Part 3
Yang datang yang pergi
satu jejak menghapus jejak lainnya.
***
"Dik, bangun, sudah pagi. Ditunggu mami di bawah."
Sintya menggeliat. Matanya membuka perlahan. Vandi membuka tirai jendela. Cahaya matahari menelusup membuat Sintya memicingkan mata.
"Masih pagi atau sudah siang ini, Mas? Aku gak dibangunin dari tadi..." keluh Sintya seraya mengikat rambut panjangnya yang terurai.
"Mami bilang biarin tidur aja. Sepertinya kamu kelelahan."
Sintya mengangguk. Maminya Vandi, yang adalah budhenya Sintya, memang sangat pengertian. Sintya kerap menginap di akhir pekan di rumah Vandi. Bekerja di kota Surabaya, dan tinggal di kosan membuat Sintya merasa bosan bila akhir pekan tiba. Sehabis pulang kerja, Vandi menjemputnya dan akhir pekan sudah bisa dipastikan akan ia habiskan di rumah Vandi.
Budhe dan pakdhe, kedua orangtua Vandi? sudah terbiasa dengan kehadiran Sintya. Ia bahkan punya kamar khusus yang selalu ditidurinya bila menginap. Hari Minggu biasanya Sintya akan membantu budhenya membereskan sudut-sudut rumah atau mengacak-acak dapur demi sebuah masakan yang lezat. Atau ia habiskan waktu bersama kakak perempuan Vandi, Lestari, membaca buku atau membuat kerajinan tangan dari manik-manik monte.
"Hari ini mau ke mana sama mbak Tari?" Vandi duduk di samping ranjang.
Sintya menggeserkan kepalanya dan meletakkannya di paha Vandi. Vandi mengelus-ngelus poni Sintya.
"Kayaknya gak ke mana-mana deh. Aku ingin di sini saja."
Vandi mencubit hidung mancung kekasihnya. "Loh itu mbak Tari juga nungguin kamu loh di bawah. Sama mami juga. Mau diajak jalan."
Sintya terbangun. "Aduh. Aku capek, Mas. Bilang aja lagi sakit perut," celetuk Sintya.
"Capek atau caaapeek sih, Dik? Ya udah nanti mas bilang kalau kamu ogah diajak muter-muter karena mau berduaan sama Mas," canda Vandi.
"Nah, itu baru benar. Aku kangen loh. Mas kan dua minggu ini ke luar kota. Apa Mas gak kangen ta sama aku?"
Vandi menjawil ujung hidung Sintya lagi. "Mandi dulu sana. Bauk kasur!"
"Aku masih mengantuk." Alih-alih beranjak mandi, Sintya malah menenggelamkan tubuhnya di balik selimut.
"Ihh, nih cewek jorok ah. Ayo bangun," ujar Vandi sambil menggelitik tubuh Sintya.
Sintya tergelak. Vandi terjerembab. Tubuhnya menempel dengan tubuh Sintya. Bukannya menyuruh Sintya bangun, Vandi justru ikut menarik diri ke dalam selimut. Ia memeluk Sintya dengan lengannya. Refleks Sintya membaringkan kepalanya di dada Vandi.
"Aku selalu suka seperti ini. Aku merasa aman dan nyaman. Bolehkah aku begini terus?"
"Ya ... kalau gak pegel sih, gak apa-apa."
Sintya mengangkat kepalanya. "Pegel?"
"Iya, kayaknya berat badanmu bertambah beberapa kilo selama kutinggal. Aboot e."
"Ih, nyebelin." Sintya menjauh.
"Duh ada yang ngambek nih. Ya udah, Mas turun dulu aaah."
"Ihh."
Vandi gemas. Ditariknya Sintya ke dalam pelukan.
"Becanda, Dik. Jangan suka ngambek. Nanti cepat tua."
"Iya kalau aku tua, Mas lebih tua. Eh, apakah kita bisa tetap seperti ini terus sampai tua nanti?"
Vandi melepaskan pelukannya. Lalu memegang pipi Sintya dengan kedua tangannya. "Semoga. Mas hanya ingin kamu bahagia. Bila kamu merasa bahagia bersama Mas hingga tua nanti, maka jangan pernah berpaling. Jangan pernah."
Vandi mendekatkan wajahnya. Tak peduli Sintya belum menggosok giginya, Vandi menciumnya dengan lembut dan dalam. Sintya membalas ciuman kekasihnya dengan perasaan bahagia. Perasaan penuh dengan cinta.
Vandi dan Sintya tak pernah jauh dari ini. Ciuman hangat dan menggebu itu sudah cukup bagi keduanya. Meski kesempatan untuk jauh melangkah terbuka lebar, Vandi tetap menjaga sepupu tercintanya dengan baik. Sintya begitu menghargai hubungan ini juga dengan baik.
***
"Bila kamu merasa bahagia bersama Mas hingga tua nanti, maka jangan pernah berpaling. Jangan pernah."
Sintya membuka satu per satu isi bungkusan yang tadi diberikan Jonan dengan perasaan kacau. Ada foto-foto kebersamaannya dengan Vandi di berbagai kesempatan. Melihat gambar dirinya bersama kekasihnya membuat Sintya semakin terpuruk dan makin terisak. Benda-benda yang pernah ia berikan sebagai hadiah pun ada di dalam kotak.
"Apa maksudnya ini, Mas?" tanya Sintya dalam tangisnya.
Isaknya terhenti manakala matanya tertuju pada satu foto. Bukan dirinya.
Itu ... seorang gadis cantik berambut pendek. Tersenyum. Dirangkul oleh seorang laki-laki yang tak asing dalam binar matanya. Vandi.
Foto dengan angka-angka di bawahnya. Tanggal pengambilan foto itu tertera di sana. Sintya mengingat-ingat tanggal itu. Tanggal saat Vandi pamit ke luar kota demi sebuah pekerjaan.
Sintya membalik foto itu. Sekalimat kata-kata yang membuatnya dengan segera menghapus air mata di kedua pipinya.
"Jangan menyalahkan diri. Aku yang tak bisa menjaga hati ini untukmu. Aku yang berpaling. Kalau ada yang patut disalahkan, itu adalah aku."
"Bodoh! Bodoh!!! Sandiwara apa ini?"
Sintya mengobrak-abrik semua isi dari dalam kotak.
Sebuah ketukan terdengar cukup keras.
"Sin... Sintya? Buka pintunya! Apa yang terjadi padamu?" Suara Jonan terdengar panik.
Alih-alih memedulikan panggilan Jonan, Sintya memencet panggilan ke nomor Vandi. Berapa kali pun ia mencoba hanya dijawab suara operator.
Sintya merasa dipermainkan. Ia membanting ponselnya dengan kencang hingga terpecah belah.
Pintu didobrak.
Jonan menghambur ke arah Sintya yang terduduk lemas di pojokan pantry.
"Tenang ... tenang. Kamu tak sendiri lagi. Aku akan selalu menjagamu. Takkan kubiarkan siapa pun menjatuhkan air matamu, lagi."
Jangan pernah berpaling. Jangan pernah. JANGAN!!!
Sintya mengangkat kepalanya. Wajah Jonan sangat dekat. Ia bahkan bisa mencium aroma mint dari mulut lelaki yang memeluknya erat.
"Aku ..."
"Ssst. Jangan bicara apa-apa. Aku mengerti."
Jangan pernah berpaling. Jangan Pernah.
Dengan cepat Sintya mencoba berdiri. Mendorong Jonan menjauh.
"Ya, aku tidak boleh berpaling. Dia hanya mengujiku. Menguji hati ini. Aku tidak akan berpaling darinya."
Jonan terperangah. Jonan tidak kaget atas ini semua. Sebelum ia menyerahkan kotal bungkusan itu pada Sintya, ia telah lebih dulu membuka isinya. Ia tahu, ini saat yang tepat untuk masuk ke hati Sintya.
Tapi Jonan salah. Hati Sintya tak mudah digoyahkan. Bahkan oleh kenyataan terpahit sekalipun.
"Sintya, dia telah berkhianat. Dia bukan laki-laki yang baik untukmu." Jonan mencoba menenangkan Sintya.
Sintya bergumam, "Dia hanya mengujiku. Dia hanya mengujiku ..."
Aku akan menjaga hatiku untukmu. Kita akan menua bersama. Aku tidak alan berpaling.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro