Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 30

Sintya tersenyum melihat Dani dan Sherly berlari-lari kecil di taman kota. Sherly bermain gelembung-gelembung sabun. Gadis kecil yang berwajah polos nan cantik itu tampak ceria. Tanpa beban.

Tiba-tiba saja dada Sintya menghangat. Melihat kesungguhan Dani terhadap anak yang sudah dianggap darah dagingnya itu membuat Sintya makin kagum pada lelaki yang tampak lebih dewasa dibanding usianya. Ia memang tidak salah sudah membuka pintu hatinya. Walau ... sesungguhnya ia tidak yakin. Ragu pada diri sendiri. Apakah bisa ia hidup bersama lelaki itu?

Dani berjalan ke arah Sintya, sementara Sherly masih asyik dengan gelembung balonnya.

"Hei ... akhir-akhir ini kamu suka melamun. Masih ada yang mengganjal di hatimu?"

Sintya menggeleng seraya tersenyum. "Tidak, A. Aku baik-baik saja kok. Sherly cantik sekali ... hidungnya mancung." Sintya mengalihkan perhatiannya.

"Ya ... aku dikelilingi gadis-gadis cantik. Betapa beruntungnya aku."

"Pede banget deh, ih. Tapi bener juga sih. Kata Dina, banyak temen-temen Aa yang ingin mendekat. Pada cantik-cantik lagi."

"Ah... biar saja. Yang penting hatiku sudah ada yang memiliki. Eh, ngomong-ngomong, bisa bertemu papa mamamu kapan?"

Sintya menelan ludah. Lalu menatap Dani dengan sendu.

"Kenapa?"

...

"Neng? Kamu malu mengajakku bertemu mereka?"

Sintya menggeleng. "Bukan ... bukan itu. Aku sangat ingin sekali. Bahkan ingin secepatnya membawamu bertemu mereka. Aku tidak ingin kita berlama-lama. Aku menerima lamaranmu bukan untuk berpacaran."

"Lalu? Apa yang terjadi?"

Belum sempat Sintya membuka mulut, ponselnya berbunyi.

"Halo ... Sintya?"

Sintya mengernyit, ia melihat lagi ponselnya. Sebuah deretan angka yang tidak dikenalinya.

"Ya, benar. Dengan siapa saya berbicara?"

"Lusia ... saya Lusia. Istri Jonan."

Sintya tersentak. Tapi ia mencoba tetap tenang. "Jonan? Jonan siapa ya?"

"Sintya, Jonan ... Lelaki yang selalu mengejarmu itu."

"Maaf, Anda salah sambung. Saya tidak mengenal siapa itu Jonan."

"Sintya ... dengarkan saya dulu. Jangan kau tutup telponnya."

"Maaf. Saya sedang sibuk."

"Sebentar saja. Please..."

Huff. Sintya menarik napas.

"Apa yang kamu inginkan, Lusia?"

"Jonan. Ia sedang membutuhkanmu. Jonan ingin bertemu denganmu sebentar saja. Itu permintaannya. Saya mohon. Hanya ini yang bisa menyelamatkan kami. Menyelamatkan pernikahan kami."

Sintya semakin bingung.

"Menyelamatkan pernikahan? Apa maksudnya? Saya tidak punya urusan dengannya. Tidak sedikit pun."

"Sintya. Saya mohon. Hanya ini yang bisa saya lakukan agar Jonan mau memaafkan saya. Mempertemukanmu dengannya dan setelah itu ia akan benar-benar melepasmu demi kami, saya dan anak kami."

Gila.

Dani bisa membaca situasi yang tidak mengenakkan sedang terjadi pada kekasihnya. Ia menggenggam tangan Sintya yang berkeringat seolah meyakinkan Sintya bahwa ia tam sendiri dan tentu saja semua akan baik-baik saja.

"Maaf, Lusia. Saya tidak peduli apa yang terjadi sama kalian. Dan saya mohon, jangan lagi-lagi masuk ke kehidupan saya. Tolong. Selamatkanlah pernikahanmu sendiri. Saya benar-benar tak ada urusan. Dan jangan hubungi saya lagi.  Jangan pernah mengganggu."

"Sintya ..."

"Maaf, masih banyak yang harus saya lakukan."

"Sin--"

Sambungan telpon terputus. Sintya menarik napas, menaruh ponsel di sakunya dan tersenyum memandang Dani.

Sementara Dani membalas pandangan Sintya dengan tatapan "ada apa".

"Gak papa kok. Yuk maen lagi. Tuh Sherly sudah memanggil-manggil ayahnya."

Dani mengalihkan pandangannya ke arah Sherly.

"Yayah ... eskriiim," teriak Sherly sambil meloncat-loncat hingga ekor kudanya yang ikal naik turun. Menggemaskan.

"Yuk, kita ke kedai di ujung sana. Sekalian kita makan siang," ajak Dani.

Sintya mengangguk.

Dani menggandeng tangannya. Sintya tersenyum. Meski ini bukan yang pertama, tapi kali ini ia merasa sengatan listrik yang mengejutkan hatinya. Hangat menjalar hingga ke jantungnya. Sintya mempererat genggaman tangan Dani lalu melangkah bersama.

Aku pasti bahagia. Pasti. Sintya meyakinkan hati sembari menepiskan perasaan cemasnya akan apa yang sebenarnya terjadi pada Jonan dan wanita yang mengaku istri mantan calon suaminya itu.

***

"Kamu tidak boleh menikah dengan laki-laki itu. Apa kata mereka?"

"Mereka siapa, Mah, Pah? Sintya yang menjalani bukan mereka."

Sintya memberanikan diri mempertahankan hatinya. Ia tak mau kejadian yang lalu terulang lagi.

Dua minggu setelah liburannya di Bandung, Sintya mengajak Dani menemui kedua orang tuanya yang sedang mengunjunginya. Tentu saja, setelah beberapa waktu berpisah dan hanya beberapa kali bertemu setiap tahunnya, orangtua Sintya begitu terkejut mendengar putrinya akan menikah. Dengan seorang duda. Itu yang membuat orangtua Sintya memutuskan untuk datang ke kota Malang.

Dan di sinilah mereka berada. Di rumah yang disediakan papa mamanya namun tak pernah ditempati karena ia lebih nyaman tinggal di kosan.

Dani belum lagi membuka suara sejak kata-katanya dicela orangtua Sintya. Ia tak ingin suasana tambah panas. Seperti biasa, ia akan diam lebih dahulu, memperhatikan dan mengambil celah untuk berbicara.

"Bisa apa lelaki seperti dia untuk nasa depan? Mau dikasih makan apa kamu?" tuding mamanya.

"Mah, Sintya mohon. Itu bukan hal yang patut dibahas."

"Siapa bilang? Uang itu perlu. Kamu gak bisa hidup hanya dengan pelukan dan ciuman. Realistis sedikit, Sintya. Buka mata kamu!"

Dani sepertinya jengah. Ia memutuskan untuk segera mengambil jalan tengah.

"Pah, Mah, izinkan saya memanggil dengan sebutan yang sama karena tentu saya juga menganggap papa dan mama adalah orangtua saya juga. Saya hanya ingin meminta restu. Ingin membawa anak papa dan mama ke kehidupan yang lain. Saya tidak meminta banyak. Hanya satu. Sintya. Saya akan memperlakukannya dengan baik. Saya akan berusaha lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kami setelah menikah."

"Siapa bilang ada pernikahan? Tidak akan ada. TITIK!"

Sintya berdiri. Kemudian diikuti Dani. Sintya mendekat lalu memegang tangan Dani.

"Sintya akan tetap menikah, Papah, Mamah. Bila papah dan mamah tidak menyetujuinya, Sintya hanya perlu minta restu saja. Diberi atau tidak, Sintya akan menjalaninya. Sintya tak mau berhenti sampai di sini."

"Sintya!"

"Neng, kamu tak perlu menjadi anak durhaka. Kita bisa lakukan pelan-pelan," gumam Dani.

Sintya tak mengacuhkan Dani. Ia menggenggam tangan Dani erat.

"Mamah, Papah ... Sintya akan tetap menikah dengan Aa' Dani. Sintya sudah dewasa. Dan Sintya berhak atas  pilihan hidup ini. Sintya berhak memilih bahagia yang Sintya mau."

"Sintya, kamu takkan bahagia dengannya. Dia itu ..."

"Duda?"

"..."

"Mamah jangan lupa ... Papah juga seorang duda ketika mamah menerima lamarannya. Apa mamah tidak bahagia dengan hidup mamah sekarang?"

"..."

"Sintya ... cukup. Pergilah. Papah merestui pilihanmu."

"Tapi, Pa ..."

"Diam, Ma. Kau selalu saja bikin tambah masalah. Bila kau merasa tiga puluh tahun kita bukanlah pernikahan yang membahagiakan buatmu, untuk apa kau bertahan selama ini?"

"..."

"Sintya ... Papa merestui hubungan kalian. Katakan ... kapan orangtuamu datang melamar putriku, Dani?"

Tanpa menjawab, Dani memeluk papa Sintya dengan erat. Sintya meneteskan air mata. Sementara sang mama berjalan meninggalkan mereka di ruang tamu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro