Part 31
Suasana rumah keluarga besar Sintya penuh canda tawa. Sanak family sudah mulai berdatangan. Tampak kehebohan para tante dan sepupu jauh Sintya yang berkumpul di ruang keluarga. Mereka akan mempersiapkan pernikahan Sintya dan Dani yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Namun, keceriaan tak hadir si hati mama Sintya. Wanita paruh baya itu memang menebar senyum kepada saudara-saudara yang datang, tapi hatinya kesal karena kata-katanya dianggap angin lalu bahkan oleh suaminya sendiri.
"Jeng, itu Mbak Wina datang loh ... Mbok disamperin," ucap tante Wid pada mamanya Sintya.
Sintya menoleh ketika mendengar nama Wina. Matanya beredar mencari sosok yang disebut. Sementara mamanya tersenyum kecut.
"Budhe?" Bibir Sintya kelu manakala matanya beradu dengan mata Wina.
Dari kejauhan Wina tersenyum dan berjalan menghampiri.
"Sintya, apa kabar? Lama gak berkabar tahu-tahu mau menikah."
"Baik, Budhe. Iya, maaf kalau Sin nyaris gak pernah memberi kabar. Mbak Lestari ikut?" Sintya mencari-cari kakak kandung Vandi.
"Ada. Di mobil. Sebentar lagi turun. Sedang mengganti popok si kecil."
"Oh, Mbak Tari sudah punya anak?"
"Belum. Tari belum menikah. Itu, anaknya Vandi, dia kan ..."
"Jeng, sini ..." Tante Wid menarik Wina untuk menemui mamanya Sintya.
"Budhe tinggal dulu ya," pamit Wina.
Sintya mengangguk. Dengan ragu ia melangkah keluar.
Sintya merasakan ketegangan yang amat mengganggu dirinya sendiri. Bahkan sapaan sanak saudara yang dilewatinya diabaikan. Matanya menatap lurus ke depan. Mencari sosok yang ia rindukan.
Suara ponsel di genggaman tangan mengagetkannya.
Aa Dani callings.
Sintya mengembuskan napas. Ia menolak panggilan itu. Langkah kakinya kembali terayun.
"Dek ..."
Sintya terhenti. Ia membalik badan. Bibirnya kelu. Kakinya terpaku. Matanya tertuju pada pria kecil di dalam buaian.
"Dek ..."
Mata Sintya mengembun. Vandi berdiri hanya berjarak 3 meteran darinya.
"Mas Vandi ..."
Vandi tersenyum lalu mendekat. Sintya berdebar. Air matanya tumpah.
"Hei ... kenapa menangis?"
Sintya mendengus ...
"Bertahun-tahun kita tak berjumpa, itu kalimat pertama Mas untukku?"
"Maunya apa?"
Sintya menghapus air matanya. Aku merindukanmu, Mas.
"Yang mau menikah, tak boleh hatinya patah. Harus bergembira. Karena ..."
"Kalau saja --"
"Ssst ... gadis yang baik ... harus tahu kata yang tepat untuk diucapkan. Apa pun yang ingin kamu ucapkan, Mas tahu. Tapi ini sudah tak boleh keluar dari bibirmu."
"Mas ..."
"Aku merindukanmu, Dek. Tapi ... semua sudah berbeda kini. Keluargaku dan keluargamu sudah berdamai seperti sedia kala. Aku pun tak ingin merusak hari bahagiamu."
Sintya menatap wajah Vandi yang tak jauh berbeda seperti empat tahun yang lalu. Selalu ada cinta di sana. Tapi cinta yang berbeda.
"Anakmu?"
Vandi mengangguk.
"Jadi ... "
"Vino putra semata wayang yang kumiliki. Hanya dia ..." Vandi mendekat, "dan kamu, Dek, akan memiliki putra-putri yang lucu dan menggemaskan sesaat lagi ..."
Sintya tersentak. Pundaknya digenggam erat seseorang. Gadis yang masih belum bisa menenangkan degup jantungnya itu menoleh.
"Aa Dani?"
Dani tersenyum kaku seraya memandang lelaki di depannya.
"Dia ..."
"Salam, Mas. Saya Dani ... calon suami Sintya."
"Saya, Vandi, sepupunya," ujar Vandi seraya menyalami Dani. "Dan ... ini putra saya, Vino." Anak lelaki yang imut dan menggemaskan itu hanya menggeliat manja di dalam buaian ayahnya.
Dani memandang Sintya penuh pengertian. Namun, pandangan Dani semakin membuat hati Sintya tertusuk. Ada sesak yang ia tahan. Dani menyadari satu hal. Ada yang belum tuntas antara Sintya dan Vandi. Ia mengetahui kisah Vandi sekilas dari Sintya beberapa waktu lalu. Dan Dani tak menyangka menjelang hari bahagianya ia akan dipertemukan dengan cinta pertama Sintya. Cinta pertama yang masih tersisa di hati kekasihnya. Cinta yang terasa besar di sana.
Dani mempererat genggaman tangannya. Sintya semakin merasa tak nyaman berada di antara dua lelaki yang bersemayam di hatinya.
"Maaf, ke belakang dulu ya," ujar Sintya kikuk.
Dani menahan Sintya dengan isyarat genggaman yang erat. Sintya membalasnya dengan tatapan mata memohon. Seolah berkata, bahwa ia butuh waktu untuk menenangkan hati, sendiri.
Perlahan Dani melepaskan genggaman tangannya dan mempersilakan kekasihnya itu berlalu.
"So, kali ini gadis kecilku itu benar-benar akan dinikahi pria yang mencintainya ... Terima kasih, sudah mencintainya dengan tulus. Jagalah ia dengan baik. Bila tidak ..."
"Makasih, Mas Vandi. Tentu saja saya akan menjaganya dengan baik. Dan jangan berandai-andai ... Tidak akan saya biarkan Sintya beralih dari sisi saya."
"Kamu terlalu percaya diri, Dani. Salut. Seandainya saja saya bisa sepede itu dahulu, tentu Sintya masih tetap berada di pelukan saya."
Dani menggeram. "Jangan berandai-andai, Mas. Sintya sudah bukan lagi urusanmu. Urus saja istri dan anakmu itu."
Vandi tersenyum. "Kita seri."
"Seri?" Dani memandang penasaran.
"Pria dengan satu anak. Tanpa istri. Sebenarnya peluang kita sama. Saya bisa saja mengambil kembali hati Sintya dengan mudah. Tidakkah kamu lihat, binar cinta di matanya saat bertemu tatap denganku? Ah, seharusnya kamu melihatnya tadi."
"Kau!" Dani mengepalkan tangannya ...
Hening....
"Jangan berani mengganggunya lagi, Mas. Jangan." Dani menegaskan.
Sesaat waktu terasa berhenti berputar. Dani dengan tatapan tajamnya dan Vandi dengan tatap penuh kemenangan dan senyumnya.
"Hahaha." Akhirnya Vandi tertawa dengan puas. "Ya Tuhan, kamu ternyata mudah sekali digoda, Dani. Santai, Bro. Saya tak sekejam itu. Sintya milikmu. Perlakukanlah ia dengan sebaik-baiknya."
Dani melongo. Tubuhnya lunglai ke kursi. Lambat laun ia menertawai kebodohannya dikerjai Vandi.
"Mas menjengkelkan. Kesan pertama yang menyebalkan. Bila tak ingat di mana kita sekarang, sudah habis tak hajar dirimu." Dani mengembuskan napas.
"Hahaha, kamu terlalu serius menghadapi ini. Santai ... Sintya milikmu, takkan diambil orang. Mungkin saja bila saya kembali mengetuk pintu hatinya, bukan tak mungkin ia tak menolak. Tapi rasanya melihat cintamu padanya, ia takkan goyah. Selamat ya. Sekali lagi ... selamat ..." Vandi menyalami tangan Dani dengan hangat.
Dani menyambutnya dengan perasaan mulai tenang.
Sementara ... di sudut sana, Sintya menatap kedua pria yang ia cintai. Cinta ... ya Cinta ... Hatinya masih bisa merasakan itu saat melihat Vandi ... jiwanya masih bisa bergetar hebat saat mendengar suara Vandi ... Detik ini ... ia ingin berlari menuju Vandi dan memeluknya erat ... Ingin ... sangat ingin ...
"Vandi ditinggal istrinya dua bulan lalu. Dia duda." Suara seorang wanita mengagetkannya.
"Mbak Tari?"
"Belum terlambat bila kamu ingin memberikan kesempatan untuknya menebus kesalahan atas waktu kalian yang terbuang sia-sia bertahun lalu." Mbak Tari berucap dengan enteng.
Sintya menatap tak mengerti.
"Kau tahu kenapa aku tak berbahagia? Karena aku tidak punya keberanian untuk memperjuangkan cintaku. Kali ini, kau dipertemukan kembali dengan Vandi dengan situasi yang tentu bukan sebuah kebetulan ... tidakkah kau menganggap ini sebuah kesempatan?"
Sintya terpana.
"Kesempatan?"
"Ya, kesempatanmu mendapatkan kembali apa yang sebenarnya kau inginkan. Kau mencintai Vandi, kan? Bila iya, majulah ..."
Kepala Sintya berputar. Tiba-tiba perutnya serasa dikocok-kocok. Sesaat kemudian, Sintya berlari ke kamar kecil.
"Ini kesempatanmu ... Kesempatan!"
Suara Mbak Tari terngiang-ngiang di telinga ...
"What's next, God?"
Sintya mengguyur kepalanya dengan air dingin. Ia tak daoat berpikir jernih selain wajah Dani yang tampak tersenyum bahagia memandangnya.
"Aku tak boleh melukai hatinya ... apalagi hatiku sendiri ..." ujarnya mantap.
Kali ini ia menarik napas panjang dan tersenyum memandang bayangan dirinya di cermin.
*bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro