Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Cokelat

Written by : HafsahAzzahra09
Edited by : Yamashita_Izumi

***

Ara merobek bungkusan cokelat dengan gigi taringnya. Ia pun langsung melahap potongan besar makanan manis itu dan mengunyahnya cepat.

Mulut Ara kembali terbuka setelah ia menelan potongan kasar makanan dalam mulutnya, hendak kembali menggigit cokelat di tangan. Namun, kepala gadis itu dipukul dari samping dengan sebuah gulungan koran. Hal tersebut tidak hanya membuatnya terkejut tetapi juga marah.

"Yak! Orang gila ini benar-benar—"

"Pagi, Ara-ya."

"Yak! Apa tidak ada cara menyapa yang lebih baik. Kau memang benar-benar—"

"Apa kau benar-benar lapar?" tanya Jungho saat melihat mulut gadis berambut pendek itu berpelepotan cokelat. Ara mendengkus. Baru kali ini ada seseorang yang berani menyela ucapannya. Ia pun meninggalkan Jungho dan berjalan sambil kembali menggigit cokelatnya yang tertunda.

"Yak! Ara-ya! Dasar gadis tak tahu diri ini. Aku belum selesai bicara." Jungho mengejar Ara. Namun, gadis itu meneruskan langkah tanpa menoleh. Emosinya sedang tidak baik dan ia siap menghajar jaksa muda itu jika terus mengganggunya seperti ini.

"Ara-ya! Aku minta maaf. Aku memiliki cokelat. Kau mau?" tawar Jungho berusaha membujuk Ara.

Ara pun menghentikan langkah dan menatap lelaki berkacamata itu. "Apa kau sungguh-sungguh?" tanya Ara penuh selidik.

"Apa aku terlihat sedang bergurau?" Jungho balik bertanya pada Ara.

Lelaki itu pun menyodorkan sebatang cokelat dari dalam tas kerjanya. "Aku adalah jaksa yang jujur, Ara-ya."

Tanpa berpikir dua kali Ara langsung menyambar cokelat keduanya pagi ini. "Kamsahamnida, Oppa." Gadis itu pun membungkukkan badan ke arah Jungho sebagai bentuk penghormatan dan terima kasihnya.

"Kau memang berlebihan," ujar Jungho sambil tertawa. "Oh, iya. Ngomong-ngomong kau mau ke mana?" tanya lelaki berambut hitam itu sambil membenarkan posisi kacamatanya.

"Tentu saja ke kampus," jawab Ara asal. Ia menyimpan bungkus cokelatnya yang telah habis dalam saku lalu mulai merobek bungkus cokelat pemberian Jungho.

Hari ini adalah kuliah perdananya di semester ini. Sebagai mahasiswa baru, Ara tidak ingin terlambat di hari pertamanya. Dengan antusias, ia pun mempercepat langkah menuju halte.

"Kampus? Sekarang Ara kecilku sudah menjadi mahasiswa? Wah daebak! Keajaiban dunia kesepuluh telah lahir hari ini," canda Jungho yang dihadiahi Ara pelototan mautnya.

"Yak!" sembur Ara. Meskipun mulutnya mengeluarkan nada bicara yang tinggi, tetapi, tanpa gadis itu sadari, kedua pipinya merona saat mendengar Jungho memanggilnya dengan sebutan 'Ara kecilku'. Tidak hanya itu, jantung Ara pun berdegup tak teratur saat melihat senyum Jungho barusan.

"Mianhae, Ara-ya. Aku hanya bercanda. Bagaimana hari-hari pertamamu di kampus?"

"Dua hari kemarin adalah masa orientasi mahasiswa baru. Sedikit membosankan. Walau sebentar, aku sempat tertidur selama mendengarkan."

"Bisa-bisanya kau tidur!" kekeh Jungho.

"Aku biasanya tidak mudah tertidur tapi kemarin aku ketiduran. Aku juga heran."

"Oiya, Aku juga mau pergi, dan karena kita searah, jadi bagaimana jika kita pergi bersama?" tawar Jungho lagi.

"Oppa, kan, tidak tahu di mana letak kampusku. Jadi bagaimana Oppa bisa tahu tujuan kita searah atau tidak?" Kecerdasan gadis itu telah kembali setelah ia nyaris menghabiskan dua bungkus cokelatnya.

Jungho pun seketika bungkam. Ia menggaruk tengkuk sebagai respons atas pertanyaan Ara.

"Tapi, kalau Oppa dengan sukarela membayar tagihan busku. Ayo kita pergi bersama!" lanjut Ara. Ini adalah sebuah peluang untuk menghemat uang saku, pikirnya. Kesempatan baik seperti ini harus ia manfaatkan sebaik mungkin.

Bus yang ditunggu Ara pun tiba tepat ketika ia dan Jungho baru mencapai halte. Mereka pun masuk dan duduk di bangku paling belakang.

"Ada mahasiswa asing di kelasku. Aku jadi teringat pada Ana Eonnie," ucap Ara setelah ia duduk di bangkunya. "Kemarin saat pengenalan kampus, kami mendapat pengarahan bagaimana cara beradaptasi, belajar, dan mendapat teman di lingkungan yang baru. Aku harap Eonnie tidak mengalami kesulitan."

"Dulu di kelasku juga ada mahasiswa asing dari Indonesia," timpal Jungho. "Saat orientasi mereka juga mendapat pengarahan tentang senior-junior dan juga minum-minum yang sangat melekat di budaya kita. Aku rasa, di Indonesia budaya ini seketat di sini."

"Tentu saja, Oppa." Ara membenarkan. "Tapi, aku bersyukur karena kemarin tidak tertidur saat mereka menjelaskan tentang cara memilih mata kuliah dan cara menulis makalah."

"Itu adalah acara yang paling penting, Ara-ya." Gadis itu pun terkekeh. "Ngomong-ngomong, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Jungho.

"Hmm."

"Mengapa kau pergi ke kampus sendiri? Di mana Ana?" tanya Jungho.

"Eonni ... sudah tidak di Seoul lagi," jawab Ara dengan wajah datarnya.

"Jeongmal?"

"Hmm. Aku sendirian sekarang." Gadis itu terlihat kuat dan seolah tidak peduli. Wajah datarnya begitu piawai menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya.

Meski gadis itu hanya menjawab singkat pertanyaan yang diajukannya, Jungho paham, Ara merasa kehilangan. "Mianhae. Aku tidak bermaksud—"

"Halo!" Ara menyela ucapan Jungho karena ponselnya berbunyi. Ia langsung menjawab panggilan telepon ketika melihat nama kembarannya tertera di layar gawai.

"Mianhae. Ini Ana Eonnie," bisik Ara pada Jungho. Lelaki itu pun paham dan melempar pandang ke luar jendela, memberi ruang bagi Ara untuk berbincang dengan kakaknya.

"Apa kau dalam perjalanan?" tanya Ana.

"Hmm."

"Kelasmu dimulai pukul berapa?"

"Tidak lama lagi," jawab Ara sambil melihat arlojinya.

"Aku benar-benar merasa buruk," keluh Ana. Ia lega karena adiknya belum memulai perkuliahannya pagi ini. Ana sendiri baru mulai kuliah bulan depan pada bulan April.

"Karena?"

"Aku mengira perasaan dan hubunganku dengan Hikaru akan membaik setelah aku tiba di Tokyo. Nyatanya tidak seperti yang kubayangkan. Sebuah keajaiban karena aku dan Hikaru ternyata mengambil kampus dan program studi yang sama. Aku tidak sengaja bertemu dengannya saat ujian wawancara dan dia ... lebih dingin dari terakhir kali kami bertemu."

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Ara.

"Aku sama sekali tidak tahu tujuan lelaki itu. Awalnya, aku sangat senang. Kurasa, jika berada di lingkungan kampus, Izumi tidak akan bisa menghalangi hubungan kami. Saat ini, memang tidak ada Izumi tetapi sikap Hikaru benar-benar berubah. A-aku kehilangan Hikaru yang dulu," keluh Ana nyaris terisak.

Ara pun mengurai kerutan di dahinya. Ia kembali memasang ekspresi datar. Namun jauh di lubuk hatinya, gadis itu benar-benar kesal.

"Yak! Kalian berdua memang manusia tidak tahu diuntung. Aku sudah memperingatkanmu, Eonnie! Jauhi lelaki Jepang itu. Ia hanya akan menyusahkanmu. Pertama, kau sudah jauh-jauh ke Tokyo hanya untuk melihat keadaannya setelah kecelakaan yang menimpanya. Tapi apa balasannya?

"Ia bahkan tidak melihatmu. Dan manajernya yang sombong itu. Ah wanita itu benar-benar!" omel Ara yang sukses membuat Jungho kembali menoleh ke arahnya. Bahkan beberapa pasang mata kini juga tengah memperhatikan gadis cerewet itu.

"Lalu yang kedua, kau kembali ke Tokyo, memilih untuk berkuliah di tempat terkutuk itu. Dan apa yang kau peroleh, hah? Secepat itu Arata melupakanmu, Eonni. Lelaki sombong benar-benar harus kuberi pelajaran!" Ucapan Ara membuat air mata Ana jatuh tanpa bisa ia cegah. Namun di satu sisi, ia juga sedikit membenarkan ucapan adiknya.

"A-aku memang ingin kuliah di sini. Terlepas Hikaru menyukaiku atau tidak. Dan aku tidak menyesali keputusanku." Ana pun memutus sambungan teleponnya.

Ia tentu akan merasa sangat bodoh jika jauh-jauh dari Seoul ke Tokyo hanya untuk seorang Arata Hikaru. Perjuangan yang ia tempuh untuk bisa berada di sini tidak sebercanda itu. Ana memiliki mimpi yang harus ia kejar. Dan Hikaru sebagai bonusnya.

Namun, meski begitu, Ana tidak bisa membohongi perasaannya kalau ia sangat kecewa dengan sikap Hikaru kemarin. Ia mengira, jika menemui lelaki itu secara langsung, Hikaru akan luluh seperti waktu itu. Ternyata dugaannya melenceng jauh.

Sekali lagi, Ana menyemangati dirinya sendiri. Hikaru hanya butuh diyakinkan. Dan ia berjanji, ia akan memperjuangkan perasaannya.

Sementara Ara memandang wallpaper ponsel pintarnya yang menampilkan wajah dua gadis berparas sangat mirip. Ia pun menghela napas berat. "Aku berharap kau baik-baik saja, Eonni."

"Kita hampir sampai. Mungkin sekitar sepuluh menit lagi," ucap Jungho menginterupsi lamunan Ara. Gadis berbibir ceri itu pun melempar tatapan sendu ke arah lelaki berkemeja putih.

"Aku lelah. Aku ingin istirahat," keluh Ara. Gadis itu sangat jarang mengeluh. Keluhan yang terucap melalui bibir cerinya adalah pertanda jiwanya sedang sangat tidak baik-baik saja.

Ara tidak hanya merasakan perasaannya sendiri. Namun juga suara batin yang dirasakan Ana. Sering kali, kontak batin yang dimiliki Ara jauh lebih kuat dibanding Ana. Ara pun mengurut pelipisnya yang berdenyut.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jungho khawatir.

Ara pun menyandarkan kepalanya di bahu kanan Jungho. "Sebentar saja. Ingatkan aku kalau kita sudah sampai." Ara pun memejamkan mata. Berusaha mengatur napas. Dadanya sakit. Ia benar-benar ingin menangis, sekarang. Namun seperti yang sudah-sudah. Ara terlalu malu untuk menangis di tempat umum.

"Apa kau benar-benar akan pergi kuliah? Kau terlihat kacau," interupsi Jungho yang membiarkan gadis itu memakai bahunya.

"Apa kau tahu, Oppa? Bahu memang diciptakan untuk menjadi tempat bersandar. Tetapi aku baru tahu kalau tempat bersandar itu senyaman ini," ucap Ara masih dengan memejamkan mata.

Ucapan sederhana wanita di sampingnya itu mampu mengusik ketenangan debaran jantung Jungho.

"Gadis aneh ini benar-benar!" Jungho menghela napas. Sama seperti Ara, ia sedang menetralkan deru napasnya.

Ara pun terpejam dan Jungho menikmati waktu yang berdetak begitu lambat. Ia belum pernah sedekat ini dengan Ara. Ternyata, gadis di sampingnya ini wangi juga. Selama ini Jungho agak mempercayai ucapan Yongsu yang mengatakan kalau Ara jarang mandi.

Selain itu, Jungho juga seolah bisa merasakan kerapuhan Ara. Ia tahu, Ara tidak benar-benar tertidur. Namun, melihatnya terpejam seperti sekarang sedikit melegakan Jungho. Ara juga berhak mengistirahatkan pikirannya.

Halte pemberhentian mereka pun semakin dekat. Jungho pun membangunkan Ara dengan sangat hati-hati. Ia takut, jika ia tidak melakukan hal itu, Ara akan terluka.

Ara pun mengangkat kepalanya dari bahu Jungho sambil menggosok sudut matanya.

"Kamsahamnida, Oppa," ucap Ara tulus.

♥♥♥

Note:

· Kamsahamnida = Terima kasih

· Jeongmal = Benarkah?

***

13 September 2020

18 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro