10. Aku Tidak Percaya (b)
"Ara-ya!"
"Aku hanya menyayangimu. Tidakkah kau mengerti!"
Tangis gadis itu pun semakin pecah. Lantas, ia meninggalkan kamar kakaknya sambil sesenggukan. Ara pun membanting pintu lalu mematikan lampu kamarnya. Ia menutup mulut dengan bantal untuk meredam tangis. Ara selalu tidak nyaman jika keluarganya tahu ia sedang menangis.
♥♥♥
Ara mengaduk-aduk jus stroberinya tanpa minat. Pandangannya jatuh pada meja kayu bercat hitam di depannya. Detik-detik yang bergerak menjauh hanya menyisakan keheningan. Sekali lagi gadis itu meloloskan napas berat. Lalu ia menggigit bibir cerinya, mengangkat wajah dan menatap manik hitam yang menantinya untuk bersuara.
"Jadi?" tanya lawan bicaranya.
"Aku berdebat dengan Eonni dan aku benci itu."
"Aku rasa kalian hanya butuh waktu."
"Aku juga berpikir begitu." Jika biasanya Ara akan mengoceh panjang lebar secara cepat, kali ini ia lebih banyak diam.
Jungho bersandar sambil tak melepas perhatiannya pada Ara. Lelaki berkacamata ini tetap menganggap Ara adalah gadis yang unik. Ara dan keterdiamannya bagai dua kutub magnet yang berlawanan. Jika gadis itu cerewet dan berbicara cepat tanpa bernapas, itu baru Ara yang Jungho kenal, tetapi Ara menjadi pendiam? Hal ini membuat Jungho tak habis pikir.
Ara mengalihkan pandang ke luar jendela. Mobilitas kendaraan pada siang ini ramai lancar. Beberapa pejalan kaki tampak di trotoar, ada yang berjalan terburu-buru, seolah sedang terlambat. Namun ada juga dua gadis yang berjalan bersisian saling melontarkan tawa. Pemandangan itu membuat Ara mengingat Ana. Ia merindukan kakaknya.
Setelah pertengkaran hebat mereka semalam, Ara ragu jika kakaknya itu mau untuk sekedar melihat wajahnya.
"Setelah itu apa yang terjadi?" tanya Jungho.
"Aku tidak bisa tidur. Mataku sembab. Dan aku kesulitan bernapas," keluh Ara.
Jungho pun meraih punggung tangan Ara. "Aku tahu ini berat untukmu. Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang menginginkan saudaranya terluka. Tapi, bisakah kau juga tidak menyakiti dirimu sendiri?" Jungho mengelus punggung tangan Ara dengan ibu jarinya. Mendengar kalimat yang dilontarkan Jungho, mata Ara kembali basah. Gadis berambut sebahu itu melarikan pandang ke langit-langit, tidak ingin menangis lagi.
"Aku rasa minuman dan makanan manis bisa membantu. Minumlah," saran Jungho sambil menunjuk jus stroberi Ara dengan dagunya.
Ara tidak memiliki alasan untuk menolak, ia pun menyedot minumannya. Ia juga menyendok lava cake-nya yang masih utuh. Sugesti yang Jungho berikan agaknya berhasil. Ara merasa sedikit lega setelah makan dan minum kudapan manis. Ara kembali menyendok saus cokelat dan cake lembut di piring, lalu mengunyahnya. Lava cak memang menjadi menu andalan di Kafe Cokelat Vanila. Juara di lidah Ara.
"Enak, kan?" tanya Jungho yang diiyakan oleh gadis itu.
Ara baru tahu kalau jaksa muda itu juga menyukai lava cake di Kafe Cokelat Vanila. Mereka memiliki selera yang sama dan Ara menyukai itu.
"Aku menyukai makanan manis. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kita menyukai hal yang sama," tambah Jungho.
"Aku menyukai semuanya dan kurasa aku membutuhkannya lagi," ujar Ara sambil menatap piring kosongnya. Hal itu sontak membuat Jungho kembali memesankan lava cake untuk gadis berambut pendek itu.
♥♥♥
Ana merasa dadanya akan meledak sebentar lagi, sakit. Tidak hanya itu, kepalanya begitu pening. Wajahnya basah. Air mata belum bosan luruh dari kedua netra. Mendengar ucapan Ara semalam benar-benar membuat sudut hatinya patah.
"Aku hanya menyayangimu. Tidakkah kau mengerti!"
Kalimat itu kembali terngiang. Berulang-ulang, bagai sebuah kaset dengan mode replay. Tanpa perlu mengucapkannya, Ana juga merasakan hal yang sama. Ia sangat menyayangi Ara. Bagaimana pun mereka telah lahir dan tumbuh bersama. Tidak mungkin ia tidak mempedulikan kembarannya itu.
Namun bagi Ana, ketakutan adiknya itu agak berlebihan. Ana mengenal Arata Hikaru seutuhnya. Ia sangat yakin lelaki itu tidak seperti apa yang Ara tuduhkan.
Hikaru bukanlah tipe lelaki yang memiliki banyak wanita simpanan—seperti kebanyakan pemberitaan selebritas papan atas yang biasa Ana dengar. Hikaru juga bukan seorang pengguna narkoba seperti Dalpo. Dan lagi, Hikaru bukanlah artis yang mengalami depresi seperti yang banyak dialami artis-artis di negara kelahirannya. Hikaru bukan orang seperti itu. Ana yakin. Sangat.
Ana sangat mengerti bagaimana perasaan Ara. Ikatan batin di antara mereka begitu kuat. Namun di satu sisi, ia juga tidak bisa menjauhi Hikaru. Ana telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit untuk bisa berada dekat dengan Hikaru seperti sekarang. Sesuatu yang tidak mungkin dilepas begitu saja olehnya. Ia sangat mencintai lelaki itu.
Saat ini Ana tidak hanya merasakan perasaannya sendiri, tetapi juga perasaan Ara—yang membuatnya semakin ggila. Ia kembali menangis.
"A-Ara sedang sangat ketakutan."
Ana begitu ingin mendekap adiknya kembarnya. Menyalurkan kekuatan dan menenangkannya. Namun, saat tadi ia mengetuk pintu kamar Ara, gadis itu sudah tidak ada di kamarnya. Ara telah pergi.
"Ke mana perginya gadis cerewet itu. Ah benar-benar menyusahkan!" batin Ana.
Perasaannya semakin bertambah kacau saat mengetahui Hikaru marah padanya.
♥♥♥
Ara malas untuk pulang ke rumah. Ia melangkah gontai menuju rumah Myunghae. Di depan rumah bertingkat itu ia berhenti, mengangkat tangan hendak menekan bel. Namun, tangannya tetap teranyun di udara tanpa melakukan apa pun. Ara berdeham dan menghela napas sebelum benar-benar menekan bel.
Ara tidak memiliki tujuan lain sekarang. Setelah Jungho mendengarkan semua keluh kesahnya, lelaki itu memaksa untuk mengantarnya pulang. Ara langsung menolaknya secara halus. Ia sudah terlalu banyak merepotkan jaksa muda itu. Jungho pun menyerah dan membiarkan Ara pulang dengan bus umum.
"Ara-ya!" Myunghae terkejut melihat Ara dengan wajah pucatnya berdiri di balik pintu rumahnya. "Apa yang terjadi? Ayo masuk!" Ia pun meraih bahu Ara dan mengajaknya ke dalam.
Mereka pun menaiki setiap anak tangga hingga ke lantai dua. Kamar Myunghae terletak tepat di samping tangga. Myunghae pun memutar kenop pintu dan menyuruh Ara duduk di tempat tidurnya.
"Yak, apa kau masih tidak mau bicara, Ara-ya?" tanya Myunghae sambil menyodorkan segelas air pada Ara.
"A-aku bertengkar dengan Ana Eonni."
Myunghae pun menghela napas berat. "Kau boleh memakai kamarku sesukamu." Hanya kalimat itu yang bisa ia bagi pada Ara.
"Terima kasih, Eonni. Aku tahu kau selalu bisa memahamiku." Myunghae pun meraih Ara dalam pelukannya.
"Aku akan menyiapkan makanan untukmu. Aku tahu kau pasti lapar." Ara belum sempat menolak, Myunghae telah melepaskan pelukannya dan menaruh telunjuk di bibir ceri Ara. "Tidak ada penolakan!" Gadis itu pun meninggalkan Ara sendirian.
Ara mengulum senyum. Ia lalu merebah, memejamkan mata. Menikmati suasana hening dengan wangi jeruk dari seprei yang ditidurinya. Menenangkan. Seharusnya ia akan mudah jatuh terlelap, tetapi nyatanya hal itu tidak menjadi perkara mudah bagi Ara.
Ada tiga hal yang Ara benci di dunia ini; tidak bisa menangis saat perasaannya sesak, tidak bisa tidur disaat ia mengantuk, dan tidak bisa melupakan sesuatu yang seharusnya ia lupakan, traumanya, misalnya. Ia pun menikmati waktu yang dimilikinya saat ini. Jungho benar, mereka—ia dan Ana, hanya membutuhkan waktu untuk saling menyembuhkan.
♥♥♥
29 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro