
Part 28
Kaki kecil itu berlari-lari menyambut kedatangan yang istimewa. Dani merasakan degup yang tak menentu. Ia tak berani menduga-duga perasaan calon istrinya saat ini. Sementara ibu dan ayahnya saling menggenggam. Ikut merasa resah. Mereka sudah tahu kenyataannya bahwa putra sulungnya belumlah juga menceritakan keadaannya yang sesungguhnya.
"Yayah ... yayah ..." Si kecil berambut ikal itu menubruk tubuh Dani. Ia memeluk erat kedua kaki lelaki yang kini mematung.
"Yayah ..."
"Hello, my little princess." Dani berjongkok dan menciumi putri kecilnya yang tampak cantik dengan kulit putih dan baju berenda merah mudanya.
"Yayah?" Sintya memandangi keduanya dengan perasaan yang entah.
Sang ibu yang menyadari perubahan raut wajah Sintya, menggiring Sintya masuk alih-alih memintanya beristirahat dan menunjukkan kamar yang akan ditempatinya.
Dani memberikan senyum terbaiknya saat Sintya memandang penuh tanya.
"Nanti kita ngobrol setelah kamu bebersih."
Sintya mengangguk. Sepanjang kakinya melangkah menuju kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Matanya memandang sekitar. Dinding berwarna biru muda dengan nuansa shabby itu penuh dengan pigura. Foto-foto penghunu rumah tampak ceria di sana. Matanya tertuju pada foto Dani dan perempuan kecil di sudut kanan. Benarkah mereka ayah dan anak?
Sintya tak sabaran menemukan jawaban. Ia tak tenang di dalam kamar. Dengan sigap ia membersihkan diri lalu berjalan ke ruang tengah. Ruang tempat berkumpulnya keluarga Dani. Mereka sedang bersenda gurau di sana.
"Sini, Neng ..." Dani menepuk sisi sebelahnya sebagai isyarat agar Sintya duduk di sampingnya.
Dani sedang memangku si gadis kecil yang kini tertidur pulas.
Sintya tampak canggung.
"Ada yang ingin kusampaikan ..." ujar Dani.
"Aku ..."
"Nak Sintya ..." belum juga Sintya meneruskan kata-katanya, ibu bersuara, "ada yang harus kamu ketahui, Sayang."
Jantung Sintya berdetak lebih cepat.
"Sherly lahir tiga setengah tahun yang lalu ... Dia --"
"Anak Aa'?" Sintya memotong. Matanya mulai berkaca-kaca.
Dani menggenggam erat jemari Sintya yang berkeringat.
"Aku sudah menikah ..."
Sintya menarik jemarinya dari genggaman Dani lalu meremas-remas jemarinya sendiri.
"Dani menikah dengan sahabat masa kecilnya, Luna, bundanya Sherly. Luna telah hamil sebelum menikah," ibunya mulai bercerita.
"Jadi ... Aa'?"
"Tidak ... ini tak seperti yang kamu pikirkan ... dengarlah dulu. Sebenarnya aku ingin menceritakan ini sejak awal kita dekat. Hanya saja, aku khawatir pikiranmu bertambah ruwet. Aku tahu betapa susahnya kamu memulihkan hati dari Jonan. Aku tak ingin menambah masalah.
Luna ... dia sahabatku sedari kecil. Kami tumbuh bersama. Luna tak punya siapa-siapa. Ia anak yatim piatu yang diangkat oleh nenekku. Satu saat ia mulai mengenal cinta. Persahabatan kami pun sempat terputus. Terlebih karena aku memilih melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di Malang. Suatu hari kami mendapat kabar yang menyedihkan ... kekasih Luna telah menodainya. Ia hamil. Sementara lelaki itu hilang ditelan bumi."
Sintya menyimak. Sesekali ia melihat gadis kecil di pangkuan Dani. Wajah polos itu amatlah cantik. Bibirnya mungil dan merah. Sekilas ia mirip dengan Dani.
"Aku menikahinya. Untuk menjaganya. Hingga Sherly lahir di saat yang tak tepat. Luna kelelahan. Ia meninggalkan kami semua. Sherly tak pernah merasakan pelukan seorang Bunda."
Air mata jatuh di pipi Sintya.
"Kenapa Aa' tak mengatakannya dari dulu? Selama ini Aa' menjaga Sherly sendirian?"
"Tidak. Sherly tumbuh dengan baik bersama ayah, ibu dan adik-adikku. Mereka yang selalu ada."
Ayah, ibu dan Dina, adik bungsu Dani menggurat senyum untuk Sintya.
"Sampai kapan pun ... Sherly adalah anakku. Aku adalah seorang laki-laki yang pernah menikah dan punya seorang anak ... Di depan keluargaku, sekali lagi aku melamarmu ... maukah kamu menjadi ibu bagi Sherly?"
***
"Tidak!"
Sintya menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara penolakan dari seberang seperti suara kucing kejepit pintu.
"Mah ... Sintya tidak minta apa-apa. Hanya restu saja."
"Tidak. Kamu jangan tambah bikin malu, Sintya. Duda loh itu. Dudaaa."
Sintya mengembuskan napas. "Kenapa dengan duda?"
"Sekali duda, bisa dua tiga kali lagi dudanya."
Sintya tertawa. Alasan macam apa itu?
"Mamah ngaco deh. Mana ada aturan begitu?"
"Loh, banyak kok yang begitu. Pria gemar kawin kalo begitu."
"Mamah, A Dani gak seperti itu. Lagi pula ini bukan duda kawin cerai. Tapi duda karena ditinggal mati istrinya."
"Mama tetap tidak setuju. Mana ada anak pula. Sintya, jangan merasa kalah sama waktu lantas apa yang ada di depan mata dicaplok juga."
Sintya mendengus.
"Mamah apaan sih? Ini bukan masalah caplok-caplokan. Sintya ... sudah lama mengenal Dani. Dan ... ini yang terbaik untuk Sintya. Sintya sudah menunggu saat ini, Mah. Sintya mohon Mamah mengerti. Kali ini. Kali ini saja ... biarkan Sintya memilih untuk masa depan Sintya."
"Tidak, Sintya. Jangan coba-coba. Mamah punya yang lebih baik dari duda itu. Apa yang kamu harapkan ... dari pria yang kerjanya hanya ... sales?"
Dada Sintya bergemuruh.
"Memangnya kenapa dengan itu? Gak ada yang salah dengan pekerjaan Dani."
"Sintya! Kamu anak Mamah satu-satunya. Mamah gak ingin masa depanmu penuh tanda tanya. Mau dibawa ke mana hidup dengan pria itu? Kamu takkan bahagia."
"Mamah ... "Sintya mengembuskan napas. Ia kehabisan kata-kata.
Sementara dari kejauhan, Dani berjalan ke arahnya dengan dua gelas jus jeruk.
"Mah, nanti Sintya telpon lagi. Mamah dan Papah jaga kesehatan ya. Secepatnya Sintya akan membawa Dani menemui Mamah dan Papah."
"Sintya, jangan berani-beraninya kamu ba--"
Belum juga selesai wanita itu berkata-kata, Sintya telah memutuskan panggilan sepihak.
Ia menaruh ponsel di meja. Lalu menyambut Dani dengan senyuman.
"Ada kabar apa? Kok cemberut gitu wajahnya?"
Sintya menggeleng dan mengatakan ia baik-baik saja.
"Sherly di mana?"
Dani duduk di samping Sintya.
"Diajak tantenya ke pasar. Gimana tidurnya? Nyenyak?"
Sintya tersenyum. Ia mengambil gelas jus di atas meja dan meminumnya sedikit.
"Nyenyak. Bahkan aku tak merasa gatal saat digigit nyamuk. Hahaha." Sintya tertawa sedikit canggung.
"Ada yang kamu pikirkan?"
Pikirkan? Tentu saja. Ia memikirkan kata-kata mamahnya barusan. Dan lagi ia belum menjawab pertanyaan Dani kemarin. Apakah ia siap menjadi bundanya Sherly? Apakah ia siap menjadi istri seorang duda?
"Hei ... malah melamun ..."
Sintya menggeleng. "Gak kok. Oh ya ... ada yang ingin kutanyakan ..."
Dani mengangguk. "Tanya aja. Jangan dipendam ..."
"Apa Aa' mencintai Luna?"
"Luna?"
Sintya mengangguk. "Ya, Luna. .. apa kamu mencintainya?"
Dani terpaku. Apa aku mencintainya?
"Sedalam apa cintamu padanya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro