Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 7

"Sudah diputuskan. Kalian akan segera menikah. Papa rasa kebersamaan sudah membuat kalian saling mengenal. Gak ada alasan lagi asing satu sama lain."

Sintya melotot ke arah Jonan. Pria itu dengan santainya melempar senyum manis ke seisi ruangan. Orangtuanya jauh-jauh datang dari Jawa hanya untuk melamarnya. Tak perlu pembicaraan bibit, bebet, orangtua Sintya langsung menerima lamarannya.

Sintya mencelus. Tak ada yang bisa ia pertahankan selain rasa hormat pada orangtua. Ia kalah oleh waktu. Tak bisa kembali mundur.

"Ya, saya menerima ini semua. Seperti yang pernah mama bilang, pernikahan adalah gerbang mengenal cinta yang sesungguhnya, jadi Sintya akan belajar mencintai Mas Jo."

Jonan menatap wajah tegang Sintya. Suara wanita itu bergetar saat mengucapkan kata-kata tadi.

"Aku akan membuatmu benar-benar mengerti arti cinta."

***

Jarum jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Harusnya Sintya sudah mematikan komputernya dan bersiap pulang. Tapi berhubung pasien masih banyak,  ia dan para pekerja lainnya tetap di tempat.

Praktik dokter Selena tidak pernah sepi. Dokter yang baru kembali berpraktik di klinik ini selalu kebanjiran pasien. Apalagi di musik kemarau yang kering seperti ini, banyak yang sakit dan berobat.

"Bu dokter pulang sama siapa?" Jonan bertanya pada seorang wanita yang baru saja keluar dari ruang praktik dokter umum.

"Harusnya sih sama driver ya. Sudah datang?" Wanita yang memakai tagname dr. Selena Widiasti itu tersenyum di sela wajah lelahnya.

"Belum datang tuh, dok. Bareng aja pulangnya. Nanti sekalian. Messnya searah dengan Mas Jo, kan, ya?" Sintya melirik ke arah Jonan, meminta persetujuan.

Jonan mengiyakan. Lantas dokter Unselma mengangguk lalu duduk di ruang tunggu. Jonan masih harus melayani pemberian obat untuk beberapa pasien yang tersisa. Sintya yang sudah menyelesaikan pekerjaannya memilih menemani dokter Selena.

"Jadi sebentar lagi kamu akan melangsungkan pernikahanmu dengan Jo?" Dokter Selena membuka pembicaraan.

"Ya, begitulah. Semuanya berjalan begitu cepat. Saya bahkan belum mengenal lebih dekat siapa mas Jo."

Dokter Selena tertawa kecil. "Dia baik. Lelaki yang humoris sebenarnya. Penyuka kopi putih, suka sekali membaca komik. Dan dia juga suka memancing. Kami pernah ke pulau seberang dan ..."

"Dokter tampaknya sudah mengenal mas Jo sejak lama ..." Ada nada aneh yang tak disadari Sintya dari bibirnya.

"Ya tentu saja. Saya pernah bertugas di sini sebelumnya. Sebelum kamu datang."

Sintya ber-oh ria.

"Mendapatkan hati Jonan cukup dengan menyelami apa yang ia suka. Mungkin kamu bisa mencoba mengajaknya memancing. Dia jago banget loh," lanjut dokter Selena.

"Hei, kenapa kamu melamun?"

Sintya gelagapan. "Ah, tidak. Hanya sedikit mengantuk. Hari ini pasien lebih banyak dari sebelumnya."

"Hem, sebelum pulang kita makan malam bersama dulu, yuk. Di Reklamasi saja." Dokter Selena menyebutkan sebuah tempat nongkrong yang letaknya di pinggir pantai, tak jauh dari klinik. Sintya dan Jonan juga sering menghabiskan waktu di sana akhir-akhir ini.

"Tapi ..."

"Pulang sekarang, yuk." Jonan tiba-tiba datang dan mengambil tempat di sebelah Sintya.

Dokter Selena bangkit berdiri dan membereskan tasnya.

"Kita makan malam dulu, ya. Kamu lapar, kan? Katanya ingin ikan bakar? Dokter mau ikutan?" tanya Jonan.

"Ya, tadi juga saya mengajak kekasihmu itu," senyum dokter Selena. "Ayo, buruan."

***

"Jadi bagaimana hari-hari di pulau seberang, dok?" tanya Jonan di sela-sela menikmati ikan bakar yang baru saja disajikan.

"Ya, biasalah. Kamu tahu sendiri bagaimana kehidupan orang gunung. Susah diajak hidup sehat. Tapi menyenangkan bila mereka datang berobat. Segala macam hasil ladang dibagi. Penuh. Sampai gak kemakan. Yang paling enak, saat akhir pekan. Karena kami selalu pergi memancing. Seperti kita dulu ... Kamu ingat?"

"Ho, asyik sekali," timpal Jonan.

"Sesekali kamu harus mengajak Sintya ke laut. Memancing di lautan sensasinya beda loh," lirik dokter Selena ke arah Sintya yang sedari tadi diam saja.

"Aku belum sempat mengajaknya. Mungkin nanti akhir pekan ini."

"Wah, kencan sebelum pernikahan ya. Hei, kudengar kalian dijodohkan?"

Sintya menekuk wajahnya dalam-dalam. Sementara Jonan yang nasih asyik dengan ikannya tak menanggapi pertanyaan dokter Selena.

"Kupikir kamu pria yang punya ketegasan akan pilihan, ternyata kalah oleh sebuah perjodohan."

Jonan tertawa.

"Ini tak seperti yang dibicarakan di luar sana, dok. Sintya mungkin memang menerima pernikahan ini karena perjodohan, tapi aku mencintainya."

"Cinta?"

Sintya mendongak. Dinginnya malam tak lagi terasa. Suasana tiba-tiba panas. Hatinya bertanya-tanya. Ada apa dengan wanita yang seolah sedang menguliti calon suaminya?

Calon suami? Tiba-tiba saja Sintya merasa ingin muntah.

"Sin? Kenapa?" Dokter Selena menyadari perubahan Sintya.

"Pasti karena telat makan. Ayo dimakan. Kamu bahkan belum menyentuhnya," ujar Jonan sambil mendekatkan piring ke arah Sintya.

"Jadi kamu telah menemukan pelabuhanmu yang sesungguhnya ya, Jo?"

"Bisakah kita tidak membicarakan ini? Saya merasa gak enak." Sintya bersuara.

"Oh, maaf. Saya tak bermaksud membuatmu salah tingkah, loh, Sin. Saya cuma ingin melihat kesungguhan hati Jonan memilihmu."

"Mengapa?"

"Tak mengapa. Hanya saja, saya cukup terkejut mendengar kabar pernikahan kalian." Dokter Selena kemudian menyesap teh hangatnya hingga habis.

"Mengapa?" Sintya kembali bertanya, tanpa ekspresi berarti.

"Karena ... ini terlalu cepat ..." Dokter Selena menjawab dengan pelan.

"Ya, ini memang terlalu cepat. Karena aku tak mau wanita yang kucintai ini kembali pada lelaki yang tak bertanggungjawab. Yang seenaknya datang dan pergi sesuka hati." Jonan mengambil tangan kanan Sintya kemudian menggenggamnya dengan erat.

Sintya terhenyak. Jawaban macam apa itu? Apa yang hendak diutarakan Jonan sesungguhnya? Bukankah jawaban itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada?

"Aku mencintainya, dok. Sangat." Jonan meyakinkan dokter Selena sekaligus Sintya.

"Sangat!"

Genggaman tangan Jonan semakin mengunci jemari Sintya. Aliran darah tiba-tiba membuat wajah Sintya memerah.

Semoga aku juga bisa mencintaimu, Mas Jo. Hati Sintya mulai terbuka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro