15. Incheon Airport (b)
Kim Ana
Aku akan segera take off. Aku juga sudah memberitahu Ara untuk tidak menjemputku. Aku sengaja memberitahunya di menit-menit terakhir agar ia tidak bisa datang. Aku tahu adikku itu masih memiliki jadwal yang tidak bisa ia tinggalkan.
Beberapa detik setelah menekan tombol sent, Ana melihat pesannya telah dibaca oleh sang penerima.
Seo Jung Ho
Aku mengerti. Aku akan segera menjemputmu.
Ana membaca pesan terakhir Jungho sebelum menyalakan mode pesawat di ponsel pintarnya. Gadis itu pun tersenyum puas. Ia berharap, rencananya kali ini berjalan mulus.
Saat pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan pacu Narita, Tokyo, Ana membuka buku dan mulai membaca. Dua puluh menit di awal penerbangan, gadis itu masih setia dengan buku Summer in Seoul karya Takasugi Ryota. Namun, perlahan kantuk mulai menyerang. Ana menutup mulutnya dengan telapak tangan lalu ia menyimpan bukunya dalam tas.
"Kurasa tidur sebentar tidaklah buruk. Semalam, aku hanya tertidur dua jam." Ana berdialog dengan dirinya sendiri.
Benar saja, tertidur selama dua jam selama perjalanan terasa begitu singkat bagi tubuh lelah Ana. Maka, saat pramugari membangunkannya dan mengatakan pesawat yang mereka tumpangi telah mendarat di bandara Incheon, Seoul, Ana sedikit terkejut. Setelah berterima kasih, ia pun membenarkan letak tas di pundak lalu berdiri untuk mengambil barang di kabin pesawat.
Kemudian, kaki jenjang wanita itu melangkah mengikuti penumpang lain yang mengantre keluar. Sambil menunggu, Ana kembali menghidupkan ponselnya.
Kim Ana
Hai, Seoul. Lama tidak berjumpa!
Salah satu kebiasaan Jungho yang sangat Ana sukai adalah kecepatan jarinya dalam membalas pesan. Berbanding 180 derajat dengan Hikaru.
Seo Jungho
Selamat datang kembali, Seoul merindukanmu!
Ana tidak bisa berbohong jika ia sangat mengharapkan pertemuannya dengan Jungho. Bahkan gadis itu sampai memohon agar Jungho menjemputnya. Ada sesuatu yang benar-benar ingin Ana sampaikan. Saat Jungho mengabulkan permintaannya, Ana semakin yakin kalau ia tidak salah memercayai orang.
Roda koper Ana pun menggilas keramik Incheon. Netra gadis itu menyisir sekeliling, mencari keberadaan Jungho. Beruntung, lelaki 25 tahun itu memiliki tubuh menjulang sehingga Ana dengan mudah menemukannya. Jungho pun melambaikan tangan ke arah kembaran Ara itu.
"Menunggu lama?" tanya Ana sambil berjalan bersisian dengan lelaki itu.
Ini kali pertama Ana benar-benar memerhatikan wajah lelaki itu. Dari jarak sedekat ini, hidung mancung, alis dan bulu mata hitam yang tidak terlalu tebal, rahang tegas, tampak menonjolkan ketampanan dan kewibawaan jaksa muda itu. Ingatan Ana membawanya saat persidangan Ara dan Dalpo, di mana saat itu Jungho berhasil memenangkan kasus itu dan menolong adiknya.
"Aku baru sampai ketika menerima pesanmu," jawab Jungho. "Kita langsung pu—"
"Kita langsung ke kafe J-Ha saja. Lokasinya tidak jauh dari rumahku. Aku tidak perlu takut untuk pulang sendirian malam-malam," sahut Ana memotong ucapan Jungho. Saat ini ia merasa ada sebagian jiwa Ara di dalam dirinya karena ia bisa bicara secepat ini. Ana merasa sudah tidak memiliki banyak waktu lagi.
"Ne."
Melihat koper Ana yang begitu besar membuat Jungho berinisiatif untuk membantunya. "Biar aku saja yang menggeret kopermu," tawar Jungho. Tanpa sengaja, tangan mereka pun bersentuhan. Sontak gadis delapan belas tahun itu melepaskan tangannya karena terkejut.
"Mian. Aku membuatmu terkejut," sesal Jungho.
"Tidak, dan terima kasih." Ana pun menyerahkan kopernya untuk digeret Jungho.
"Eonni! Oppa!" Ana dan Jungho pun menoleh bersamaan dengan wajah terkejut yang nyata.
"Ara!" panggil Jungho.
"Aku 'kan telah menyuruhmu untuk tinggal dan menunggu di rumah," ucap Ana.
"Mengapa? Agar Eonni bisa berduaan dengan Jungho Oppa? Ya! Kau memang gadis bebal yang tak tau diuntung!"
Tanpa menunggu jawaban Ana, Ara pun pergi meninggalkan keduanya. Langkah lebar Ara membuat Ana kesulitan untuk mengejar adiknya. Selain karena merasa tubuhnya masih pegal, heels setinggi tujuh senti dan padatnya orang yang berlalu lalang, merepotkan langkah Ana. Begitu pula Jungho, ia juga kesulitan karena koper besar Ana yang ia bawa.
"Ara-ya! Kau mau ke mana? Kita pulang bersama!" teriak Ana memanggil adiknya. Ia menghela napas lelah. Masalah mereka tempo hari belum selesai, kini mereka harus kembali bertengkar.
Ara menulikan telinga dengan terus menjauh. Dadanya sesak melihat kakaknya harus dekat dengan Jungho. Pikiran-pikiran negatif menyerangnya tanpa ampun. Pikirannya lelah dan Tubuhnya pegal setelah seharian di kampus. Jika sudah begini, Ara akan mudah kehilangan fokus, terlebih gadis itu sangat mudah melamun.
Dan benar saja, saat ia terus berlari keluar dari area bandara. Ara tidak benar-benar memperhatikan sekitarnya. Tubuh kurusnya pun tertabrak pria bertubuh gemuk yang melintas di hadapannya. Sontak hal itu membuat Ara terpental dengan mudah.
Sialnya, dari arah berlawanan, sedan yang kaget melihat Ara yang tiba-tiba melintas di depannya terlambat menginjak rem. Tubuh Ara kembali terpental hingga beberapa meter.
"Ara!" teriak Jungho dan Ana berbarengan.
Ara merasakan kepalanya berdentam hebat saat membentur aspal. Telinganya berdenging dan hidungnya serasa dihantam palu. Ia belum pernah merasakan sakit sehebat ini sebelumnya. Dua detik setelahnya, darah segar mengalir melalui hidung dan pelipisnya. Ara ingin mengaduh kesakitan, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan lalu seketika semuanya menjadi gelap.
♥♥♥
25 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro