Pria Asing
Anjani
Wanita di hadapanku ini layaknya wanita paling bahagia di dunia. Sedari tadi senyum tak pernah pudar dari bibirnya, apalagi saat membicarakan si Jabang Bayi dalam kandungannya. Dia begitu antusias, membayangkan seperti apa nanti jika sudah lahir ke dunia.
Tubuhnya masih ramping, lekukan tubuhnya masih terlihat jelas, hanya saja dengan perut yang buncit. Tidak terlalu besar sebetulnya, untuk usia kandungan dua puluh minggu volume perutnya terbilang kecil. Berbeda denganku yang terlihat lebih besar, padahal usia kandungan kami hanya selisih dua minggu.
"Aku nggak sabar nunggu dia lahir," ucapnya dengan bersemangat.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku pun tak sabar. Aku ingin segera memeluknya, mendekapnya, menjadi temanku setiap malam. Aku tak perlu lagi menghabiskan malam-malam sepi seorang diri. Akan ada suara tangisnya yang membahana di tengah malam. Akan ada suara tawanya yang menghiasi sepanjang siang.
Ah, apa aku benar-benar siap? Menjadi ibu sekaligus ayah untuk dia. Membesarkan, merawat dan mendidiknya seorang diri. Berjuang bersamanya di dunia yang keras ini. Bisakah aku?
"Hari ini jadwal kita periksa. Mau bareng?"
"Hmm, boleh. Aku langsung berangkat dari sini setelah kerja."
Dania mengangguk, rambut lembutnya otomatis mengikuti gerakan kepala. Aku berpikir, Dania benar-benar wanita beruntung. Dia memiliki apa pun yang tidak aku miliki. Ada seorang suami yang mencintainya, menyayanginya. Tempat berbagi keluh kesah, tempat bersandar dikala lelah. Tidak harus mengandalkan diri sendiri untuk hidup. Tidak ada penopang yang akan membantuku melangkah saat kaki ini mulai lelah.
Entah kenapa, setiap bertemu dengan Dania aku selalu membandingkan hidupku dengan hidupnya. Bukan soal harta yang bergelimangan tapi soal cinta kasih seseorang untuknya. Aku iri--sangat iri. Aku ingin merasakan berada di posisinya. Sekali lagi, bukan hartanya yang membuatku iri. Bagiku harta tak lebih dari aksesoris dunia yang fana. Bisa hilang hanya dalam hitungan detik dan bisa muncul dari arah yang tak terduga. Harta bisa dicari, tapi mencari orang yang tulus mencintai tanpa pandang bulu sulit untuk ditemukan.
"Eh, liat deh di sana." Dania menunjuk ke arah seorang pria yang sedang menangis hebat di pojok cafe two thumbs dengan Andri yang sedang berusaha menenangkan pria itu. "Kenapa, sih?"
"Patah hati."
"Sampe segitunya. Kan, bisa cari yang lain." Dania berdecak sambil menggelengkan kepala.
"Dia udah cinta mati. Sayangnya, pacarnya lebih milih istrinya dibanding dia."
"Eh, istri?" Dania terbelalak, kembali memandang pria di pojokan sana, menilik lebih jelas lagi. "Dia cowok, kan?"
"Hmm," gumamku sambil mengangguk.
"Trus, pacarnya lebih milih istri? Jadi dia..."
"Sttt, jangan keras-keras." Aku memotong perkataannya yang mulai histeris. Matanya semakin terbuka lebar.
"Dia ... gay?" bisiknya sambil mendekat ke arahku. Aku mengangguk.
Dania tak bisa berkata apa pun. Hanya memandang Yana yang masih menangis ditemani oleh Andri. Dia terlihat risih, apalagi banyak pengunjung yang mencuri pandang ke arah mereka. Berkali-kali Andri menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung, harus berbuat apa supaya Yana bisa berhenti menangis dan menjadi pusat perhatian di cafenya sendiri.
"Andri normal, kan?" tanya Dania mencondongkan tubuhnya untuk berbisik.
"Dia normal. Aku jamin seratus persen, dia masih suka cewek." Aku terkikik geli dengan kecurigaan Dania yang mengira Andri sesama 'kaum bengkok' seperti Yana.
Dania mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu mencolek lenganku untuk memberitahukan bahwa Andri sedang meminta pertolongan. Aku menoleh ke arah Andri, dari gerak bibirnya aku tahu dia mengatakan kata "gimana?" Andri bingung sendiri dengan temannya yang satu itu. Aku mengangkat kedua bahu sambil meraih cangkir teh dan menyeruputnya.
Andri mendesah pasrah, dibalas oleh kikikan Dania yang mengacungkan telunjuknya ke atas membuat gelombang beberapa kali sambil berkata, "kasian, deh lo."
Semenjak Dania sering mampir kemari untuk sekadar mengobrol denganku, sejak saat itu juga Andri dekat dengannya. Lelaki itu berkata, siapapun yang menjadi temanku harus menjadi temannya juga. Maka dari itu, Andri menyambut baik kedatangan Dania bahkan mengultimatum para karyawannya agar memprioritaskan Dania dibanding pelanggan lain.
Dania sendiri keberatan sebetulnya, karena menurutnya apa yang dilakukan Andri itu berlebihan. Tidak seharusnya lelaki itu memperlakukannya bak pelanggan premium yang harus dinomor satukan.
***
Dania menungguku di dalam mobil putih di pelataran parkir. Aku segera masuk ke dalam, menghindar dari rintik hujan yang kembali turun. Jujur, aku ingin menikmati rintik hujan meski hanya sesaat tapi waktu tak memungkinkanku untuk melakukannya. Kami harus segera pergi ke klinik Dokter Charllene memeriksakan kandungan.
Aku tidak sabar mendengar penjelasan yang diberikan Dokter Charllene mengenai kondisinya di dalam sana. Sepanjang jalan aku terus memeluknya, mengusap lembut sambil berbicara di dalam hati bahwa aku menyayanginya dan berdoa agar dia tumbuh sehat, sempurna tanpa kekurangan suatu apa pun.
"Dari awal kita ketemu ada satu pertanyaan yang pengen banget aku ajuin, tapi aku takut nyinggung kamu," ucap Dania, matanya sesekali melirik ke arahku sambil fokus menyetir.
"Tanya apa?" tanyaku penasaran.
"Jangan tersinggung, ya." Dania terlihat ragu dan takut. "Eh, nggak jadi nanya, deh."
"Tanya aja, nggak apa-apa kok."
Entah pertanyaan macam apa hingga membuat Dania yang biasa blak-blakan menjadi gugup seperti itu. Aku melihatnya menggigit bibir bawah, pertanda keraguan meliputi hatinya. Aku semakin penasaran, pertanyaan apa yang ingin dia utarakan.
"Kamu nggak pernah cerita tentang ... nggg."
"Tentang?"
"Suamimu," ucapnya sambil mengembuskan napas, lalu melirik diam-diam ke arahku. "Aku tahu itu privasi, aku cuma penasaran aja. Sorry."
Aku tersenyum mengerti. Memalingkan wajah ke arah jendela yang berembun. Hujan di luar tidak sederas kemarin, tapi dinginnya tetap sama. Embun yang menempel di jendela memantulkan cahaya dari lampu kendaraan. Membentuk warna oranye dan merah yang indah.
Di sampingku Dania duduk dengan gelisah. Mungkin ada rasa tidak enak karena pertanyaannya. Namun, sungguh. Aku sedang tidak ingin membahasnya. Siapa suamiku? Bahkan menikah pun aku belum pernah. Yang pasti, anak ini memiliki seorang ayah yang jelas. Terlepas dari apa pun rasa yang dimiliki lelaki itu.
Mobil berhenti di pelataran parkir klinik Sehat Sejahtera. Kalau Dania tidak menyentuh lenganku, mungkin aku tidak akan sadar kalau kami sudah sampai. Sebelum turun Dania menahanku.
"Sorry, aku nggak maksud buat nyinggung kamu tadi."
"Its oke." Aku tersenyum berharap akan mengurangi kecanggungan Dania. "Nggak ada yang salah sama pertanyaannya, cuma buat kali ini aku nggak mau bahas."
Dania mengangguk, wajah penyesalan terlihat jelas. Alisnya bertaut di wajah cantiknya. "Yuk!" ajakku lalu keluar dari mobil diikuti oleh Dania.
Aku menggandeng tangannya dan dia membalas dengan senyuman. Sepertinya sikapku mampu mencairkan suasana yang sempat canggung beberapa menit lalu. Dania kembali ceria dengan mengutarakan perasaannya yang tidak sabar untuk bertemu Dokter Charllene.
***
Dania sudah masuk ke dalam ruangan Dokter Charllene terlebih dahulu. Sementara aku menunggu di depan ruangan praktek bersama ibu-ibu lain. Aku duduk di ujung bangku panjang baris ketiga. Ini spot favoritku, karena dari sini aku bisa leluasa memperhatikan pasien lain yang sedang menunggu giliran juga perawat yang hilir mudik.
Perhatianku tertuju pada pasangan di bangku kedua. Mereka duduk di tengah bangku dengan posisi lelaki yang duduk menyamping menghadap wanitanya. Mereka asyik mengobrol dengan tawa disela obrolan. Sikap lelaki itu tidak romantis, malah dengan entengnya dia menarik ujung rambut wanita itu dan mendapat balasan berupa tepukan keras di lengan. Tapi, pancaran cinta terpampang nyata di binar mata lelaki itu.
Aku tersenyum sendiri. Merasa diperhatikan, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arahku yang sedang tersenyum. Karena posisi lelaki itu berhadapan denganku maka dia dengan mudah menatapku. Tepatnya, memergokiku yang sedang menatap kebersamaan mereka. Aku tertunduk canggung lalu mengalihkan perhatian pada sepasang suami istri. Si istri menggendong anaknya yang masih bayi dengan suaminya duduk di samping. Pandangannya tak lepas memperhatikan si kecil dalam gendongan istri tercinta. Sambil sesekali mengusap sayang pipi bayi itu.
Dania keluar dengan wajah semringah, berjalan menghampiriku lalu duduk di samping. Memasukan beberapa vitamin yang diberikan ke dalam tas sebelum dia berbicara. Menceritakan perkembangan janinnya yang tumbuh dengan sehat. Aku turut senang mendengarnya, semoga anakku pun tumbuh dengan sehat.
"Anjani Divyanka!" teriak seorang suster dengan pandangan mata berkeliling. Lalu tersenyum ketika melihatku berdiri.
Tak sengaja aku memandang ke arah lelaki yang duduk di bangku kedua. Dia menatapku, menelusuri dari kepala sampai ujung kaki. Entah apa maksud tatapannya, apa dia mengenalku? Pernah bertemu di tempat Rony, mungkin. Entahlah.
Aku mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan oleh si empunya ruangan. Dokter Charllene tersenyum lebar menyambut kedatanganku, kemudian berdiri untuk bersalaman. Menanyai kabarku lalu mempersilakanku berbaring di ranjang periksa.
"Ada keluhan?" tanya Dokter Charllene sambil mempersiapkan alat USG di dekat ranjang periksa.
"Nggak ada, Dok."
Dia tersenyum, meminta izin untuk menyingkap blouse yang kupakai ke atas perut. Kemudian mengoleskan sejenis gel sebelum meletakan fetal doppler -alat dengar detak jantung- di bagian bawah perut. Suara gemuruh terdengar, Dokter Charllene mengubah posisi alat mencari frekuensi yang tepat dan terdengarlah. Detak jantung yang begitu kuat menggema di seisi ruangan. Aku tak bisa membendung rasa bahagia. Begitu kencang, begitu kuat dan aku begitu bahagia.
"Detaknya bagus, kuat, sehat," jelas Dokter Charllene ikut tersenyum melihat binar di mataku.
Tangannya berpindah pada alat USG. Dokter Charllene menunjuk ke arah layar, aku melihatnya. Dia, anakku yang sedanh bertumbuh dalam rahimku. Bentuk tubuhnya belum sempurna, meringkuk dengan tangan dan kaki yang super mungil.
"Ukurannya sudah sebesar genggaman tangan," jelasnya membaca petunjuk di layar monitor.
Aku tak berkedip menatap dia pada layar sebesar rnam belas Inci. Dokter Charllene menyodokan kertas foto hasil cetak dia yang meringkuk. Aku semakin tidak sabar bertemu dengannya.
"Semuanya bagus, tumbuh kembangnya sesuai usia," lanjut Dokter Charllene sambil mengelap bekas gel di permukaan perut.
Aku bangkit saat Dokter muda itu selesai membersihkan dan mengikutinya duduk di kursi depan meja. Dia mencatat sesuatu, resep vitamin yang harus aku konsumsi demi kesehatan dia di dalam sana. Handphone Dokter itu berbunyi nyaring dari dalam tas hitam yang terletak di sisi meja. Dokter Charllene mengangguk meminta izin mengangkat telepon.
"Halo, Bu?" sapanya pada si penelpon. "Rafael kenapa?" Raut wajahnya berubah pucat. Namun, sebisa mungkin dia mengendalikan emosi. Bersikap setenang mungkin.
"Oke, aku ke sana sekarang." Dia lalu menutup telepon, memejamkan mata sejenak sambil mengembuskan napas perlahan.
"Wejangan saya masih sama seperti kemarin. Jaga pola makan dan istirahat yang cukup. Jangan lupa mengonsumsi vitamin sebagai penunjang tumbuh kembang janin." Dia memaksakan tersenyum demi kesopanan.
Aku segera beranjak keluar setelah menjabat tangannya berterima kasih. Aku tidak ingin menganggu Dokter Charllene lebih lama lagi, karena begitu terlihat jelas dia sedang terburu-buru. Terbukti, aku baru keluar beberapa langkah, Dokter Charllene ikut keluar mengetuk ruangan Dokter Daniel lalu masuk.
"Udah? Gimana?" sambut Dania yang duduk di bangku barisan paling depan.
Aku memperlihatkan foto USG pada Dania yang begitu antusias menyambar kertas di tanganku. Dia pun melakukan hal yang sama, memperlihatkan hasil USG janinnya padaku lalu kami berdua tersenyum kegirangan.
Dia adalah anugerah terindah dari Tuhan. Sumber kebahagiaanku. Teman seumur hidupku.
Sebelum melangkah pergi, mataku kembali menyelidik ke arah pria tadi. Dia masih saja memandangiku tak berkedip. Menyelisik, seolah berusaha mengenaliku. Siapa dia?
***
Siapa dia hayo? Ada yang bisa nebak siapa cowok yang liat Anjani sampe segitunya?
Hohohooo...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro