Part 8
"Jadi kalian pernah dekat ya, Mas Jo?"
Sintya membuka pembicaraan. Setelah mengantar dokter Selena ke mess, Jonan kembali memutar arah untuk mengantar Sintya pulang.
"Kamu cemburu yaaaa," goda Jonan.
"Ih, amit-amit," Sintya mengangkat pundaknya, "cuma penasaran aja kenapa dokter Selena seperti manas-manasin aku," lanjutnya.
"Kompor kali dipanasin, Sin. Tapi kalau kamu cemburu, gak apa-apa. Itu artinya sudah ada aku di hatimu." Lagi-lagi Jonan menggoda Sintya.
"Mungkin ...," Sintya tersenyum. "Tapi jangan ge-er dulu. Ini juga karena terpaksa."
"Loh, kok?" Jonan memelankan laju mobilnya. Sesaat lagi rumah Sintya akan tertangkap pandangan matanya. Ia masih ingin bercengkerama dengan wanita yang membuatnya jatih hati.
"Ya iya, bagaimana tak terpaksa coba. Bayangkan ... beberapa minggu lagi kita akan menikah. Sementara aku? Masih bingung dengan hal bagaimana harus bersikap terhadap mas Jonan."
Sontak saja gelak tawa pecah dari bibir Jonan.
"Ya ampun, Sintya Sayang. Kamu tak perlu bingung. Bersikap sewajarnya saja. Tanamkan dulu dalam hati dan pikiranmu, bahwa Jonan adalah kekasihmu. Kekasihmu ... bukan yang lainnya. Masa sudah lewat beberapa waktu kamu masih belum juga tumbuh rasa minimal sayang ke aku di hatimu?"
Sintya terdiam.
"Padahal kalau dilihat-lihat, aku lebih gagah dan menawan dibanding sepupu yang kaupuja-puja itu."
"Ish, narsis. Buruan, aku sudah ngantuk."
Jonan mengangguk. "Hem. Baiklah, Tuan Putri."
Sintya tersenyum tipis, lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela. Jalanan sudah sepi. Kota kecil begini memang mati saat lewat dari jam 9 malam.
"Sudah sampai, Sin, kamu masih ingin di dalam mobil?" Suara Jonan mengagetkan Sintya dari lamunan.
"Eh, maaf."
"Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?" tanya Jonan.
"Tidak." Sintya menggeleng. "Aku cuma mau berterima kasih."
"Untuk?"
"Mengantarkanku pulang."
"Ah, bukankah ini sama saja dengan malam-malam sebelumnya?"
Sintya menyunggingkan senyum tipisnya. "Terima kasih sudah mau bersabar menghadapiku."
Jonan memandang wajah Sintya yang tampak lelah. Ditariknya tangan kanan Sintya lalu dibawanya ke dadanya.
"Belajarlah menerimaku, Sintya. Ini tidak sulit. Kamu pasti bisa membuka pintu hatimu lebar-lebar untukku."
Sintya mengangguk.
Jonan menarik tangan Sintya lebih dekat. Dikecupnya mesra jemari Sintya yang kedinginan.
Sintya menutup matanya. Merasakan sensasi hangat di ujung jemarinya.
Jonan menatap lembut wajah polos Sintya. Tanpa menunggu waktu, ia menempelkan bibirnya di kening Sintya.
"Mas," Sintya tersentak dan membuka matanya.
"Ssst." Jonan menyentuh bibir Sintya dengan telunjuknya. Lalu direngkuhnya tengkuk Sintya dengan tangan kirinya. Kini mereka berdua bisa saling merasakan napas yang beradu dari hidung yang saling menempel. Jonan menempelkan bibirnya ke bibir Sintya yang membeku.
Degup jantung Sintya terdengar oleh Jonan.
"Aku mencintaimu, Sintya." Sebuah lumatan lembut menutup kata-kata Jonan.
"Mas ..." Sintya meronta namun kecupan lembut itu telah memenjarakannya di malam yang dingin.
Sintya memejamkan matanya kembali. Sekelibat bayangan Vandi muncul. Tiba-tiba saja matanya terbuka lebar.
"Mas ..."
"Hmm ..." Jonan begitu menikmati kecupannya.
"Mas!" Sintya makin meronta. Sambil mendorong Jonan, ia mengatakan sesuatu.
"Hmmm," tanggap Jonan tak peduli.
"Itu, papa melihat kita di depan pintu."
Sontak Jonan memjauhkan diri dari Sintya. Dan Sintya membuka pintu mobil dengan cepat lalu berhambur ke teras.
"Lembur?"
"Iya, Pa." Sintya menjawab singkat lalu masuk tanpa mempedulikan Jonan yang ikut turun dan menemui papanya.
"Malam, Om. Maaf agak malam mengantar Sintya. Tadi makan dulu sama dokter Selma."
"Heem. Ya sudah. Besok jangan lupa ukur baju ya. Mamanya Sintya sudah memanggil menyiapkan acara besok."
Jonan mengiyakan dan segera pamit.
***
Sintya mematut wajahnya di cermin. Sambil memegang bibirnya ia tersenyum tak jelas.
Ada hal aneh yang ia rasakan ketika Jonan menciumnya dengan lembut dan mesra. Apakah ini rasa jatuh cinta lagi?
Sebuah pesan masuk.
"Selamat tidur, Sin Sayang. Maafkan kejadian tadi ya. Tidurlah. Besok banyak hal yang akan kita lakukan. Baju pengantin. JANGAN LUPA ATO PURA-PURA LUPA, Ya!"
Sintya tertawa kecil membacanya.
"Aku gak lupa ato pura-pura lupa. Hanya saja, baju pengantin untukku sudah siap. Jadi besok, hari mas sendiri ya ... oke. selamat tidur."
Send!
Sintya memandang layar hapenya lagi. Sepertinya Jonan sudah tertidur karena tidak ada balasan lain. Sintya pun beranjak tidur.
Belum lelap ia terpejam, sebuah pesan masuk kembali terdengar.
"Hai, Dik. Selamat ya atas pernikahanmu. Mas ikut mendoakan. Salam untuk kekasihmu."
Tiba-tiba saja Sintya terbangun karena membaca pesan singkat dari Vandi.
Jantung Sintya berpacu.
Balas. Tidak. Balas. Tidak. ...
Sintya melemparkan hapenya ke lantai.
Selamat juga atas pernikahanmu, Mas.
Mata Sintya pun terpejam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro