00. Prolog
Written by Yamashita_Izumi
Edited by HafsahAzzahra09
***
Distrik Minato, Perfektur Tokyo, Jepang. Gemerlapan lampu-lampu menghiasi gedung pencakar langit di bawah cakrawala malam. Suara riuh masih terdengar, embusan angin dingin tak membuat jera banyak orang untuk berlalu lalang di pusat kota. Salah satunya, gedung Chiba's Entertaintment yang masih menyala terang.
"Dasar bodoh! Bisa-bisanya dia menerima anak bawang sepertimu!"
Terdengar sesuatu berbahan beling yang pecah.
"Ittai! Eunghh ...."
"Cukup! Sampai kapan kau sakiti Izumi-san? Kau benar-benar tak punya belas kasihan!"
Sebuah pertengkaran terjadi dalam sebuah ruang teratas gedung pencakar langit. Para staf tidak berani masuk ke tempat itu. Mereka hanya tertegun mendengar hardikan yang mencuat keluar, tanpa berniat menolong sedikit pun. Sebagian orang memilih pulang. Sisanya kembali dalam aktivitas seperti biasa, pura-pura tidak mendengar.
Namun, ada seorang lelaki bertubuh kurus, nekat mengintip dari celah pintu ruangan direktur yang terbuka. Pupilnya menangkap sosok pria paruh baya dalam setelan jas hitam sedang memarahi lelaki dan wanita muda berkacamata yang terduduk di lantai. Ada pecahan vas bunga yang berhamburan di sekitar wanita itu. Sementara, ada lelaki dan pria tua berdiri sambil berdebat di samping kiri kanannya.
"Lebih baik aku pergi! Ayo, Izumi-san," ajak si lelaki dalam balutan kaos hitam, lantas memapah wanita berambut hitam sebahu. Keduanya keluar dari ruangan paling mewah gedung agensi Chiba. Lelaki kurus tadi segera berlari menjauh agar tidak ketahuan mengintip.
"Kenapa kau kasar sekali dengan Direktur? Kau baru saja debut!" tegur Izumi yang merasa kejadian tadi sangatlah tidak benar.
Remaja delapan belas tahun itu menghela napas kasar. "Aku lelah. Dia selalu merendahkan kita. Mungkin lebih baik aku berhenti!" Suara frustasi lelaki itu membuat mata sipit Izumi membola.
"Jangan! Aku tak bisa menemukan penyanyi sebaik dirimu," cegahnya.
"Aku juga ingin bertahan, tapi dia keterlaluan."
Hikaru mengalihkan pandang sejenak. "Aku pamit dulu, kau pulanglah bersama Takasugi-san." Ia meninggalkan Izumi. Membiarkan manajernya pulang bersama lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya.
"Hikaru-kun!"
Lelaki dengan tinggi 176 cm itu tak menyahut suara yang memanggil namanya dan terus berjalan tanpa menoleh menuju lift.
Sedangkan, Izumi tak melakukan apa pun kecuali memandangi punggung Arata Hikaru, artis yang baru dua bulan lulus debut. Izumi yakin, di masa depan, karir artisnya itu bisa sangat cemerlang.
Wanita berumur dua puluh lima tahun itu memaklumi keadaan Hikaru. Sebagai manajer, ia berharap Hikaru mampu menghadapi dunianya yang mungkin saja mulai tidak bersahabat. Ini adalah titik yang tidak mudah bagi remaja seusianya.
Hikaru keluar dari gedung menuju halaman parkir. Netra hitamnya segera mencari Toyota Aqua biru kesayangannya. Langkahnya lebar dan cepat. Hati sedang tersulut api. Bayangan pertengkarannya dengan Direktur Hirose masih berputar di kepalanya. Ia senang usaha kerasnya untuk memasuki agensi ternama tidak sia-sia. Tak tanggung-tanggung, kini ia resmi menjadi penyanyi pendatang baru terbaik seperti impiannya sejak dulu.
Namun, Hikaru tidak menyukai perlakuan direkturnya yang semena-mena. Atasannya itu selalu merendahkan orang lain. Hirose tidak segan-segan membuat peraturan yang terlalu ketat. Membuat Hikaru seakan sulit bernapas. Sebagai seorang pelajar sekolah menengah akhir, hal ini tentu terasa berat. Ia harus membagi waktu antara belajar, berlatih vokal, fansign, jadwal promosi, dan lain sebagainya. Banyak sekali.
Hikaru memasukkan kunci mobil dan segera berkendara. Ia melajukan mobil dengan kecepatan 120 km/jam. Ia sudah tidak peduli dengan aturan lalu lintas. Hatinya telah dikuasai iblis. Lelaki di balik kemudi sengaja memacu adrenalin untuk menghibur diri dan menyembuhkan luka batin. Sudah lama ia tidak bermain kebut-kebutan di jalan.
Akibat terlalu kalut, Hikaru tidak fokus dalam menyetir. Kesadarannya kembali karena cahaya menyilaukan yang membuatnya spontan membanting setir ke kiri. Bunyi decit ban yang beradu aspal membuat lelaki itu merinding. Suara klakson yang begitu nyaring membuat Hikaru seolah tuli. Kepalanya berdentam hebat. Sakit sekali. Begitu cepat. Semuanya terjadi sangat cepat. Hikaru tidak sempat berpikir mengenai apa yang menimpanya. Seketika, pandangan menjadi buram hingga akhirnya gelap.
♥♥♥
Distrik Yangcheon-gu, Seoul, Korea. Sebuah rumah minimalis dua lantai dengan dinding yang didominasi warna krem dan abu-abu memberikan kesan hangat pun ceria. Gadis kembar berparas cantik sedang makan bersama keluarganya. Yang membedakan anak kembar identik keluarga Kim itu hanyalah model rambutnya. Kim Ana memiliki rambut lurus sepunggung. Sementara Kim Ara, adiknya, lebih nyaman dengan potongan bob di bawah telinga.
Sesekali, Ana menjahili Ara. Ia mengambil sannakji dari piring adiknya. Hal itu membuat Ara cemberut dalam hati dan mulai mengomeli kakak kembarnya.
"Yak! Dasar rakus! Kau tega dengan adikmu sendiri. Jika aku kelaparan, kau harus bertanggung jawab! Nanti aku buang poster OOR-mu," ucap Ara dengan kecepatan kereta.
"Jangan berani kau menyentuh! Awbls kffh smpsh mesenytushfa," sahut kaka kembarnya dengan mulut penuh sannakji.
"Dasar Kakak jorok!"
"Mmffhh!"
"Hei, diam kalian! Jangan banyak bicara saat makan," tegur sang ibu seraya mengambilkan sannakji lagi untuk Ara yang duduk di sebelah kanannya. Ia menggeleng melihat kelakuan kedua putrinya.
"Berita eksklusif hari ini, kami sampaikan dari Tokyo, Jepang. Seorang penyanyi pendatang baru mengalami kecelakaan mobil di jalan–"
"Yongsu-ya! Matikan TV-nya! Cepat makan sebelum makananmu dingin!" pekik sang ibu pada anak bungsu sekaligus putra satu-satunya di keluarga Kim.
Bocah lelaki itu sedang mendengar siaran berita. Mendengar teriakan sang ibu, ia pun bangkit dari posisi rebahannya dan mematikan TV di ruang tengah. Lantas ia ikut bergabung untuk makan bersama. Sedangkan, si kembar masih asyik bergelut sumpit di atas meja makan. Mereka tidak malu dengan ibu dan adiknya yang berusaha makan dengan elegan.
Setelah mereka selesai makan siang, Ana segera berganti pakaian ke kamarnya. Tiba-tiba, Ara melongokkan kepalanya di ambang pintu. "Mau ke mana kau?"
"Bukan urusanmu."
"Aku robek ini, lho!" ancam Ara seraya menunjuk poster Yamazaki Kento yang tertempel dekat pintu.
"Araaaaa!" pekik Ana sambil menyambar guling dan memukul sang adik. Tak butuh waktu lama, perang singkat langsung kembali terjadi tanpa aba-aba. Bahkan, mereka sampai berguling-guling hingga ke ruang tengah. Yongsu yang sedang bermain game online hanya menggeleng, terkesan tak peduli saat melihat rambut dua kakak kembarnya sudah seperti singa.
"Kim Ana! Kim Ara! Keluar kalian!"
Seketika dua saudari kembar itu menghentikan pertengkaran akibat leraian sang ibu. Ara cemberut dan mengeluh pada ibunya. "Eomma, jangan usir kami. Ini salah Kakak," ujarnya seraya melirik Ana.
"Salahmu, dasar adik durhaka!"
Pertikaian kembali terjadi. Tak segan-segan, sang ibu segera mengambil seember air dan hendak mengguyur keduanya. Sebelum itu terjadi, si kembar segera bangkit dan berlari keluar rumah. Meski sering ribut, keduanya tidak pernah serius dalam melakukannya. Tidak butuh waktu lama untuk kembali berbaikan dan saling melempar senyum tulus. Hingga, sang adik menyadari sesuatu.
"Eonni!" Ara memekik saat mendengar suara erangan dan barang yang pecah.
"Kalian tidak apa-apa?"
Seorang pria dewasa dengan postur tubuh lebih tinggi berhasil menyelamatkan Ana dan Ara dari pot yang jatuh dari tingkat dua. Jantung mereka masih berdegup kencang akibat kejadian barusan. Hal berbahaya akan terjadi jika pria tampan itu tidak segera menyelamatkan mereka. Ana memandang pot pecah di hadapannya. Lantas, ia mendongak ke atap gedung. "Mungkinkah, sesuatu buruk akan terjadi?"
♥♥♥
TBC
Note:
-ittai = aduh
san = panggilan sopan yang dilakukan orang Jepang
-sannakji = gurita hidup
-eomma = ibu
-eonni = kakak perempuan
😊Jangan lupa vote dan komennya yaa plus doa, agar karya ini bisa selancar Ara kalau ngomong. Kritik dan saran juga dipersilakan. Makasih.😊
15 April 2020
Revisi 1: 11 Juli 2020
Revisi 2: 10 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro