Part 26
Di sudut ruang kerjanya, Jonan terpaku. Hatinya resah. Lusia menangis sejak sore tadi. Harusnya ia lega karena Jonan akan menyudahi kesengsaraannya. Apalah arti seorang istri bila tidak pernah benar-benar menjadi istri.
Keresahan Jonan semakin tiada tara ketika melihat kegembiraan Sintya di akun media sosialnya. Bagaimana tidak? Sintya dengan bahagianya menunjukkan bahwa kini ia benar-benar memiliki seseorang yang sungguh mencintainya.
Dani. Jonan tak menyangka keseriusan bocah ingusan itu mengalahi cintanya pada Sintya. Benar-benar ia telah kalah.
"Mas ... tak bisakah kau mengubah keputusanmu?" Lusia muncul dari balik pintu. Suaranya melemah. Ia mengesampingkan egonya. Ia ingin rumah tangganya bisa diperbaiki. Setidaknya ... sedikit lebih baik.
Jonan membisu. Ia bangkit dari kursi. Berjalan menuju jendela. Dan menerawang jauh ke luar sana. Hujan deras sedari tadi semakin membuat suasana menjadi sendu.
"Mas Jonan, tolong jangan abaikan aku. Bagaimanapun juga, kita masih suami istri. Walau ... walau kau tak pernah mau lagi menyentuhku."
Jonan membalikkan badan. Memandangi Lusia yang tampak awut-awutan. Lusia masih tetap cantik dan seksi meski telah melahirkan seorang anak. Namun, semua itu tak juga membangkitkan gairah seorang Jonan. Tidak lagi semenjak hari itu ...
Hari menjelang pernikahannya dengan Lusia. Selena kembali hadir. Wanita itu memang senang sekali membuat hidup Jonan tambah berantakan.
Dua tahun yang lalu ...
Wanita berkacamata hitam itu duduk menyilangkan kaki jenjangnya sembari memegang beberapa lembar foto.
"Lihatlah!"
Jonan mengambil lembaran foto dan melihatnya satu per satu. Ia menarik napas. Lalu kembali memandang Selena.
"Apa yang kauinginkan, Selena?"
Selena tertawa kecil. Ia mengambil cangkir kopi lalu menyesapnya pelan-pelan.
"Tenang saja, Jo. Aku tidak akan bertindak jauh seperti waktu itu. Aku memang mencintaimu. Pernah. Setidaknya itu dulu..."
"Ya ... ya aku tahu. Sebelum akhirnya kamu bertemu dengan pria itu, kan. Pria yang jauh lebih bisa memberimu segalanya dibanding aku," ucap Jonan miris. "Tapi ini semua ... apa maksudmu?" tanya Jonan seraya meletakkan lembaran-lembaran foto di meja.
"Ya, agar kau tahu saja. Aku mencintaimu sekaligus membencimu, tapi aku tak ingin hidupmu jauh lebih berantakan. Paling tidak, kau harus tahu bagaimana calon istrimu itu. Dia tidak lebih baik dibandingkan aku."
Jonan kembali melirik gambar diri wanita yang akan dinikahinya beberapa hari lagi karena sebuah rasa tanggungjawab. Wanita itu tanpa rasa berdosa bersama lelaki lain. Dan foto itu jauh dari kata biasa-biasa saja.
"Jadi? Kau akan tetap melanjutkan itu? Karena sebuah tanggung jawab yang tak semestinya kaupegang? Ckckck, kasihan sekali hidupmu, Jo."
Jonan geram. "Tutup mulutmu, Selena. Andai saja kau tidak ada saat aku berhubungan dengan Sintya, semua ini takkan terjadi. Andai saja ..."
"Hentikan, Jo. Kau tak perlu lagi menyalahkanku atas kelakuanmu. Sadar dirilah. Itu bukan sepenuhnya kesalahanku. Harusnya kau bisa jadi laki-laki yang benar-benar laki!"
Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi merah muda Selena.
"Jangan lagi kau menyentuhku, Jonan. Ini!" Selena buru-buru mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah undangan pernikahan.
Jonan membiarkannya di atas meja. Ia benar-benar sudah tak peduli tentang Selena. Ada hal yang lebih mengganggu pikirannya.
Lusia dan lelaki itu.
Apakah itu berarti ...
Janin yang tumbuh dan berkembang di rahim Lusia, bukanlah anaknya.
Tapi, sebuah keputusan telah diambil ... dan ia tak bisa menggagalkan pernikahan ini. Apalah kata keluarga bila kali ini lagi-lagi ia gagal menikah.
***
"Mas Jonan..." Lusia mendekati Jonan yang terpaku di ujung jendela.
Daun jendela yang sedikit terbuka membuat embusan angin menarikan gordennya. Dingin terasa. Lusia memeluk pinggang Jonan. Pria itu tetap bergeming. Hatinya sudah mati.
"Mas..." Lusia semakin erat mendekap. "Bisakah kita memulai dari awal hubungan kita?"
Jonan tetap bungkam. Perlahan ia melepaskan genggaman Lusia dan berjalan menjauh.
Lusia frustrasi.
"Mas Jonan. Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti ini? Sebenarnya apa salahku hingga kau perlakukan aku sejahat ini?"
Jonan bereaksi. Ia sudah terlalu lama diam dalam kebisuan.
"Kamu bertanya apa salahmu?" Mata Jonan menusuk jauh ke dalam bola mata Lusia.
Lusia tertohok. "Apakah benar aku melakukan kesalahan?"
"Coba kamu ingat-ingat, apa yang kamu lakukan di belakangku."
Lusia terhenyak. "Apa? Aku tidak pernah melakukan hal aneh di belakangmu. Demi Tuhan, Jonan, jangan bermain teka-teki."
"Jangan bawa-bawa Tuhan, Lusia."
"Ya Allah, Mas Jonan. Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Katakan saja."
Jonan berjalan menuju meja. Lusia memperhatikannya dengan degup jantung tak menentu. Apa yang ingin ia tunjukan?
Jonan menarik laci dan mengambil sesuatu di dalamnya. Lalu membuangnya di atas meja dengan kasar.
"Siapa dia?"
"Dia siapa?" Lusia mendekati meja dan mengambil amplop dengan tergesa-gesa lalu membukanya.
"Ini ...?"
"Ayah Virgo?" tembak Jonan.
Lusia menggeleng-geleng. Matanya menatap nyalang Jonan. Dan seketika ia terduduk lemas.
"Jadi benar?"
Lusia bungkam. Dilihatnya satu per satu foto bertahun lalu. Bagaimana bisa Jonan mendapatkan gambar dirinya? Batinnya bertanya-tanya.
"Lusia?" Jonan membentak. Ini kali pertama Jonan berteriak di rumah ini. Teriakan yang memekakkan telinga.
"Dia bukan siapa-siapa, Mas. Dia hanya seseorang dari masa laluku."
"Bohong!"
Lusia terisak. "Benar, Mas. Dia memang kekasihku, dulu. Jauh sebelum aku menikah denganmu."
Jonan memukul meja dengan kepalan tangannya.
"Sudahlah, Lusia. Aku tahu semua. Bahkan setelah kita menikah pun, kamu masih terus bersamanya. Menemuinya. Bercinta dengannya ... aku tahu. Aku tahu."
Lusia menatap Jonan tak percaya. "Apa ..."
"Tak usah kamu tutupi, Lusia. Aku tahu semuanya. Semua," ujar Jonan melemah.
Manalah yang lebih menyakitkan. Seorang istri yang mengetahui tak ada cinta di hati suami untuknya, ataukah seorang suami yang mengetahui dikhianati oleh istrinya?
"Mengapa kamu terus bertahan dalam rumah tangga ini, Lusia? Mengapa tak kamu akhiri saja? Kenapa kamu masih berdiam di sini?"
Lusia tak bisa berkata-kata. Ia seperti tikus yang terperangkap.
"Kamu melakukan ini karena sakit hatimu padaku yang masih mencintai dan akan selalu terus mencintai Sintya? Iya?"
Lusia menggeleng. "Tidak, Mas ... tidak ..." Lusia mengisak.
"Ya Tuhan, Lusia... Kamu sadar telah menipu banyak orang? Aku ini sudah berengsek, ternyata masih ada yang jauh lebih berengsek dariku. Sadarkah kamu? Wanita macam apa kamu itu?"
Lusia makin mengisak.
"Virgo ... jadi dia bukan darah dagingku?"
Lusia tak berani menatap Jonan.
"Lusia?"
"Itu ..."
"Bu, Pak ..."
"Apa!?" teriak Jonan ke arah pintu.
Seorang wanita paruh baya memegang dadanya. Ia terkejut.
"Maaf, itu, Virgo kejang-kejang."
Lusia bangkit dan berlari, tanpa mempedulikan teriakan Jonan yang memanggil namanya.
Sementara Jonan, alih-alih mengikuti Lusia, ia menjatuhkan diri ke kursi. Kepalanya serasa meledak.
Ini sungguh memalukan. Ini benar-benar memalukan. Haruskah hidupku tambah hancur?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro