Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Kecelakaan

Written by: Yamashita_Izumi
Edited by HafsahAzzahra09

***


Aroma antiseptik dan obat-obat menguar kuat. Ruangan berdinding putih ini jelas bukan kamarnya. Tirai dengan warna senada tersibak di tepi, membiarkan cahaya mentari masuk dengan leluasa. Ditambah dengan kepala berdenyut dan infus yang terpasang di punggung tangan, semakin menguatkan bahwa pagi ini ia memang bukan terbangun di kamarnya sendiri.

Pasien di kamar 101 RS. Moriyama, Tokyo, Jepang itu mengalami kecelakaan mobil tadi malam. Arata Hikaru memang gegabah ketika memilih melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikirannya yang kalut membuatnya tidak fokus hingga tidak menyadari keberadaan truk dari arah berlawanan, yang juga melaju kencang.

Ringisan Hikaru akhirnya membuat wanita yang lebih tua duduk di samping brankarnya menoleh. Ia terlihat lega karena lelaki itu akhrinya sadarkan diri. Tadi malam, Izumi sangat terkejut dan langsung bergegas menuju rumah sakit saat mendengar artis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri mengalami kecelakaan mobil. Kekhawatiran tak lepas dari hati sang menejer.

Ia pun segera memanggil dokter melalui sambungan yang ada di kamar rawat Hikaru. Lelaki itu ingin bangkit dari tidurnya, tetapi Izumi dengan sigap melarang. Sebenarnya, Hikaru tidak suka dianggap lemah dan terlalu diperhatikan. Namun, karena kepalanya kembali berdenyut, maka ia hanya bisa menuruti ucapan Izumi dan kembali telentang di kasur empuknya.

"Jangan keras kepala, orang tuamu sudah kuhubungi. Mereka masih terjebak di California karena cuaca buruk. Jadi, kau ha-"

Izumi menghentikan ucapannya. Ia tercengang kala melihat Hikaru terbelalak dan mulut lelaki itu menganga. Wanita berkacamata itu mengamati Hikaru dengan perasaan cemas, berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Hikaru berusaha mengatakan sesuatu, tetapi ia hanya menggerakkan mulut tanpa menghasilkan suara. Melihat kondisi Hikaru, Izumi semakin merasa khawatir. Ia pun segera berdiri dan bermaksud memanggil dokter dan perawat, karena tenaga medis belum juga sampai di kamar rawat Hikaru.

Tidak lama kemudian, Izumi kembali bersama seorang dokter dan perawat. Tenaga ahli pun segera mengecek keadaan Hikaru. Raut wajah wanita dalam balutan jas putih itu seketika berubah setelah selesai mengecek kondisi pasiennya. Begitu pula perawat yang berdiri di sebelahnya. Mereka saling bertukar tatap selama beberapa detik. Seolah keduanya bisa berkomunikasi hanya dengan saling memangdang seperti itu.

Perasaan Izumi semakin tak nyaman. Ia menggigit bibir dalamnya sambil menunggu dokter dan perawat buka suara mengenai kondisi Hikaru pasca kecelakaan. Melihat kekhawatiran yang terpancar di wajah Izumi, dokter pun mengajak wanita itu keluar dari kamar rawat inap Hikaru. Perawat pun membuntuti di belakang mereka.

Hikaru merasa ada yang tidak beres dengan tenggorokannya. Ia meraba-raba leher. Mencoba kembali bersuara. Nihil. Tak satu pun kata yang berhasil ia dengar dari suaranya sendiri. Hikaru menjadi sangat takut, sekarang.

Di luar ruangan Hikaru, Izumi terus merapal doa dalam hati. Kini hanya ada Izumi dan sang dokter. Perawat telah kembali untuk bertugas. Izumi masih belum melepas pandang dari manik hitam di hadapannya. Berharap hanya berita baik yang ia akan dengar. Ia benar-benar tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Hikaru. Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya sang dokter mulai bicara.

"Arata-san, dia mengalami laringitis, gangguan pita suara akibat trauma kecelakaan. Namun, saya belum bisa memastikan penyebab dari penyakit ini. Apakah hanya akibat kejadian tadi malam, atau ada faktor lain yang mempengaruhi pita suaranya sebelum kecelakaan itu terjadi. Arata-san harus mengikuti pemeriksaan lebih lanjut. Nanti saya beri rujukan ke dokter spesialis THT."

"Laringitis? Ta-tapi dia bisa sembuh, kan, Sensei?"

"Kita lihat perkembangan selanjutnya. Anda hanya perlu memberi dukungan untuk pasien. Itu sangat membantu pemulihannya." Dokter cantik itu pun pamit setelahnya karena pasien lain telah menunggu.

Izumi merasa kakinya melemas. Ia terlalu syok setelah mendengar vonis dokter. Wanita berbalut gaun biru itu memikirkan karir dan perasaan pemuda berdarah Jepang-Amerika. Hikaru pasti akan terpuruk jika mendengarnya.

Setelah menenangkan diri, Izumi pun kembali memasuki kamar Hikaru. Lelaki itu kini tengah memandangmya lekat-lekat. Meski ia sudah menyusun dugaan dalam kepalanya, tetapi Hikaru masih penasaran dan ingin mendengar langsung melalui Izumi, akan vonis dokter tentang penyakitnya. Izumi tidak tega. Ia kehilangan kata-katanya. Namun, wajah tertekan Hikaru seakan terus mendesaknya untuk bicara.

Setelah hening yang cukup menyiksa, Izumi pun mengatakan, "Kau mengalami gangguan pita suara, Hikaru-kun."

♥♥♥

"Eonni!"Ara memanggil Ana dengan manja.

Tanganya mengatur tas, sementara kakinya terus berjalan menuju kamar kakaknya. Gadis itu telah rapi dengan seragam SMA-nya, hanya saja rambutnya masih seperti singa. Sesampainya di kamar Ana, Ara melihat kakaknya yang berdiri di depan meja rias. Ana tampak serius menata rambut dengan sisir kesayangannya. Melakukan gerakan pelan dan lambat, persis seperti putri kerajaan.

"Eonni!"

"Apa sih, Bawel?" ketus Ana. Ia pun menoleh sekilas pada adiknya. Lalu kembali menekuni kegiatannya, menyisir rambut.

"Pinjam sisir! Mengapa Kakak begitu lama?" protes Ara. "Gantian!" Selesai mengatur isi tasnya, Ara meletakkan ranselnya di atas ranjang.

"Suka-suka aku. Memangnya, punyamu ke mana?"

"Patah."

"Kenapa?"

"Rambutku kusut."

"Memangnya kau tidak pernah mencuci rambutmu?" tanya Ana sambil membalik tubuh.

"Jelas mencuci!" sahut Ara mendongakkan dagunya, lalu berkata lirih. "Dua minggu yang lalu, sih."

"Menjijikkan! Tak akan kupinjamkan, huh!" seru Ana seraya kembali memandangi cermin dan kembali melakukan gerakan lambat dalam menyisir.

"Aku sobek, ah!"

"Araaaaaaaaaa!"

Seperti biasa, adu mulut si kembar selalu meramaikan suasana rumah sederhana di tengah kota Seoul. Keduanya saling baku hantam dengan alat yang bisa terjamah oleh tangan mereka. Ana mengambil botol minuman, berusaha memukul adiknya, sedangkan Ara mengambil kipas untuk menangkis serangan.

Ketika kipas terhempas, gadis bersurai pendek itu segera mengambil majalah di atas tumpukan koran. Ia menyerang balik kakaknya. Tentu saja diiringi oleh kicauan-kicauan dari mulut mereka.

"Appa!"

Perkelahian Ana dan Ara terhenti ketika mendengar Yongsu, memekik. Sosok yang menghilang satu bulan belakangan kini telah kembali. Pria paruh baya melempar senyum. Koper dalam genggaman ia letakkan di sampingnya. Pria itu lalu merentangkan tangan di ambang pintu ruang tamu. Dialah, sang kepala keluarga Kim.

Ketiga anaknya segera menghambur ke pelukan ayahnya. Pria tua yang berprofesi sebagai pemandu wisata itu baru saja pulang dari Indonesia. Wajar bila ia sering meninggalkan rumah.

Ana mencium wangi kopi tubruk khas Indonesia yang masih melekat pada kaos abu-abu sang ayah. Hal itu, mengingatkannya pada kopi Ogasawara yang pernah ia nikmati di negeri Sakura.

Memori Ana terlempar ke masa sekolah menengah pertama. Saat itu, ia ikut bersama ayahnya ke Jepang. Tuan Kim memandu wisata, sedangkan putri sulungnya melanjutan sekolah. Gadis pemberani itu sangat menikmati masa-masanya selama di Jepang. Terlebih kala itu, ada seseorang yang menjadi cinta pertamanya.

"Kalian mau sekolah, ya? Biar Ayah antar kalian," tawar lelaki setengah baya itu sambil melepas pelukan ketiga anaknya.

"Memangnya kau tidak lelah, Yeobo?"

Semua kompak menoleh ke arah datangnya suara. Sang ibu berdiri di sana masih dengan celemek di tubuhnya. Pandangan wanita itu sedikit sendu. Ia merindukan sang suami.

Lelaki tua itu hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapi pertanyaan istrinya. Baginya, kebersamaan dengan anak-anak adalah hal yang utama. Ia tidak memedulikan rasa lelah yang merayapi tubuh. Melihat senyum bahagia mereka membuat lelaki itu kembali bersemangat melakukan apa pun.

Nyonya Kim pun menyuruh seluruh anggota keluarganya menuju meja makan. Sarapan telah terhidang. Mereka harus bergegas makan pagi jika tidak ingin terlambat. Setelah sarapan bersama, sang ayah pun menyiapkan mobil. Ia tetap dengan niatnya, ingin mengantar ketiga anaknya ke sekolah.

♥♥♥

Izumi duduk berhadapan dengan dokter spesialis THT, Ryusei, di ruangannya. Keduanya diselimuti ketegangan. Dr. Ryusei mengamati berkas di tangan cukup lama.

Izumi merasa keheningan ini bisa mencekiknya. Namun, ia tidak memiliki pilihan selain bersabar menunggu analisa Dr. Ryusei. Wanita berkacamata itu gugup. Ia menunduk sambil menyembunyikan tangannya di bawah meja.

Banyak hal yang memenuhi pikirannya. Kondisi Hikaru, direktur yang kembali memarahinya, dan para wartawan yang terus mendesaknya untuk memberikan keterangan saat mendengar kecelakaan yang menimpa Hikaru.

"Jadi," ucap sang dokter mulai bicara. Izumi mengangkat wajah, menatap Dr. Ryusei tepat di manik matanya, "Arata-san, positif mengidap Laringitis level 3, yang artinya kondisi ini cukup parah."

Wanita itu tertegun. Lantas, dr. Ryusei kembali melanjutkan. "Laringitis yang diderita Arata-san, salah satunya akibat trauma kecelakaan. Namun, saya menemukan catatan medis sebelumnya, bahwa saudara Arata-san diam-diam sudah memeriksakan diri ke sini dengan dokter Tokai.

"Dia terlalu kelelahan berlatih vokal sehingga suaranya mulai serak. Sayang sekali, anak itu tidak rajin konsultasi, dan kejadian ini adalah puncaknya. Suaranya benar-benar menghilang."

"Apa ... tidak bisa disembuhkan? Apa suaranya tidak bisa kembali?" tanya Izumi dengan wajah yang begitu tegang.

Ia benar-benar tidak ingin hal buruk terjadi pada artis andalannya. Izumi khawatir ini akan mengganggu karir Hikaru. Suara adalah nyawa bagi seorang penyanyi. Di sisi lain, Izumi juga merasa iba. Di usianya yang masih sangat muda, Hikaru pasti tertekan dengan kejadian pahit yang menimpanya.

"Bisa. Kita bisa melakukan operasi, tapi ... peluangnya 50:50."

Setelahnya, tidak ada lagi obrolan yang ditukar oleh keduanya. Izumi keluar dari ruang dokter lalu bersandar di dinding. Ia masih syok dengan kalimat dr. Ryusei. Ternyata, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi, Hikaru memang sudah sering memeriksakan diri ke sini.

Ia memejam sambil mengatur napas. Izumi harus memliki pikiran yang jernih agar bisa mengambil keputusan bijak. Selain itu, ia juga bertanggung jawab untuk mendukung Hikaru. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan.

Setelah berusaha menetralkan perasaannya, Izumi pun melangkah menuju ruang rawat inap Hikaru. Melihat kedatangan Izumi, Hikaru terlihat panik. Tak seperti sebelumnya yang penasaran akan sesuatu, kali ini Hikaru yakin kalau Izumi sudah mengetahui hal yang selama ini ia sembunyikan. Lelaki yang gemar menyanyi itu pun mengalihkan wajah, memandang jendela di sampingnya.

Tatkala Izumi semakin mendekat, seperti seorang anak yang akan dimarahi ibunya, tangan kanan Hikaru mulai gemetar.

"Sepertinya, kau sudah tau apa yang akan aku katakan. Kenapa kau tak pernah menceritakannya padaku?" tanya Izumi dengan suara yang bergetar.

Hikaru sama sekali tak menoleh, ia menyimpan kesedihan dalam relung hati. Ia sangat membenci keadaan ini. Sesuatu yang mengganggu pikirannya belakangan ini terjadi juga. Hikaru sama sekali tak menyangka, ketakutan yang selama ini selalu menghantuinya kini menjadi nyata.

Sejak didiagnosa Laringitis beberapa bulan yang lalu, Hikaru tidak bisa menerima keadaannya. Ia berharap, penyakit yang dideritanya palsu. Hikaru yakin, bahwa dokter telah salah mendiagnosa.

Segala upaya telah dilakukan Hikaru agar kondisinya membaik. Banyak minum air putih dan vitamin, memakan buah dan sayur, hingga irit bicara. Namun, semuanya percuma karena ia tetap memiliki porsi latihan vokal yang menyita sebagian besar waktunya setiap hari.

"Dokter mengatakan, peluangmu ...." Izumi merasa tak tega mengatakannya. Namun, kalau bukan sekarang, kapan lagi lelaki itu akan mengetahui kondisinya yang sebenarnya. "50:50," lanjutnya.

Serasa ada puluhan anak panah menembus jantung Hikaru. Sakit. Patah. Kecewa. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya tanpa suaranya. Ini adalah mimpi dan masa depannya.

Kilasan bayangan semasa kecil bermunculan dalam benaknya. Hikaru telah mengoleksi banyak piala sejak kecil. Lelaki itu berangan-angan menjadi penyanyi kondang seperti Yamapi sejak dini. Namun kini, harapan itu tertiup angin, menghilang begitu saja. Pandangannya pun menerawang. Kosong. Sementara kepalanya mulai memikirkan satu-satunya jalan pintas untuk mengatasi beban berat yang besarang di pundaknya.

"Haruskah aku meninggalkan dunia ini?"

♥♥♥

Bel istirahat berbunyi di SMA Hanyoung, Seoul, Korea. Sebagian besar murid berhamburan menuju kantin. Beberapa ada yang menuju perpustakaan atau lapangan. Namun, ada juga yang lebih memilih berdiam di kelas.

Ana dan Ara yang masih asyik berkutat dengan ponselnya. Mereka sedang ketagihan membaca komik online yang sedang viral, Itaewon Class. Keduanya begitu tenggelam dalam alur dan tokoh-tokoh dalam komik itu. Meski Ana kurang suka membaca K-toon ketimbang adiknya, ia tetap membacanya karena cerita ini ditayangkan dalam televisi drama kesayangannya.

"Kak, tumben baca komik terus. Jangan-jangan, sudah tidak menjadi wibu, nih?"

Ana melirik tajam gadis berparas sama dengannya. "Enak saja. Yamazaki-san, Conan-kun, Taka-chan tetap ada di hatiku selamanya," ucap Ana sambil membayangkan ketampanan para idolanya. Senyuman pun turut menghias wajah cantiknya, cukup membuat orang di sekitarnya risih karena mereka tau isi delusi di pikiran gadis itu. Namun, Ana tampak tak peduli.

"Bangun, Kak! Sudah malam!" sahut Ara sambil menendang kaki Ana dengan wajah datar.

Ana memandang sinis pada sang adik. "Dasar, datar!"

"Terserah," kata Ara lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Begitu pun dengan Ana.

Namun sedetik kemudian, Ana menjadi rindu dengan berita terkini dari para artis Jepang. Ia pun membuka beranda Instagram, dan langsung menuju profil salah satu idolanya, Katayose Ryota. Jarinya mulai menggulirkan layar, tetapi setelah bemenit-menit berselancar di dunia maya, ia tak menemukan apa pun.

Tiba-tiba, aktivitas jempolnya menggulir layar ponsel terganggu oleh sebuah notifikasi live dari artis Shirota Yuu. Bagi Ana, ini aneh. Hari masih siang, dan artis kesayangannya itu sangat jarang melakukan siaran live di akun sosial medianya tersebut. Tapa membuang waktu, Ana pun segera menekan tombol live.

Shirota Yuu tidak sedang mengadakan live, di tempat syuting, restoran atau tempat-tempat santai yang biasa dikunjunginya. Namun, Yuu terlihat sedang menerobos kerumunan orang dan berhasil masuk dalam sebuah kamar. Bukan kamar biasa, tetapi kamar di sebuah rumah sakit. Kening Ana semakin mengerut dan ia semakin tertarik untuk menyaksikan acara live lelaki itu.

Yuu mengatakan, dalam bahasa Jepang tetapi dapat Ana pahami dengan jelas, agar fans menjenguk sahabat kecilnya. Ia pun merekam lelaki yang terbaring di ranjang. Hanya sebentar, kemudian pasien itu segera menutupi wajahnya dengan bantal. Namun, itu sudah bisa membuat Ana hampir menjatuhkan ponselnya. Ia tahu betul siapa yang ada dalam video itu.

"Eonni, kenapa?"

Ana masih syok lalu menoleh pada adiknya. Mulutnya menganga. Bulir bening mulai membasahi korneanya. Ara tidak sabar menunggu penjelasan kakaknya, ia pun meraih ponsel dari genggaman Ana. Gadis itu membaca komentar-komentar dalam live Instagram itu. Lantas menoleh, "Siapa itu Arata Hikaru?"

TBC

Note:

~appa = ayah

~yeobo = panggilan sayang untuk orang yang sudah menikah

~wibu = penggemar fanatik Jepang

~sensei = orang yang dihormati (dokter)

~chan, kun = panggilan akrab orang Jepang

Sekedar mengingatkan, semua chapter ganjil akan ditulis oleh Kak Izumi dan semua chapter genap akan ditulis oleh saya. Jadi, chapter ini diketik oleh Kak Izumi dan minggu depan, chapter 2 oleh saya.

Jangan lupa vote dan komennya plus doanya yaa, agar karya ini bisa selancar A Ra kalau ngomong. Kritik dan saran juga dipersilakan.

Terima kasih 😗😗😗

19 April 2020

Revisi 1: 11 Juli 2020

Revisi 2: 11 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro