Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 25

Jonan tersenyum saat menerima sebuah pesan. Kirimannya telah selamat sampai tujuan. Ia membayangkan ekspresi kaget Sintya saat menerimanya. Hari ini adalah hari ulang tahun pujaan hatinya. Alih-alih memberikan hadiah yang biasa, ia memberikan sesuatu yang tentunya akan dikenang terus oleh Sintya. Sepasang Love Bird. Bodohnya, ia tidak meninggalkan nomor teleponnya di sana selain inisial J.

Besar harapan Jonan, setelah tiga tahun berlalu, semua akan benar-benar berbeda. Jonan mengharapkan dimaafkan seluas hati oleh Sintya. Sebuah harapan yang tentu saja ia tahu bahwa itu benar-benar sebuah kesia-siaan. Ia sudah tahu apa yang akan diberikan oleh Sintya. Tak ada kata lain selain, pergilah.

"Hei!" Sebuah lemparan bantal telak mengenai kepalanya. "Masih melamunkan wanitamu itu?"

Jonan bergeming. Ia tidak peduli dengan sikap Lusia. Itu sudah biasa ia terima.

"Jonan! Kau itu benar-benar menyebalkan. Tengok anakmu di kamarnya. Sana!"

Jonan menarik napas panjang, bangkit dari sofa, meletakkan ponselnya di meja lalu meninggalkan Lusia yang masih cemberut kesal.

Lusia penasaran apa yang ada di ponsel Jonan. Dengan gesit ia meraihnya. Begitu tampak mata, layar ponselnya sudah penuh dengan foto-foto Sintya. Refleks saja Lusia membanting ponsel itu dengan keras.

Jonan berbalik.

"Apa yang kau lakukan, Lusia?" Jonan berlari ke arah ponselnya yang tercerai berai.

"Kau ..."

"Apa? Mau menamparku? Tampar ... ini ...! Harusnya aku yang menamparmu, Mas. Harusnya aku! Mau sampai kapan kau begini terus demi dia? Lihat ... hidup kau yang kayak mayat hidup. Kalau bukan karena Virgo, dah pergi jauh-jauh aku dari sini."

Jonan menyatukan ponselnya yang hancur lebur. Dalam hati dia menangis. Mengapa ia terlalu lemah karena kecintaannya. Mengapa dia terlalu bodoh.

"Mas Jonan. Coba lihatlah aku. Lihatlah. Kau sempat memandang aku ada. Kau sempat meletakkanku di sudut hatimu walau sedikit. Setidaknya kita pernah satu rasa. Terlebih, ada Virgo di sini. Tengoklah dia. Dia anak kau loh itu, bukan anak hilang yang kita temukan di jalan lalu dibawa pulang. Sadarlah, Mas. Sadar... Pantas saja wanita itu menolak dirimu untuk kembali padanya. Kau saja tak bisa menjaga diri sendiri, bagaimana bisa menjaga orang lain."

"Cukup, Lusia. Cukup." Jonan bereaksi. Ia membalikkan tubuh dan berjalan menuju kamar Virgo, putra kecilnya yang sedang butuh pelukan kedua orangtuanya.

"Lari terus! Selalu saja kau berlari. Kau tak benar-benar berani menghadapinya. Sungguh kau laki-laki pengecut."

Jonan menghentikan langkah kakinya. "Besok, aku akan mengantarkanmu ke rumah orangtuamu," ujarnya dingin.

"Apa?" Lusia tersentak.

***

Sintya, Dani dan Leli saling memandang. Beberapa jeda. Keheningan melanda.

"Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?" tanya Dani. "Hei, yang sedang berulang tahun, cantik sekali kamu pakai itu," tunjuknya seraya meletakkan sesuatu di ujung ranjang.

Sintya buru-buru menghilangkan raut  cengonya. Leli berkedip seolah isyarat agar Sintya tidak menceritakan apa yang terjadi barusan.

"Kita pergi sekarang? Tunggulah di ruang tamu, aku harus menyelesaikan sesuatu dulu," ujar Sintya.

"Udah, jangan dandan lagi. Begitu lebih alami. Kamu gak perlu memoles wajahmu yang sudah cantik itu," goda Dani.

Sintya melotot, tak ingin dibantah.

"Ayo, ayo ...," tarik Leli. Dani mengikuti.

Sintya menarik napas panjang begitu Dani dan Leli berbalik badan.

"Eit, sebentar ... kamu beli burung?" Dani menoleh dan menunjuk kandang burung di atas meja.

"Iya, tak beliin itu," tukas Leli.

Dani mengernyit. Lantas ber O ria.

Sintya tersenyum ke arah Leli seoalh mengatakan, terima kasih.

Leli menutup pintu. Sintya membolak-balik kartu ucapan yang ia pegang.

Mas Jo ... terima kasih, Mas masih mengingat hari ulang tahunku. Di mana pun Mas berada, semoga berbahagia. Kita punya jalan bahagia yang berbeda. Semoga Mas mengerti.

Ya Allah, jangan biarkan kehidupanku yang akan segera dimulai ini menjadi retak. Izinkanlah aku menjemput takdirku. Tanpa ada Mas Jonan di dalamnya.

Sekali lagi Sintya mengembuskan napas panjang tanda kelegaan hatinya.

Aku akan memberikan jawabannya malam ini.

***

Kerlap-kerlip lampu kota Malang dan sekitarnya terlihat indah dari atas kota Batu. Sejauh mata memandang, Sintya merasakan kedamaian melihat cahaya-cahaya yang menentramkan hati.

Dani sengaja memilih sebuah tempat sederhana di tebing Payung, Batu untuk memperlihatkan suasana romantisnya malam hari. Camilan roti bakar dan segelas cokelat hangat menemani. Sintya tak mau diajak ke restoran. Ia lebih memilih menikmati suasana istimewa dengan kesederhanaan.

"Hei, melamunkan apa?"

"Hemmm, enggak. Cuma dingin aja ..." 

Udara Batu di malam hari memang dingin apalagi di tempat seperti ini.

"Pakai ini ..." Dani memakaikan jaketnya ke tubuh Sintya. Sweater yang Sintya kenakan tidak mampu menghalau dinginnya malam.

"Kamu?"

"Ah, dingin segini aja loh. Udah biasa."

Sintya tersenyum. "Makasih ya ..."

Dani dan Sintya tiba-tiba dilanda kekagokkan. Dua insan yang biasanya ceplas-ceplos kini bagai orang asing yang mulai saling mengenal kembali.

"Hahhaha. Kita ini aneh ..." Dani menyadari keadaan.

"Iya, canggung amat perasaan. Biasa aja kali."

"Ehem ... Neng, maaf ... hari ini aku tidak membawa kado untuk hari ulang tahunmu ..."

"Sst... Ulang tahun gak mesti ada kadonya kali. Adanya kamu di sini juga sudah membuatku senang. Paling tidak, aku tidak sendirian di akhir dua puluhan hahahha."

Dani menyunggingkan senyum. Lesung pipinya terlihat. Sintya selalu menggoda bila melihat itu. Gemas, ia lalu menusuk lesung pipinya dengan jari telunjuk.

Dani memegang jemari Sintya yang kini menempel di wajah lelaki itu.
Sintya tersentak. Biasanya Dani tak pernah marah bila lesung pipinya ditusuk. Tapi ...

"Maaf ..." pinta Sintya.

Alih-alih marah, Dani justru membelai jemari Sintya dengan lembut. Lalu membawa jemari ke dadanya.

"Aku bukan hanya menemanimu di akhir dua puluhan, Neng. Aku ingin menemanimu, dua tiga tahun lagi, lalu sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun lagi ... bahkan kalau boleh dan diizinkan aku ingin menemanimu selalu saat kamu sudah memejamkan mata. Agar kamu tak kesepian. Eh salah, sebenarnya, agar aku tak kesepian. Agar ada yang menusuk lesung pipiku lagi, agar ada yang membuang komedo di hidungku, agar ada yang menggunting kukuku, agar ada ... yang ... bisa ... memeluk dari balik punggungku."

Sintya berkaca-kaca.
Kebersamaan 3 tahun berkelebat di benaknya. Tak pernah satu kali pun Dani marah padanya. Tak pernah satu kali pun Dani pergi darinya. Ia selalu ada. Bahkan di saat tak terduga. Dalam jarak yang terbentang pun Dani selalu berusaha hadir di hadapan Sintya.

Sintya menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku tak bisa ..."

"Tak bisa?"

"Kamu terlalu baik untukku. Aku ... aku tak sebaik yang kamu pikir. Aku punya masa lalu yang tak bisa dimaafkan. Aku ..."

"Ssst ... masa lalumu, biarlah menjadi milikmu sendiri. Dan biarkan masa depan menjadi milik kita berdua."

"Aku sudah..."

"Sudah, aku juga punya masa lalu. Mulai detik ini, aku gak mau kita membahas masa lalu."

Dani menggenggam erat jemari Sintya.

"Iya."

"Iya?"

Sintya mengangguk-angguk.

"Iya, atas pertanyaanmu tiga tahun lalu."

"..."

"Aku bersedia menikah denganmu."

"Aku tidak," potong Dani.

"Apa?" Sintya terkejut.

Dani menatap Sintya lekat. "Aku tidak memintamu menjawab pertanyaan itu. Tidak bila kamu terpaksa. Bila kamu belum benar-benar siap, jangan berkata iya."

Sintya tersenyum. "Tiga tahun berlalu, aku yakin, inilah saat aku benar-benar siap."

"Bukan karena kamu akan menjadi tiga puluh kan ..." canda Dani.

"Ih, nyebelin. Ya ya, aku sudah tua ... jadi kamu memikirkan kembali soal lamaranmu itu? Atau kamu menyesal pernah melamarku?"

Hahhaha. Tawa Dani pecah.
"Enggaklah ... kamu menjadi tua, begitu pun aku. Dan kita akan menua bersama. Jadi kamu benar-benar berkata iya?"

"Heem, gak jadi deh. Aku pikir-pikir lagi. Sepertinya punya pasangan berondong akan menyusahkan. Manjanya ampun deh."

"Enak aja. Perasaan yang manja itu kamu deh," Dani gak mau kalah.

"Hahaha iya juga ya. Makasih ya, Dan. Sudah selalu ada untukku."

Dani mengangguk. "Terima kasih juga, sudah mengizinkan aku hadir dalam hidupmu ..."

...

catatan kecil untuk pembaca.
Pengennya segera ending ... tapi ... rasanya kok belum pas ya. Masih belum mau berpisah sama Sintya dan Dani. Enaknya diapain ini?

Niatnya mau dibikin versi utuhnya cuma dalam bentuk cetak. Karena part di wattpad mini-mini, jadi untuk versi cetaknya kubikin lebih gress.

Tapi itu nanti. Berhubung masih banyak naskah di penerbit yang kukelola, terpaksa ngalah dulu hahahah.

BTW terima kasih ya sudah setia membaca Sin. Meski aku lambat banget updatenya ... sekali lagi terima kasih ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro