Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dunia Yang Sempit

Anjani

Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari dan aku sudah terengah di tengah dinginnya udara malam yang menusuk. Angin dingin membawa sisa-sisa hujan. Kupercepat langkahku di lobi apartemen mewah di samping two thumbs. Menekan tombol lift berkali-kali agar segera terbuka.

Tiga puluh menit yang lalu Dania menelepon. Suaranya terdengar lemah seakan menahan sakit yang teramat sangat sambil berkata 'tolong aku'. Diliputi rasa khawatir, tanpa berpikir lagi aku bergegas kemari, takut terjadi sesuatu pada Dania. Apa dia terjatuh? Atau ada hal lain yang terjadi padanya. Semoga dia baik-baik saja.

Pintu lift terbuka di lantai lima belas, bergegas aku mencari nomor 169--kamar apartemen milik Dania. Lalu memasukkan sandi yang sudah Dania sebut tadi di telepon. Aku berusaha mengingat urutan enam angka dalam otakku. Akhirnya pintu berhasil terbuka setelah percobaan ketiga.

Aku masuk dan terpana melihat ruang tamu yang berisi benda-benda berkilau. Sebagian terbuat dari kristal dan perak. Sofa beledu berwarna merah dengan meja rendah terbuat dari jati. Aku tidak tahu persis berapa harga barang-barang ini, yang pasti aku tidak akan sanggup untuk membelinya.

Aku segera ingat tujuanku kemari bukan untuk mengagumi kemewahan di ruangan ini. Aku segera mencari keberadaan Dania. Masuk dari ruangan satu ke ruangan lain dan terperangah ketika masuk ke dalam sebuah kamar yang berbanding terbalik dengan ruang tamu.

Aku menyalakan lampu dan kondisi kamar ini semakin jelas terlihat. Amburadul dengan barang-barang yang bertebaran di penjuru ruangan. Sprei tergulung jatuh ke lantai. Bantal-bantal pun turut terlempar jauh dari ranjang. Begitu kacau balau, seolah badai baru saja menghantam kamar ini.

"Dania?" Aku melangkah masuk sambil awas melihat ke sekeliling. Tak habis pikir, apa yang terjadi hingga membuat kamar ini hancur?

"Dania?" Aku terkesiap melihatnya terbaring di lantai di sisi ranjang dengan kondisi setengah telanjang. Berbuntal selimut tipis yang membungkus sebagian tubuhnya yang menggigil. Luka lebam terlihat di beberapa bagian tubuhnya.

"Dania?" Kembali aku memanggilnya. Menepuk-nepuk pelan pipi Dania yang tidak sadarkan diri. Darah kering menempel di ujung bibirnya yang terluka.

Ya, Tuhan Dania. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada orang jahat yang memperkosanya?

Ujung mataku menangkap warna merah di ujung selimut bagian bawah. Kutelusuri dari mana asalnya darah itu. Aku tercekat ketika tahu darah segar itu berasal dari kewanitaannya. Dia mengalami pendarahan. Aku segera menelepon ambulans. Berkali-kali berkata pada petugas agar segera datang kemari untuk menolong Dania.

Dania, semoga dia baik-baik saja.

***

Hingga pukul tujuh pagi, Dania belum sadarkan diri. Untung saja menurut dokter jaga yang memeriksa kondisi Dania mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun tidak ada masalah. Pendarahan yang terjadi tidak terlalu fatal hingga memicu abortus. Dokter itu menyarankan agar melakukan pemeriksaan ulang oleh Dokter Charllene.

Aku duduk di kursi tunggu depan ruang rawat inap menunggu kedatangan Dokter Charllene. Kurang tidur juga akibat rasa cemas berlebih dengan keadaan Dania membuat tubuhku lelah. Tiba-tiba aku teringat ucapan dokter jaga tadi. Dengan wajah serius dokter muda itu berkata, "pendarahan yang dialami Nyonya Dania akibat trauma seks yang berat. Kekerasan seksual yang menimpanya cukup serius."

Kekerasan seksual? Siapa yang tega melakukan? Apa ada pencuri masuk?

Tidak mungkin. Keamanan di apartemen itu cukup ketat. Apalagi pintu apartemen dilengkapi dengan kode pin yang tidak sembarangan orang tahu. Tidak mungkin juga pencuri itu menyelinap dari balkon. Kamar apartemen Dania terletak di lantai lima belas, siapa pencuri yang nekat memanjat gedung setinggi itu? Atau, pencuri itu berpura-pura menjadi tamu kemudian menyekap Dania dan memperkosanya?

Tapi, melihat ruangan tamu masih terlihat bersih dan rapi tanpa ada benda apa pun yang terjatuh. Rasanya juga tidak mungkin. Dalam kondisi terdesak, Dania pasti akan melakukan segala cara untuk melindungi diri. Salah satunya melempar benda-benda yang dekat dengan jangkauannya. Hanya kamar tidur saja yang terlihat kacau balau dengan barang-barang berhamburan.

Apa suami Dania pelakunya?

Aku menggeleng cepat. Menyingkirkan pemikiran itu dari kepalaku. Tidak mungkin, suami yang begitu dipuja-puja oleh Dania melakukan hal mengerikan seperti itu. Lalu, siapa? Kenapa? Ada apa?

Ah, kepalaku pusing sendiri memikirkan siapa pelaku kekerasan itu.

Sebuah suara menginterupsiku dari lamunan tentang menebak apa yang terjadi pada Dania. Otomatis kepalaku menoleh ke arah sumber suara.

"Nggak bisa, Yana. Aku lagi anter Syara check up." Seorang pria berdiri di ujung lorong sambil menerima telepon. Dia berusaha mengeluarkan suara sepelan mungkin dengan setengah berbisik. Pria itu berbalik membelakangiku ketika tatapan kami beradu pandang. Wajahnya terlihat gelisah.

"Kita udah berakhir. Aku nggak mau ngelanjutin hubungan itu lagi. Aku kapok, Yan. Aku cinta Syara dan aku nggak mau kehilangan dia," ujar pria itu berusaha mengecilkan suara. Dari nadanya dia begitu emosi, seolah amarah, penyesalan dan kesedihan bersatu di sana.

"Carilah perempuan, Yana. Di luar sana pasti ada perempuan yang bakal nerima kamu. Seperti aku yang akhirnya bertemu dengan Syara."

Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Yana? Tapi, di mana?

"Aku sudah taubat, Yan. Aku ingin menjalani hidup di jalan yang benar. Sebentar lagi aku akan jadi ayah, aku nggak bisa mengajari anakku kalau aku sendiri pun tersesat. Bertaubatlah! Sepertiku."

Pria itu menutup teleponnya secara sepihak. Emosi masih bergumul di dadanya, hingga tanpa sadar dia melampiaskan pada dinding putih di sampingnya. Meninju dengan keras sampai menimbulkan suara 'bugh', lalu berjongkok menekan buku jarinya yang sakit.

Ada ucapannya yang tidak aku mengerti. Carilah perempuan? Bukankah seseorang yang meneleponnya itu perempuan? Lantas, kenapa dia menyarankan untuk mencari perempuan? Jangan-jangan, pria itu...?

Aku kembali memandang pria itu dengan tatapan menyelidik penuh kepenasaran. Yana? Sepertinya tidak asing di telingaku. Aku berpikir keras mengingat nama itu.

Ah, iya. Apa Yana yang dimaksud itu Yana yang pernah datang ke Two thumbs dengan tangis histerisnya? Jadi, pria itu kekasih Yana yang lebih memilih istrinya dibanding Yana?

Jika iya, baguslah. Bertaubat, keluar dari kubangan lumpur dosa untuk menjadi manusia yang lebih baik. Memilih istri dan anak yang akan membimbingnya agar tidak tersesat.

Aku tersenyum miris. Dunia ternyata sempit. Banyak orang yang tidak sengaja bertemu dan saling berkaitan satu sama lain. Dunia ini memang kehidupan yang penuh misteri.

***

Aku menunggui Dania yang sudah siuman. Wajahnya pucat, luka lebam di wajahnya terlihat jelas. Pipi kirinya berwarna merah kebiruan dengan ujung bibir terluka. Ada tanda melingkar di kedua pergelangan tangan seperti bekas ikatan yang melilit dengan kencang. Entah, luka apalagi yang dialami Dania. Yang jelas, tubuhnya hancur begitu pun hatinya. Dia duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memegangi perut. Matanya menerawang, sesekali memejamkan mata menahan tangis.

Dokter Charllene baru saja selesai melakukan pemeriksaan ulang. Hasilnya bagus, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya Dokter Charllene masih harus memantau pendarahan pada Dania. Dania harus istirahat total dan menyarankan untuk tidak stres. Bagaimana tidak stres jika dia baru saja mengalami kejadian buruk seperti ini.

"Sarapan dulu, ya?" Aku mengambil semangkuk bubur ayam yang dibawakan perawat tadi. Aku menyodorkan satu sendok pada Dania, berniat menyuapinya. Namun, dia menggeleng. Aku paham, hatinya sedang kacau sekarang, mana bisa dia makan dengan enak.

"Beberapa suap aja, kasian dia lapar. Dari tadi belum dikasih makan." Aku menggunakan janinnya untuk membujuk Dania makan. Dia tetap menolak.

"Dania, demi dia ... beberapa suap aja, ya?"

Aku mengangsurkan sendok berisi bubur pada Dania. Syukurlah, dia mau membuka mulutnya, berusaha mengunyah dan menelan bubur itu dengan susah payah. Matanya berkaca-kaca, dia tertunduk kemudian menangis. Aku peluk tubuh bergetarnya, dia terisak semakin keras. Mengeluarkan kesakitan yang dia pendam.

"Kamu bisa cerita apa pun ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu menyelesaikan masalah yang kamu hadapi sekarang, tapi seenggaknya dengan bercerita bisa sedikit membuatmu lega."

Aku mengusap punggungnya, kepalanya tertunduk dalam di pundakku. Tangisnya begitu pilu. Entah, kesakitan macam apa dia rasakan sekarang.

"Masalah nggak akan selesai hanya dengan dipendam. Masalah juga nggak akan hilang dengan sendirinya jika terus diam."

Dia mengangguk membenarkan ucapanku dengan terus menangis. Aku tak memaksanya untuk bercerita sekarang. Aku bukan orang yang mudah penasaran dengan hidup orang lain. Jika dia tak ingin bercerita, ya sudah, aku tak akan memaksa. Itu haknya untuk bercerita atau tetap diam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro