Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Baby In A Dream

Kevin

Kevin, ah!

Aku membelalakan mata dengan tiba-tiba. Suara alarm ponsel menyadarkanku dari alam mimpi. Kuraih benda pipih itu dari samping bantal, mematikannya dan kembali memejamkan mata. Tidak bisa. Aku tidak bisa tidur lagi. Ada sesuatu yang lengket di bawahku.

Ah. Lagi-lagi aku bermimpi tentangnya. Lagi-lagi dia membuatku basah hanya dengan datang dalam mimpi. Lagi-lagi kehadirannyaa hanya angan bagiku. Tiga hari berturut-turut aku memimpikannya. Rinduku semakin membludak, hingga tak tahan untuk meledak dalam mimpi. Aku bangkit dengan malas menuju kamar mandi. Mengguyur seluruh tubuh dengan air dingin, mencoba menenangkan bagian tubuhku yang berteriak merindukannya.

Bukan cuma lo yang kangen dia, man. Hati gue lebih kangen, pengen ketemu sama dia, bukan cuma sekadar tidur doang.

Selesai mandi dan berpakaian, aku membereskan ranjang. Mengganti sprei dan selimut yang basah, memasukkannya ke kantong plastik besar untuk kubawa ke laundry nanti. Sudah bertahun-tahun aku hidup sendiri, jadi aku sudah terbiasa melakukan segala hal sendiri. Mengganti sprei bukan hal sulit bagiku. Pakaian kotor tinggal dikirim ke binatu. Makan, tinggal pergi ke rumah makan. Hidup seorang pria tidak pernah seribet wanita.

***

Syukurlah, hari ini matahari tidak segan menampakkan wajahnya pada bumi. Beberapa hari kemarin, matahari hanya muncul sesaat dengan malu-malu. Mengintip di balik awan hitam yang berkumpul di langit. Memayungi makhluk bumi agar tidak terterpa sinar sang Surya.

Sepertinya, matahari ingin balas dendam. Dibantu oleh angin untuk menyingkirkan kumpulan awan hitam. Memecahnya menjadi bagian kecil yang terpencar di penjuru langit. Langit biru pun menyambut dengan gembira. Warna birunya menambah semarak suasana langit yang berpenghunikan matahari dan gumpalan anak awan berwarna putih.

Aku masuk ke sebuah kedai kopi, memesan kopi hitam dan roti bakar keju tanpa mentega. Aku tidak terlalu suka mentega, rasa gurih asin yang terkandung dalam mentega membuat perutku mual. Kedai kopi ini sangat sederhana. Bangku-bangku panjang berjajar di kiri-kanan meja yang tak kalah panjang. Dinding bercat hitam dengan tulisan menghiasi dinding.

Ada tiga orang pria yang duduk berkumpul di ujung meja. Dari wajahnya, aku perkirakan mereka berusia empat puluh tahunan. Menghadap cangkir kopi masing-masing, rokok juga menu sarapan berupa bakwan dan pisang goreng. Ketiganya bersenda gurau khas bapak-bapak yang pembicaraannya tidak jauh dari pekerjaan dan istri di rumah.

"Kapan mudik, Jon?" tanya seorang bapak berpakaian kemeja cokelat tua kepada bapak di hadapannya.

"Nanti ajalah kalo lebaran. Ngumpulin duit dulu, pusing kalo pulang nggak bawa duit. Istri manyun, anak-anak ngerengek minta ini-itu," jawab bapak yang dipanggil Jon dengan logat Jawa.

"Makanya kayak aku, istri ikut kerja juga. Jadi, nggak melulu minta duit," ujar bapak di samping Jon sambil menyeruput kopi.

"Lah, piye kabarku sek ditodong tiap hari? Mau berangkat di suguhi telapak tangan, pulang yo disambut telapak tangan, bukannya salim eh lah malah minta jatah," sambung bapak kemeja cokelat dengan wajah dongkol. "Kowe ya enak, Kar. Istri jadi TKW, nggak perlu pusing sama kebiasaannya mintain duit."

"Enak opo to, Dit? Nggak ada yang menuhi kebutuhan jiwaku. Dia udah bisa cari duit yang lebih gede, nggak pernah ketemu. Tersiksa jiwa raga," seloroh Kar.

Dan, masih banyak lagi keluhan-keluhan mereka tentang istri. Dari mulai yang tidak pernah menyambut kedatangan setelah lelah bekerja. Masakannya tidak bervariasi -tahu, tempe, ikan asin- hampir setiap hari.  Tidak pernah dandan, selalu memakai pakaian yang itu-itu saja -daster lusuh yang sobek di bagian ketiaknya. Sampai, keinginan mereka mencari wanita yang lebih baik, lebih cantik dan lebih menghargai jerih payah mereka.

Aku tersenyum kecut. Apa semua pria memiliki pemikiran seperti itu? Selalu tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Bahkan, membuka aib istri sendiri untuk dibandingkan dengan wanita lain yang memilki kelebihan di mata mereka. Apa suatu saat jika aku menjadi seorang suami dan ayah, aku akan bersikap seperti itu? Tidak menghargai istri.

Aku harap, aku bukan suami seperti itu. Aku akui, aku memang bukan lelaki baik. Senang bergonta-ganti wanita dan tidak suka menjalin hubungan dengan wanita manapun. Namun, sebagai pria normal aku pun ingin hidup seperti layaknya seorang pria. Membina rumah tangga dengan wanita yang dicintai. Memiliki anak, merawat dan mengurus anak-anak bersama istri tercinta. Suatu hari, aku harus mengakhiri petualanganku bersama wanita.

Dan, inilah saatnya aku berhenti. Melabuhkan hati pada satu wanita. Menanggalkan gelar playboy demi menjadi suami terbaik untuk wanitaku. Menyerahkan jiwa dan ragaku hanya untuk wanitaku. Dia, Anjani. Wanitaku.

***

Waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Awan hitam mulai berkumpul setelah seharian tadi tersingkir dari birunya langit. Matahari sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Malam ini kemungkinan bulan akan tersembunyi di balik awan gelap. Menjadikan malam semakin gelap serta dingin semakin menusuk. Aku memakai jaket fleece merah yang agak tebal untuk menghindari udara dingin malam nanti.

Rencanaku malam ini masih sama seperti kemarin. Menunggu kehadiran Anjani di klinik Sehat Sejahtera setelah sebelumnya bertemu dengan Gary di Two Thumbs. Tak seperti biasanya, jalanan sore ini tidak terlalu padat. Meski tetap saja, mobil yang kukendarai tidak bisa melaju dengan kecepatan maksimal.

Lima puluh menit kuhabiskan dalam perjalanan menuju Two Thumbs. Langit semakin redup dengan awan hitam yang menggantung di atas kepala. Terlihat begitu berat menyimpan cadangan air dalam perutnya. Tak lama lagi, pasti kumpulan awan itu akan memuntahkan isi perutnya. Mengguyur bumi yang masih basah.

Aku bergegas keluar dengan membawa tabung berisi sketsa gambar yang Gary pesan. Disampirkan di bahu kiri bersama tas ransel berisi memo, ATK dan sketchbook. Aku membuka pintu cafe sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Mencari sesosok yang sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu.

"Sorry, telat," ucapku ketika kakiku berhenti di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan.

"Gimana?" sambut Gary setelah sebelumnya menyalamiku.

Aku membuka tabung sketsa, mengeluarkan beberapa lembar kertas dan menunjukkannya pada Gary. Dia mengamati setiap garis yang aku buat, mengangguk-angguk sesaat kemudian tersenyum puas.

"Bagus, gue suka bagian depan yang menghadap ke taman kecil ini." Dia menunjuk gambar di sisi kanan.

Aku juga suka bagian itu. Aku membayangkan ada banyak sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan di pagi hari. Begitupun dengan taman kecil di sampingnya, meski hanya seluas 2x3 meter tapi bisa dimanfaatkan sebagai area bermain anak. Dialasi rumput jepang yang tidak akan sakit jika terinjak oleh kaki telanjang. Canda tawa akan terurai dari sana setiap pagi. Menyambut hari dengan riang gembira bersama si Kecil.

Garis-garis itu aku gambar sambil membayangkan wanita itu. Membayangkan kami tinggal serumah dengan ditemani seorang bayi lucu yang akan mewarnai hari-hariku. Mendengar canda tawanya saat bermain dengan anak kami. Aku tak bisa berhenti tersenyum hanya dengan membayangkannya saja.

Namun, dalam kenyataan semua berbeda. Sejak pertemuan kami tempo hari, dia kembali menghilang tanpa jejak. Kegiatanku masih rutin untuk mencarinya. Diam berjam-jam di depan klinik yang disebutkan Nugie. Sering datang ke Two Thumbs, berharap dia tiba-tiba muncul di hadapanku. Atau pergi ke mana pun yang pernah dikunjunginya seraya menggantungkan sedikit harap.

Diskusiku bersama Gary telah selesai, tak lama dia berpamit pulang untuk mengantar istrinya cek kandungan. Ah, kapan giliranku mengantar Anjani ke dokter kandungan? Sungguh, aku sangat berharap bisa melakukan tugas sebagai suami siaga untuknya.

Andai dia tiba-tiba muncul saat ini. Akan kuseret dia langsung menuju KUA agar kami bisa langsung dinikahkan saat ini juga. Aku begitu gemas. Hatiku seperti diremas menahan rindu yang setiap saat menggerogoti.

Ke mana lagi aku harus mencarinya?

***

Entah sejak kapan pemandangan langit berubah cerah dengan gumpalan awan berbentuk permen kapas melayang-layang di langit biru. Matahari bersinar begitu terik, tapi anehnya tidak terasa panas sama sekali. Malah sebaliknya, terasa sejuk dengan silir angin berembus perlahan. Menerbangkan aroma vanila yang menggiurkan menguasai indera penciuman.

Di ujung sana, di bawah pohon besar tergantung ayunan dengan wanita berambut hitam duduk di atas ayunan itu. Dituntun rasa penasaran, aku berjalan mendekat. Samar, aku mendengarnya bergumam. Bukan, tapi bersenandung lagu nina bobo.

Aku berdiri tepat di belakangnya, aroma vanila tercium jelas dari tubuh wanita itu. Aroma yang begitu kurindukan. Aku memberanikan diri, menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. Nyanyiannya terhenti. Kemudian dengan gerakan slow motion, dia menoleh ke arahku.

Tampaklah wajahnya. Wajah yang kurindukan selama beberapa minggu terakhir. Dia tersenyum lembut--teramat lembut--hingga membuat kedua manik hitamnya berbinar. Senyumannya menghangatkan hati. Aku ikut tersenyum, tapi kemudian terbelalak ketika mataku menangkap sesosok mungil di dadanya.

Bayi mungil dengan pakaian serba putih berada dalam dekapannya. Tidur meringkuk sambil menghisap jempol. Bayi itu begitu menggemaskan. Dia berdiri menghadapku, mengubah posisi bayi di gendongnya lalu menyerahkan padaku.

Aku bertanya lewat tatapan mata, apa dia bermaksud memberikan bayi itu untuk kugendong? Dia mengangguk mengiyakan. Senyumku kembali terkembang. Aku mengulurkan kedua tangan, bermaksud menerima bayi itu. Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan.

Bayi itu lolos dari tanganku. Jatuh ke tanah yang ditumbuhi rumput hijau dengan gerakan amat lambat. Ada setitik lubang hitam di tanah, semakin lama lubang itu semakin besar. Menelan bayi itu masuk dan menghilang. Aku syok, tak dapat bergerak. Mata dan mulutku sukses terbuka lebar.

Aku mendongak ingin menatap dia yang sedari tadi berdiri di hadapanku. Namun, aku kembali dibuat syok ketika yang kulihat semua berubah warna menjadi kelabu. Padang rumput hijau mengering. Pohon besar yang berdaun lebat juga mengering dan rontok. Membuat hujan daun kering. Dan, dia tidak ada. Aku menatap berkeliling, mencari keberadaannya dengan panik. Aku mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang berhasil keluar. Hanya suara cicitan seperti tikus yang terdengar.

Aku berusaha semakin keras, sekuat tenaga mengeluarkan teriakan memanggil namanya. Keringat dingin mulai merembes di dahi. Napasku mulai sesak karena berusaha berteriak yang tidak membuahkan hasil. Meski begitu, aku tetap berteriak. Lagi. Lagi dan lagi. Menyebut namanya berulang-ulang.

***

"ANJANI!"

Aku terkesiap, bangun terduduk dengan napas memburu, berkejaran saling berebut keluar masuk lubang hidung secara cepat. Keringat merembes membasahi kening juga punggung, membuat kaus yang kukenakan basah. Aku membuka kaus yang basah, melemparnya  sembarang ke sudut ruangan di mana banyak tumpukan pakaian kotor di sana.

Aku melirik jam dinding, ternyata sudah pagi. Aku kembali berbaring, memejamkan mata mengingat mimpi barusan. Tubuhku merinding, mimpi yang memgerikan. Apa arti mimpi itu? Apa itu hanya sebagai refleksi betapa aku merindukannya?

Semoga mereka baik-baik saja.

Kutarik embuskan napas dengan perlahan, mengontrol gerakan dada yang naik turun tak beraturan. Kupejamkan mata bermaksud menghilangkan bayangan mimpi mengerikan itu. Nyatanya, mimpi itu bukannya menghilang malah hadir sebagai kelebatan bayangan.

Aku mengingat wajahnya dalam mimpi. Bagaimana dia menatapku, tersenyum padaku dan bersenandung lirih menyanyikan lagu nina bobo. Dan bayi itu ... ah, tubuhku kembali merinding. Menggigil. Mimpi itu terasa begitu nyata.

Ponselku berdering kencang, menyentakku dari bayangan mimpi. Kuraih benda pipih itu dari nakas, melihat ID Caller yang tertera dan mendesah jengah melihat nama itu di layar.

Mau apa lagi sih dia?

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro