Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9

Gaun Pengantin ... ceklis
Undangan ... ceklis
Suvenir ... ceklis
catering ... ceklis
Gedung ... ceklis

Sintya melihat catatan mamanya di meja makan. Ada beberapa kertas berhamburan di sana. Sintya mengembuskan napas. Semua diurus mamanya. Sintya bahkan tak tahu siapa-siapa saja yang akan diundangnya. Tak ada satu pun teman yang ia undang, kecuali teman yang ia kenal di tempat ini. Tak banyak, paling beberapa dokter dan staf klinik saja. Kebanyakan daftar undangan adalah rekan kerja papanya dan sebagian besar kenalan Jonan.

"Ingat, gak ada satu bulan loh pernikahanmu akan dilangsungkan. Jangan kebanyakan makan. Nanti melar," seru mamanya saat Sintya menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Iya, Ma. Ini juga baru makan kok. Dari semalam gak menyentuh makanan. Gak nafsu."

"Eh, eh, eh... gak boleh juga gak makan. Nanti kamu loyo. Malu ah, kalau di pelaminan lemes, gak lucu kali."

Sintya tersenyum tipis.

"Kok belum dijemput? Sudah jam sembilan loh ini."

Sintya mengangkat tangannya dan melirik jam di pergelangan tangan. "Iya, kemarin katanya telat. Mau ke RSUD. Nanti Sintya berangkat sendiri, Mam."

"Ya sudah. Nanti titip ini ya. Buat dokter-dokter yang praktik di klinik. Yang di rumah sakit sudah Mama titipkan ke Jo."

Sintya mengambil seplastik undangan dan menaruhnya ke dalam tas. Setelah berpamitan, Sintya pun berangkat.

***

Sesampainya di klinik, Sintya menemukan dokter Selena yang tampak buru-buru keluar.

"Pagi, dok. Ada pasien?" Sintya menyempatkan diri bertanya ketika mereka saling bertatap di pintu keluar.

"Hei, pagi. Eh, enggak. Tadi nganterin berkas obat. Maaf, buru-buru nih. Sampai ketemu nanti sore ya," ujar dokter Selena tanpa menunggu respons Sintya.

Sintya pun segera masuk dan menuju meja kerjanya.

"Yanti, tolong bawa ini ke laundry ya ..." Jonan muncul tiba-tiba dari arah belakang.

Sintya terkejut, sementara Yanti, asisten apoteker yang magang di sana menerima bungkusan hitam yang diserahkan Jonan lalu keluar dan melakukan perintahnya.

"Loh, Mas? Katanya di RSUD? Kapan baliknya?"

Jonan tampak kaget melihat Sintya sudah duduk manis di mejanya.

"Belum ada sepuluh menit. Kamu naik apa ke sini? Maaf tadi kupikir sekalian jemput pas makan siang."

"Naik motor. Gak apa-apa, Mas. Lagian kesiangan banget jadinya. Oh ya, tadi bareng dokter Selena?"

"Loh, tadi dokter Selena ke sini? Kok gak lihat?"

"Hmm, iya, buru-buru tadi. Mungkin cuma ketemu Yanti. Gak tau deh," ujar Sintya sembari melanjutkan pekerjaannya.

"Kenapa jubahnya?"

"Oh, itu tadi ketumpahan kopi," jawab Jonan sembari menarik kursi mendekat ke bangku Sintya.

Mata Sintya terpaku menatap Jonan. Lelaki itu tampak salah tingkah dengan senyumnya yang tak jelas.

"Kenapa memandangiku? Kangen ya?" goda Jonan.

Sintya melengos. "Gak. Ngapain kangen sama Mas. Gak penting banget. Cuma ... kenapa Mas sepertinya grogi? Ada apa?"

Jonan menarik tangan kanan Sintya dan menggenggam jemarinya. "Gak apa-apa. Cuma agak gugup. Sebentar lagi kita menikah dan ..."

"Yang harusnya gugup itu aku, Mas. Rasanya ... aku ..."

"Maaf, Mas Jo, ini tadi ada di saku jubah." Tiba-tiba Yanti datang dan menyerahkan sebuah kotak kecil.

"Apa itu?" tanya Jonan.

"Ya mana Yanti tau, Mas."

Tangan Sintya meraih kotak yang masih dipegang Yanti. Dibukanya kotak itu.

"Wah ..."

Sebuah kalung berlapis emas putih dan berliontin SJ bertahta batu permata kecil di atas huruf J membuat Sintya tersenyum.

"Ini untukku?"

Jonan tersentak. "Itu ..."

"Iya kali, Mbak. Pasti buat Mbak Sintya. Siapa lagi, masa ko buat Yanti..."

Jonan mengangguk. "Iya, itu untukmu. Sini..." Jonan mengambil kalung itu lalu memakaikannya di leher jenjang Sintya.

"Cantik."

Sintya mematut bayangan dirinya di kaca etalase obat. Ia senyum-senyum sendiri. Ini hadiah manis pertama yang diberikan Jonan untuknya.

"Makasih ya, Mas Jo."

Jonan bergeming. Matanya memandang Sintya. Tapi pikirannya jauh melayang.

Kalung itu, bagaimana bisa?

Dengan cepat ia mengambil ponsel dari sakunya dan mengirimkan pesan pada seseorang.

"Kenapa?"

Jonan mengembuskan napas panjang. Menyimpan ponselnya kembali ke saku celana.

Lalu meninggalkan Sintya yang tengah asyik bersenda gurau dengan Yanti.

Kenapa? Hatinya tak berhenti bertanya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro