Part 6
Masihkah kaupercaya bahwa ada cinta setiap kekasihmu berucap ia selalu mencintaimu?
Sintya berulang kali menggeleng. Hatinya tak bisa menerima berita bahagia dari seberang. Pernikahan? Secepat itukah? Apa ini bagian dari rencana kedua orangtuanya untuk memisahkannya dari cinta pertamanya? Tidak. Tidak mungkin. Lagi-lagi Sintya menggeleng.
Jonan memperhatikan Sintya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia menahan diri untuk tidak mengganggu ritual yang sedang dilakukan gadis pujaan hatinya. Ya, ritual. Sudah hampir seminggu ini Sintya punya kebiasaan baru di depan monitor. Berbicara sendiri, menggeleng kepala, menepis tangan di udara, dan menundukkan kepala selama hampir tiga puluh menit menjelang makan siang. Yang pasti itu bukan ritual diet walau kenyataannya Sintya kerap meninggalkan makan siang dengan alasan kenyang. Apa iya, menunduk dapat menyebabkan perut kenyang? Jonan ikuta menggeleng seraya tersenyum mengejek.
"Pak Dokter, itu ibu dokter ada sakit ko? Pi kasih obat dulu e. Obat ada banyak jadi kenapa ibu dokter tidak kasih makan itu obat?" Suara pelanggan mengagetkan seisi ruangan yang lagi sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
"Ah, bapa tua, dia tidak sakit. Hanya saja sedang konsentrasi tingkat tinggi. Maklum, sebentar lagi kami akan menikah. Biasa kan, wanita. Akan semakin gelisah ketika waktu melepas masa lajangnya semakin dekat," ujar Jonan menanggapi pria yang kerap membeli obat di apotek.
Tanpa diduga sebuah buku mendarat persis di depan Jonan. Sintya melemparnya tanpa ampun.
"Hati-hati kalau bicara. Jangan seenaknya sendiri. Mas sama saja seperti mereka. Keterlaluan." Tanpa menunggu respons Jonan yang tampak kaget, Sintya mengambil tas tangannya dan berjalan keluar.
"Aduh, anak muda gampang sekali emosian ya. Pak Dokter harus jaga baik-baik itu. Pi kasih cokelat mungkin bisa menenangkan hatinya. Biasa wanita marah-marah kalau lagi datang bulan," ujar pria itu lagi tanpa sungkan.
Jonan hanya tersenyum. Ia menyesali tindakannya yang memancing singa betina keluar dari sarangnya. Setelah memberikan obat, Jonan meninggalkan apotek.
***
Sintya memandang ke laut lepas. Deburan ombak yang menghantam tembok pembatas memberikan ketenangan tersendiri di hati wanita yang saat ini sedang menangis. Rambut panjangnya yang tertiup angin menutupi wajahnya.
"Aarrrrghhh!!!" Sintya berteriak sekuat mungkin.
Beberapa nelayan menatap bingung. Ini sudah ketiga kalinya Sintya mengunjungi tempat ini. Biasanya ia menikmati suasana sore sebelum kembali ke apotek.
"Mas Vandi, kenapa sungguh tega melakukan ini semua?"
Sintya lagi-lagi terisak.
Kejadian malam itu kembali menayang di benaknya.
"Kau adalah wanita terindah yang diciptakan hanya untukku. Aku akan selalu menjagamu. Walau kita jauh, waktu akan kembali menyatukan kita. Karena kita punya cinta yang tak bisa dipisahkan."
"Bohong! Itu bohong. Kalau Mas mencintaiku kenapa menikahi wanita lain ... padahal ..." Tangis Sintya kembali pecah.
"Aku takut, Mas."
"Ssst. Lihat aku. Kita sudah lama bersama. Mengapa harus takut?" Vandi memeluk tubuh Sintya dengan erat.
Sintya semakin tenggelam di rengkuhan kekasihnya. Ia menggeleng.
"Bukan. Aku bukan takut itu. Aku takut ... bila ternyata esok kita tak bisa pelukan lagi."
Vandi terkekeh mendengar alasan Sintya. Diciumnya ujung hidung mancung Sintya yang dingin karena AC.
"Ya, mungkin kita tak bisa pelukan lagi. Tapi itu takkan lama. Cinta akan membuat waktu jadi singkat. Kita pasti akan kembali berpelukan."
Sintya tersenyum. Ada perasaan lega saat mendengar kata-kata Vandi.
"Mas, ayo kita lakukan."
Vandi mengangkat kepalanya.
"Jangan. Bila kau tak yakin, lebih baik jangan. Kita cukup seperti ini. Seperti yang sudah-sudah. Aku tak ingin memaksamu, Dik."
Sintya menggeleng. "Aku tak terpaksa, Mas. Aku ingin. Aku ingin punya kenangan yang istimewa bersamamu sebelum aku pergi."
"Apa yang sudah-sudah tidak istimewa?" selidik Vandi.
"Ya, istimewa dong. Maksudku kenangan yang paling melekat sebelum kita berpisah."
"Apakah kita akan berpisah?" selidik Vandi lagi.
"Maksudku ... aaah, Mas nyebelin."
Vandi menciumi kening Sintya.
"Kamu tahu, Dik... kamu itu lebih dari istimewa buatku. Selama ini benar-benar kujaga. Bukan hanya karena kamu sepupuku yang paling kucintai. Bukan. Tapi karena aku sangat menghormatimu. Jadi ... jangan paksakan dirimu."
Sintya melepaskan pelukan Vandi.
"Mas, plisss ... anggap saja ini sebagai hadiah. Ah, tunggu. Jangan anggap aku perempuan gila. Eh tapi mungkin aku memang sudah gila. Aku hanya ... takut kehilangan Mas. Aku hanya ...
"
Vandi membekap mulut Sintya dengan bibirnya. "Sudah. Jangan bicara lagi. Waktu semakin berputar. Ini sudah hampir pagi. Bukankah penerbanganmu jam sepuluh?"
"Andaikan bisa ingin kuhentikan waktu. Aku ingin lebih lama di sini. Bersama Mas."
"Ssst. Jangan bicara."
"Baiklah, aku tidak akan bicara lagi, Mas. Tapi ... ini ..." Sintya bangun dan duduk di samping Vandi. "Aku hanya ingin menciumi Mas sampai puas."
Vandi tersenyum. Ia sudah tidak kaget atas perlakuan Sintya. Gadisnya itu suka sekali menciumi seluruh wajahnya. Vandi memasrahkan wajahnya kali ini lebih lagi.
Sintya mencium lembut bibir Vandi. Tanpa malu-malu ia duduk di perut Vandi. Menangkupkan kedua tangannya di pipi pujaan hatinya. Napasnya sudah tak beraturan.
"Ayo kita lakukan, Mas," ujar Sintya tanpa mempedulikan rasa takutnya.
Vandi yang selama ini mampu menahan hasratnya menjadi tak terkendali. Ciuman-ciuman Sintya membawanya ke alam lain.
Keduanya benar-benar menyatu di malam terakhir pertemuan mereka.
Tangis Sintya begitu menjadi-jadi.
"Bohong. Kenapa mas harus bohong!"
"Dia tidak mencintaimu dengan sungguh, Sin."
"Kaamuu?" Sintya menoleh ke arah suara. "Apa yang Mas Jo lakukan di sini?"
"Aku mengikutimu beberapa waktu ini. Sintya ... jangan siksa dirimu. Sudah waktunya kau melepaskan yang harus dilepas."
"Ini bukan urusanmu, Mas."
"Ini akan jadi urusanku. Suka atau tidak suka. Mau atau tidak mau. Aku calon suamimu."
"Stop. Mas yang terlalu memaksakan diri. Bukankah sudah kubilang aku tidak ingin ada pernikahan. Aku ..."
"Sintya ... sudah hampir tiga bulan ini kita saling mengenal satu sama lain. Aku cukup memahami kekerasan hatimu. Tapi hidupmu tak harus berhenti sampai di titik ini. Bukalah matamu. Bukalah hatimu. Kalian tidak akan pernah bersatu."
"Mas Jo tidak tahu apa-apa tentangku," ujar Sintya melemah.
"Aku tahu. Kau hanya wanita rapuh yang pura-pura kuat. Tanpanya kau tidak akan mati, Sin. Kau punya kehidupan lain. Lihat aku!"
Sintya bergeming.
"Aku berjanji. Akan membuatmu benar-benar jatuh cinta padaku. Sekarang lupakan dulu dia. Kita kembali. Orangtuaku ada di rumahmu."
Sintya melotot. "Maksudmu?"
"Bila di sana, Vandimu mempersiapkan diri menikah dengan gadis pilihannya, maka di sini kau akan mempersiapkan diri menikah dengan pria yang memilihmu."
Sintya tersekat.
Dunia sudah membuatku gila.
"Aku tidak akan pulang."
"Ayolah. Atau kau mau aku menggendongmu?"
Sintya tak mengacuhkan ancaman Jonan.
"Sin? Oke, kau memang manja."
Tanpa aba-aba, Jonan menggendong Sintya dan tentu saja aksinya jadi tontonan orang sekitar.
"Turunkan aku!"
"Diamlah. Ini latihan agar nanti saat menikah tidak kagok mengangkat tubuhmu. Kau ringan juga meski tampak montok."
"Turunkan aku, Jonaaan!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro