berakhir. Hidupmu belum berakhir hanya karena satu nyawamu hilang, Hikaru-san.
"Kau pernah mendengar istilah kalau kucing memiliki sembilan nyawa dalam hidupnya? Sama seperti kucing, kau memang kehilangan salah satu nyawamu, tetapi kau masih memiliki delapan lainnya untuk tetap hidup. Kau mengerti maksudku, kan?
"Ada banyak orang yang menyayangimu. Aku, ayahmu, ibumu, dan—"
"Hikaru-san!"
Suara pintu yang dibuka tanpa permisi mengalihkan perhatian dua orang di ruangan itu. Pasalnya, siapa orang tidak tahu sopan santun yang berani-beraninya menerobos di saat puluhan wartawan saja hanya bisa diam saat Izumi melarang mereka masuk.
"Izumi-san, saya minta maaf. Saya sudah mencegah gadis ini untuk masuk tapi dia keras kepala dan mengaku mengenal Hikaru-san." Seorang bodyguard dalam balutan kemeja putih dan jas hitam membungkukkan badan di belakang gadis itu, memohon agar dimaafkan oleh Izumi perihal keteledorannya.
"Kau siapa?" tanya Izumi pada gadis itu.
Gadis keras kepala itu melangkah mendekat ke brankar Hikaru dengan mata berembun. Ia sama sekali tidak mengindahkan pertanyaan Izumi.
"Hikaru-san, kau masih mengingatku? Kim Ana, teman SMP-mu dulu," ucap Ana tanpa menoleh ke arah Izumi.
Hikaru hanya memandang gadis itu dengan ekspresi datar. Ia terlihat tidak peduli dan tidak mau tahu. Untuk apa temannya jauh-jauh datang ke Jepang? Hikaru tentu masih mengingat Ana. Satu-satunya murid berbeda negara yang satu kelas dengannya tiga tahun yang lalu. Wajah mungil gadis itu terlalu mencolok untuk ia lupakan begitu saja.
Hikaru pun menghela napas lalu menoleh ka arah jendela. Tidak berniat menanggapi. Ia takut Ana akan mengetahui kelemahannya dan mengasihinya. Hikaru mencebik tak suka.
Izumi mendengkus melihat pemandangan di depannya. Apalagi saat tau gadis Korea itu benar teman Hikaru saat di sekolah. Menurut Izumi, Kim Ana tentu bukan hanya sekedar teman Hikaru jika ia rela jauh-jauh terbang dari Seoul menuju Tokyo saat mengetahui lelaki itu mengalami kecelakaan. Izumi pun memutuskan keluar dari ruangan rawat Hikaru bersama bodyguard bayarannya. Ia ingin memberi ruang bagi Hikaru dan temannya.
Meskipun berpura cuek, tetapi tubuh atletis Hikaru menegang setelah tau siapa tamunya siang ini. Kedatangan Ana tidak pernah masuk dalam prediksinya. Selain karena jarak yang memisahkan mereka, Hikaru sangat mengenal gadis super disiplin di depannya. Ana tidak mungkin membolos sekolah hanya karena mendengar perihal kecelakaan temannya.
Sepeninggalan Izumi, Hikaru ingin mengeluarkan suara, menanyakan beberapa hal pada Ana. Seperti misalnya, Mengapa kau bisa ada di sini? Apa kau sudah gila? Kau masih mengingatku? Namun, semua pertanyaan Hikaru tertahan di kerongkongan tanpa bisa ia suarakan. Mulut Hikaru menganga dan hanya mengeluarkan desis sebagai pengganti kata yang tak terucap.
Melihat kondisi Hikaru yang tidak wajar menciptakan raut panik di wajah Ana. "Hikaru-san, kau kenapa?"
Ana mengulurkan tangan kanan pada kening lelaki itu. Memastikan kalau kondisi laki-laki itu baik-baik saja. Namun, di luar dugaan, suhu tubuh Hikaru cukup hangat, membuat gadis bernetra kelam itu semakin panik.
"A-apa yang harus kulakukan?" tanya Ana dengan mulut bergetar.
Ia menoleh ke sekelilingnya. Tidak ada siapa pun di ruangan ini. Izumi telah meninggalkan mereka. Sepersekian detik kemudian, pandangan Ana teralih dengan mangkuk bubur di atas nakas.
"Kau belum makan, Hikaru-san? Buburmu keliatannya masih utuh," tanya Ana lagi.
Ana pun menguncir rambutnya asal sebelum duduk di kursi di samping brankar Hikaru. Ia lalu mengambil mangkuk bubur, berniat untuk menyuapi teman masa kecilnya.
Namun, kondisi psikis Hikaru yang belum stabil membuat lelaki itu membuang muka ke arah berlawanan. Hikaru tetap tidak mau makan. Tangan kanan Ana pegal setelah dua menit berlalu tanpa ada tanda-tanda Hikaru akan makan. Ia pun menarik tangannya yang menggantung di udara, menaruh kembali sendok dan mangkuk bubur Hikaru di atas nakas. Lelaki itu masih diam.
Gadis dalam balutan kaos putih itu menoleh ke arah pintu saat Izumi kembali masuk ke dalam ruang rawat Hikaru.
"Apa yang terjadi pada Hikaru-san, mengapa ia tidak mau makan? Aku bisa membelikannya makanan yang ia mau, aku akan ke kantin rumah sakit sekarang." Ana beranjak dari duduknya sebelum ucapan Izumi kembali membuatnya terduduk.
"Memangnya siapa yang mau makan setelah mendengar vonis dokter mengenai penyakitnya. Sebuah kondisi yang merenggut paksa mimpi yang telah lama kau susun, di saat semuanya nyaris kau genggam, mimpi itu pergi begitu saja tanpa bisa kau cegah."
"A-apa maksudmu?" cicit Ana.
"Hikaru-san, mengidap laringitis. Ia tidak bisa lagi bicara."
Tidak bisa bicara.
Ana mengulang kalimat yang diucapkan Izumi barusan dalam hati. Gadis itu menoleh ke arah Hikaru dan tatap keduanya bertemu. Manik kelam Ana kembali basah, Hikaru lebih dulu memutus kontak mata di antara keduanya. Ia tidak ingin melihat gadis itu menangis, dan tidak ingin dikasihani.
Ingatan Ana terlempar ke masa tiga tahun silam saat ia dan Hikaru masih sama-sama mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama. Saat itu, Hikaru sering mengisi acara pentas sekolah. Suaranya telah menjadi candu bagi telinga gadis itu. Entah sejak kapan, Ana pun diam-diam mulai menyukainya.
Awalnya, perasaan yang tumbuh di dadanya tidak sebesar sekarang, hanya sebatas kagum akan bakat yang dimiliki Hikaru. Namun, lambat laun, perasaan itu kian merekah ketika mereka sekelas di tingkat tiga. Takdir sedang memihaknya kala itu, Hikaru tidak hanya menjadi teman sekelas Ana tetapi ia juga menjadi teman sebangku gadis Korea itu.
Hal itu membuat mereka semakin dekat dan semakin saling mengenal. Meskipun Hikaru terkenal dengan sikapnya yang dingin, ia bisa sedikit melunak pada Ana. Tidak heran jika teman-teman seangkatan bahkan adik kelas mereka menjuluki Hikaru dengan sebutan gunung es. Lelaki itu memang irit bicara dan terkesan cuek. Bagi Ana, Hikaru tak ubahnya Ara dalam versi pendiam.
Ana sangat ingat, lelaki itu berulang kali dipanggil saat upacara karena prestasinya yang memukau di bidang tarik suara. Dengan segudang prestasinya, Hikaru menjadi mudah untuk disukai. Namun saat ini, kondisinya telah berbeda. Ana tidak bisa lagi mendengar suara merdu Hikaru. Kecelakaan itu telah mengacaukan segalanya.
"Sebaiknya kau pulang. Hikaru-san sedang butuh istirahat." Izumi menginterupsi lamunan Ana. "Dan jangan pernah kembali," lanjut wanita berkacamata itu.
♥♥♥
***
24 April 2020
Revisi 1: 13 April 2021
Vote + kritik & saran = menyenangkan hati penulis = berpahala
Thank you :) :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro