16. Di Sisimu
Written by: Yamashita_Izumi
Darah menggenang di aspal. Waktu seolah berhenti tatkala Jungho dan Ana melihat Ara terkulai. Tubuh kecil itu mengejang sebentar sebelum akhirnya berhenti bergerak. Membuat siapa pun yang melihatnya digerogoti rasa panik.
Ana dan Jungho pun bergegas menghampiri Ara. Ketika Ana sudah berada di dekat adiknya, kedua kakinya semakin terasa lemas. Ia bahkan sampai jatuh bersimpuh. Pemandangan di depan kedua matanya ini mengerikan.
Bola mata Ana pun mengembun. Benaknya mulai dipenuhi pikiran negatif. Namun, ia segera menghalau bayangan buruk yang menggerayangi. Ia yakin adiknya adalah gadis yang kuat. Ara pasti bisa selamat.
Sementara Jungo, rahang lelaki itu mengeras. Nadi terlihat jelas di pelipis. Ia luar biasa panik melihat kondisi Ara. Lelaki itu pun segera memangku kepala Ara, mencoba menggerakkan tubuh kaku itu sambil memanggilnya.
"Ara-ya! Kau dengar aku? Ara! Ara!"
Gadis dalam pangkuan pria berkemeja putih itu jelas tidak bisa menyahut. Matanya enggan terbuka. Kedua mata kecil yang selalu memancarkan binar ceria itu kini tidak bisa lagi Jungho lihat.
"Ya! Ara, bangun! Kau tidak boleh begini!"
Jungho segera mengecek alat vital Ara. Berharap denyut masih terasa di nadi kembaran Ana itu. Beruntung, Jungho masih merasakannya. Napas hangat Ara pun masih membelai jeamri Jungho.
Ia pun mendesah lega. Namun, otaknya kembali berpikir cepat. Ara harus segera mendapat pertolongan.
"Tolong! Tolong Ara! Kumohon!" rengek Jungho pada orang-orang di sekitar mereka. Salah satu orang baik itu pun bergegas memanggil salah satu taksi bandara yang melintas.
Ana menyatukan tangan. Sibuk merapal doa dalam hati. Dulu, saat Ara sedang di penjara, ia juga sibuk berdoa. Adiknya akhirnya bisa bebas dari segala tuduhan dan kembali ke sisinya. Jika sekarang ia kembali berdoa, Tuhan akan kembali menyelamatkan Ara, kan?
Tidak butuh waktu lama, Ara, Ana dan Jungho telah berpindah tempat ke dalam taksi. Mereka bergegas menuju rumah sakit terdekat. Jungho berulang kali berteriak pada supir taksi itu agar terus menambah laju kendaraan.
"Ya, Ahjusi, apa kau tidak lihat gadis ini sedang sekarat? Mengapa kau mengemudi begitu lambat!" geram Jungho.
Sang supir pun menekan pedal gas dan segera mencari celah untuk menyalip kendaraan di depannya. Klakson pun tak lupa ia bunyikan berkali-kali agar pengguna jalan menyingkir.
Jungho menekan dahi Ara yang terus mengeluarkan darah. Ia harap, mereka bisa segera sampai di rumah sakit dan Ara masih bisa bertahan.
Sementara Ana mencoba mengabari keluarganya. Malam ini yang seharusnya menjadi malam menyenangkan, karena anggota keluarga Kim telah kembali. Namun, semuanya mendadak berubah dalam sekejab. Malam ceria itu kini menjadi malam yang sendu.
Setelah Ana memutus sambungan teleponnya dengan sang ibu, ia maupun Jungho kembali merapalkan doa untuk keselamatan Ara.
Air mata Ana tidak bisa berhenti mengalir. Punggung tangannya sampai basah karena terus mengusap wajahnya. Berbagai kilas balik pun melintas di benak. Melihat Ara begitu lemah, Ana menjadi menyesal sering mendebat adiknya itu. Bahkan ia berjanji akan menjadi kakak yang lebih baik asal kembarannya bisa tertolong.
Blouse kuning Ara mencetak beberapa noda. Darah mengering tampak di beberapa sisi. Ana tau blouse ini adalah baju kesayangan Ara. Jika Ara berhasil selamat, Ana berjanji akan membelikan adiknya itu blouse kuning yang baru. Yang lebih baik. Yang lebih mahal. Ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan persaudaraannya dengan Ara.
Ya Tuhan, Ara adalah saudariku satu-satunya. Kami telah berbagi apa pun bahkan sejak belum mengenal dunia. Jika aku masih baik-baik saja sekarang, bisakah ia juga mengalami kondisi yang sama?
♥♥♥
Semua anggota keluarga Kim datang dengan langkah lebar mendekat ke ruang ICU. Ana yang melihat kedatangan keluarganya kembali menangis dan segera memeluk sang ibu.
"Bagaimana keadaan Ara? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" tanya Ayah tak kalah panik.
"Dia tertabrak mobil dan terpental. Sayangnya, kepalanya membentur aspal bandara. Ini semua salahku! Ara kritis karena aku!" sesal Ana dengan sesenggukan.
"Apa yang kau bicarakan, huh?"
"Ara salah paham setelah melihat Jungho Oppa menjemputku. Dia langsung berlari meninggalkan kami dan semuanya terjadi begitu cepat."
"Ana Noona, mungkin terlalu lelah. Benarkah Ara Noona segegabah itu?" tanya Yongsu.
"Apa kau tidak menyadari Noona-mu telah banyak berubah akhir-akhir ini?" Ana balik bertanya di antara tangisnya.
Youngsu pun berpikir. Ana benar. Dulu, Ara mungkin akan cuek dan bersikap masa bodoh dengan hal semacam ini. Namun, sejak ia mulai dekat dengan Jungho, Ara mulai berubah. Mulai dari rajin mandi, hingga bersih-bersih!
Yongsu pun mengangguk paham. Semua orang bisa berusah seiring bertambahnya usia dan kejadian yang ia alami dalam hidupnya. Dan kakaknya sedang mengalami hal itu.
"Sebaiknya kalian duduk dulu," saran Jungho menginterupsi obrolan keluarga Kim.
Mereka pun menuruti Jungho dan duduk di kursi ruang tunggu. Ibu yang biasanya cerewet dan suka mengomel, kali ini tidak bisa berkata-kata. Ia tidak melontarkan ucapan apa pun sejak duduk di samping suaminya.
Yongsu yang selalu menomorsatukan gim-nya, malam ini melupakan ponselnya. Ia bahkan lupa membawa telepon genggamnya. Ia melempar gawainya begitu saja karena buru-buru ke rumah sakit saat Ana menelepon ibunya tadi.
Sementara Ayah, di balik wajah kalemnya, Ana tau ia menyimpan kekhawatiran yang sama besarnya dengan semua orang yang hadir di sini. Semua menunduk dan terus berdoa sambil menunggu kabar baik dari sang dokter.
Jungho menatap intens ruang ICU. Ia berharap bisa segera mendengar kabar baik. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka bahwa semua ini terjadi begitu cepat. Jaksa yang biasanya terlihat tegas, kini begitu pucat dan lemah. Ia menyalahkan dirinya atas kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Ara. Apalagi kondisi Ara yang kritis, membuatnya semakin frustrasi.
Jungho menyesali keputusannya untuk bertemu Ana di bandara. Mengapa ia tidak tegas dengan meminta Ana menemuinya di kantor saja? Kesalahpahaman ini pasti tidak akan terjadi jika ia bisa mengambil sikap. Jungho terus menyalahkan diri dengan menepuk dadanya berkali-kali.
Tiga jam pun berlalu, malam sudah semakin larut. Mereka telah merubah posisi berkali-kali. Namun, tidak satu orang pun terserang kantuk. Padahal, Ana tadi sangat lelah, Jungho dan ayah baru pulang kerja, Yongsu yang sedang dimabuk tugas, dan ibu dengan segudang pekerjaan rumah tangga. Kekhawatiran membuat mereka masih terjaga hingga nyaris tengah malam.
Jungho pun berinisiatif untuk menawarkan diri menjaga Ara. Awalnya, keluarga Kim menolak karena mereka merasa masih bisa menjaga Ara. Mereka juga masih ingin di sisi Ara untuk segera mengetahui perkembangan kondisi keluarganya. Namun, karena Jungho terus meyakinkan mereka untuk segera beristirahat akibat kelelahan, keluarga gadis itu pun mengizinkannya.
"Baiklah. Aku mempercayaimu Seo Komsa-nim. Tolong jaga adikku," ucap Ana.
"Aku akan segera kembali," sahut Ayah.
"Tidak perlu terburu-buru. Aku akan menjaga Ara dengan baik," ucap Jungho sungguh-sungguh.
Ibu dan Yongsu mudah saja memercayai Jungho. Lelaki asing itu dulu pernah menolong Ara dengan tulus sebelum mereka saling mengenal. Terlebih sekarang, saat keduanya sudah sedekat ini. Ibu yakin, anak gadisnya akan aman di tangan jaksa muda itu.
"Percaya saja padaku. Aku tidak akan meninggalkannya, seinci pun," sahut Jungho dengan wajah pura-pura datar, meniru ekspresi Ara, mencoba mencairkan suasana.
Ana tersenyum geli, "Ternyata kau lucu juga, Seo Komsa-nim." ia tak menyangka pria yang lebih dewasa darinya itu bisa seperti ini. Pantas saja adiknya yang tanpa ekspresi itu tergoda dengan pesona Jungho. Ana mengangguk lalu meninggalkan rumah sakit bersama anggota keluarganya yang lain.
Sepeninggalan keluarga Kim, Jungho pun duduk di sofa yang ada di ruang rawat Ara. Ia ingin meluruskan punggungnya sebentar. Ara masih tertidur dengan damai. Jungho berharap, mata ceria itu sebentar lagi akan kembali menatapnya.
♥♥♥
Edited and Design by HafsahAzzahra09
***
30 Oktober 2020
Revisi 1: 29 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro