Pesona Sang Diva
Kevin
Aku terbangun ketika bunyi kokok ayam virtual memenuhi gendang telinga. Dengan mata yang masih terpejam aku meraba nakas, mencari benda pipih sumber suara itu lalu mematikannya dan kembali tidur. Tanganku meraba ranjang di sampingku, mencari tubuh yang semalaman memberi kehangatan untukku. Mataku terbuka, saat tangan tak bisa menggapai tubuh yang kucari. Nyatanya, mataku pun tak bisa menangkap keberadaannya.
Apa dia sudah bangun?
Aku terbangun dan bangkit seketika. Sejenak aku limbung, terduduk kembali di ranjang. Kupejamkan mata sesaat sebelum bangkit berdiri mencarinya. Tempat pertama yang aku lihat adalah kamar mandi, bisa saja dia sedang di toilet. Namun, dia tak ada. Pencarianku berlanjut menuju dapur dan ruang tamu. Tak ada juga.
Kemana dia?
Aku kembali kekamar, pakaiannya sudah tidak ada meninggalkan celana boxer yang semalam dia pakai. Aku mengambil handphone mencoba menghubunginya. Tidak ada jawaban. Aku mencoba berkali-kali menghubunginya, hasilnya tetap sama.
Sungguh, kepergiannya membuatku khawatir. Apalagi dia tidak menjawab teleponnya. Aku takut terjadi apa-apa padanya. Mau mencarinya, aku tak tahu harus mencari kemana. Dia tak pernah mau memberitahukan alamatnya padaku.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dan aku harus bersiap untuk ke kantor. Aku tak pernah berlama-lama di kamar mandi. Cukup membersihkan badan dari rambut sampai kaki, selesai. Aku memilih kemeja biru tua, celana katun hitam dan dasi hitam bermotif garis melintang dengan jas hitam. Memasukkan beberapa berkas design bangunan ke dalam tas.
Bekerja sebagai arsitek memang tak mudah, tapi aku menyukainya. Menggambar adalah hobiku dan kini tersalurkan sebagai pekerjaan yang menghasilkan rupiah. Meski terkadang, pekerjaan ini sulit aku jalani ketika bertemu klien yang rewel. Ingin ini, ingin itu, minta ini, minta itu.
Aku sudah siap, saatnya berangkat. Kakiku hendak melangkah saat sudut mataku melihat kilauan di bawah ranjang. Terbawa rasa penasaran, aku mendekati benda itu. Sebuah jam tangan berhias batu-batu berwarna baby pink. Ini pasti miliknya. Tanpa pikir panjang, aku memasukkan jam itu ke dalam tas. Akan aku berikan jika bertemu dengannya hari ini.
***
Melawan padatnya arus lalu lintas di jalanan Ibu Kota menjadi tantangan tersendiri. Harus ekstra sabar menghadapi orang-orang yang tidak sabar. Harus ekstra menahan emosi menghadapi manusia penuh emosi.
Menghabiskan waktu lebih dari satu jam di jalan saja sudah cukup menguras tenaga. Terkadang sampai stres menghadapi kemacetan yang semakin parah dari hari ke hari. Kendaraan saling serobot tak ada yang mau mengalah. Mobil, motor saling mendahului mengejar waktu untuk sampai ke kantor.
Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang seenaknya menyerobot kendaraan lain demi sampai ke kantor tepat waktu. Kenapa tidak berangkat lebih awal agar bisa santai di jalan dan tidak terlambat? Terlambat lima menit saja uring-uringan dan menyalahkan jalanan macet. Padahal, jalanan Ibu Kota memang selalu macet. Kecuali, malam hari saat semua orang sedang lelap tertidur juga pada hari Raya. Sebagian penghuni Jakarta angkat kaki dari tanah metropolitan untuk bertemu sanak saudara di kampung halaman.
Kota ini seperti lahan bisnis terbuka untuk sebagian warga negara. Tiap tahun warga pendatang semakin bertambah, bertambah macet pulalah Jakarta, dan bertambah keras kehidupan di Ibu Kota.
Aku sendiri pun bukan asli warga kota ini. Aku pendatang, sama seperti ribuan orang yang hidup di tanah Jakarta. Mengadu nasib, berharap akan mengubah taraf hidup menjadi lebih baik. Untuk sebagian orang, mereka berhasil mengubah hidup. Aku contohnya. Aku bukan anak yang dilahirkan dengan sendok perak di mulut. Orangtuaku seorang pedagang yang mengelola sebuah toko grosir.
Berkat doa mereka, aku hijrah ke Ibu Kota dan berhasil menghidupi diriku sendiri di sini. Sudah hampir delapan tahun sejak pertama aku menginjakkan kaki di sini dan selama itu pula aku sudah mencecap pahit manis kerasnya hidup di kota metropolitan.
Apalagi soal wanita. Aku sudah fasih betul mengenai yang satu itu. Ya, berterima kasihlah pada wajah tampanku. Darah kakek buyut yang seorang keturunan Belanda mengalir di tubuhku. Aku mewarisi gen kakek, menjadikan warna kulitku putih bersih dengan manik cokelat terang dan rambut kecokelatan.
Penampilanku menjadi daya tarik tersendiri. Tidak sedikit wanita yang rela membuang rasa malunya demi merayuku. Dari mata mereka saat menatapku, aku tahu kalau mereka tak bisa menghindar dari pesona seorang Kevin Nathanio.
Termasuk wanita yang sedang berlari kecil ke arahku dengan senyum mengembang. Rambut hasil salon ternama yang dibiarkan terurai bergoyang mengkuti langkah kakinya. Ketukan heels mahal terdengar semakin kencang seiring semakin dekatnya dia padaku. Wanita itu selalu menungguku di lobi kantor.
"Kevin, udah sarapan?" tanyanya dengan nada suara yang dibuat semanja mungkin sambil memeluk lenganku.
"Belum," jawabku singkat, tak terlalu menanggapinya.
"Kalau gitu, kita sarapan dulu."
"Nanti saja, aku banyak kerjaan." Aku melepas pelukan tangannya di lenganku, risih dengan sikapnya.
Dia merajuk dengan memajukan bibirnya dan berjalan agak menghentak kaki. Aku tidak peduli, aku terus saja berjalan menuju lift, menekan tombol lima di mana ruanganku berada. Dia mengikuti, meski masih merajuk.
Dia Veronika, anak atasanku. Wanita yang cantik dan berpendidikan tinggi. Modis, fashionable dan selalu tampil bergaya. Namun, entah kenapa aku tidak menyukainya. Sifatnya terlalu manja, terlalu kekanakan dan keras kepala. Dia juga terlalu mengaturku. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus begini, harus begitu. Sayangnya, aku bukan tipe lelaki penurut yang bisa dia atur seenaknya.
Meskipun aku sudah bersikap dingin padanya, dia tetap saja mendekatiku. Bahkan gilanya lagi, dia memproklamirkan diri sebagai tunanganku. Hah? Menjalin hubungan saja tidak, bagaimana bisa jadi tunangan. Dan yang lebih membuatku stres, Pak Bagja -ayahnya sekaligus atasanku- menaikkan jabatan sebagai cara merayuku agar menerima cinta putrinya. Mana bisa begitu?
Padahal dengan kemampuanku sendiri pun aku bisa menduduki jabatanku sekarang, meski harus melalui proses yang tidak mudah. Tapi aku bisa, tidak dengan cara instan begini. Untung saja keahlianku sesuai dengan kursi yang duduki, bayangkan kalau aku tidak bisa apa pun. Bisa jadi kacau perusahaan ini, memiliki manager tidak becus.
***
Diva : Aku baik-baik aja. Maaf, aku pulang tanpa sepengetahuanmu.
Aku mendesah lega membaca pesan singkat darinya, setelah seharian aku dibuat kelimpungan memikirkannya. Aku mengetik pesan balasan, mengajaknya bertemu nanti malam. Satu menit, lima menit, sepuluh menit hingga satu jam aku menunggu pesan balasan dan dia tidak membalasnya. Aku mencoba meneleponnya, sama seperti sebelumnya, dia tidak mengangkat telepon dariku. Seakan tidak peduli berapa puluh kali aku mencoba menghubunginya, dia tetap mengabaikanku.
Kevin Nathanio : Kamu marah?
Sama seperti tadi, hingga menit-menit berlalu tak ada balasan apa pun. Padahal aku tahu, dia sudah membaca pesan singkat dariku. Namun, entah ada apa dengannya hingga tak mau menerima telepon dariku atau sekadar ber-chatting ria.
Aku menyimpan handphone, mengalihkan pikiran pada sketsa gambar di hadapanku. Berpikir tentang design seperti apa yang kira-kira akan disukai kostumer. Aku membuat garis-garis melintang dengan bantuan penggaris panjang. Menyusun garis demi garis hingga membentuk sebuah pola bangunan.
Namun, alih-alih membayangkan bentuk bangunan malah wajahnya yang tercetak dalam otakku. Mengingat setiap sentuhannya, wajah manis dengan bibir tersenyum simpul. Rambut hitam yang sering diikat tinggi di atas kepala. Aroma vanila yang menggiurkan.
Ah!
Aku menggeleng keras. Ini saatnya bekerja, bukan untuk membayangkannya. Tapi begitulah, wajahnya selalu membayangiku. Dia seperti hantu yang bisa muncul di mana saja. Selama otakku bekerja, bayangnya tak pernah luput dari ingatanku.
***
Kevin Nathanio : Kamu di mana? Aku udah di tempat biasa.
Kevin Nathanio : Diva?
Kevin Nathanio : Datanglah kemari.
Entah sudah berapa banyak pesan yang aku kirim sejak dua jam yang lalu. Telepon pun tidak diangkat. Apa dia marah? Kenapa? Atau jangan-jangan, dia sedang bersama pria lain? Dia bosan denganku? Atau, apa sakitnya semakin parah?
Kevin Nathanio : Apa sakitmu semakin parah?
Kevin Nathanio : Kamu baik-baik aja, kan?
Lagi. Tak ada jawaban setelah bermenit-menit dalam ingar bingar musik remix yang membahana. Setelah menghabiskan setengah bungkus rokok dan beberapa gelas minuman, aku memutuskan untuk pulang. Sudah lewat tengah malam dan besok ada rapat yang harus aku hadiri.
Malam ini berlalu begitu saja dalam kehampaan. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku tidak terlalu mengerti soal perasaan. Yang aku tahu, aku hanya ingin bertemu dengannya. Tak masalah, jika untuk bersamanya aku harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Toh, uang bisa dicari tapi wanita seperti dia susah didapat.
Mungkin banyak yang berprofesi sepertinya. Namun, wanita dengan kepribadian menarik seperti itu sangat langka. Selama berbulan-bulan aku melewati malam bersamanya, dia sama sekali tak pernah menggodaku. Anehnya, justru aku yang tergoda dengannya.
Dia cenderung pendiam, berbicara seadanya dan yang aku sukai dari dia ialah tatapannya. Teduh, tapi seperti menyimpan kepedihan. Tenang tapi menghanyutkan. Hingga aku tertarik, jatuh, tenggelam begitu jauh dalam manik hitam yang seakan tak bertepi.
Kehadirannya seakan menjadi warna baru dalam hidupku. Seandainya dia mau kuajak hidup bersama.
Seandainya.
***
Sama seperti cerita sebelumnya yang menggunakan POV 1, di cerita ini pun aku memakai sudut pandang orang pertama dari dua tokoh.
Tujuannya, biar bisa lebih menggali perasaan masing-masing tokoh.
Semoga suka, ya!
Terima kasih udah mampir. Mau komen? Boleh kok. Kalo ada yang kurang sreg, typo atau kalau ada cacat logika. Ingatkan aku.
Apalagi kalo mau vote, waaahh makasih banget loh 😉😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro