Part 24
Sudah terlalu lama pria itu menatap layar 17 inch di hadapannya. Sebuah halaman terbuka di browser-nya. Akun facebook seorang wanita yang lama ia rindukan. Tampak senyum tipis dari wajah cantiknya yang tak berubah di foto profil. Masih sama seperti dulu.
Ya, masih saja sama. Inilah yang ia lakukan saat-saat waktu memberinya kesempatan untuk beristirahat dari rutinitas yang menyebalkan. Ia selalu melihat Sintya di jejaring sosial. Ia harus menjadi orang lain untuk berteman dengan wanita itu. Ia menguntit ke mana Sintya bersosialisasi. Itu gampang. Karena Sintya tetap menggunakan nama aslinya. Dan ... siapa yang tak mengenalnya. Kini pemilik cintanya itu adalah seorang penulis yang kerap mengisi media cetak.
Jonan menarik napas panjang saat membaca status yang baru saja ditulis oleh Sintya.
"Kegagalan bukanlah sebuah penghalang. Berkali kau gagal, berkali juga kau peroleh kesempatan. Semua orang pernah terluka karenanya. Tapi tidak semua orang berhasil memanfaatkan kesempatannya untuk memulihkan luka karena sebuah kegagalan. Kau ... termasuk yang mana?"
Jonan mengetikkan komentar ...
"Bagaimana bila tidak ada kesempatan datang ...?"
Komentarnya tenggelam di antara komen-komen lainnya. Masih saja selalu sama. Sintya bukan tipe orang yang gemar membalas komentar satu per satu. Sesekali Sintya membalas komentar secara global-- bukan tertuju pada satu akun semata.
Namun, mata Jonan berbinar, mana kala notifikasi Sintya membalas komentarnya muncul.
"Datang atau tidak, kitalah yang hendaknya menjemput kesempatan. Pandai-pandailah membaca situasi. Bila kau merasa terpuruk karena telah melakukan sebuah kesalahan, berusahalah bangkit. Bila kau sudah mencoba memperbaiki kegagalanmu, namun tak berhasil, jangan berkecil hati. Itu artinya, tempatmu memang bukan di sana. Melangkah ... karena kesempatan bukan hanya di titik tempatmu berdiri."
"Aku sudah melangkah. Mencoba melangkah, Sin. Tapi lagi dan lagi, langkahku salah. Karena hatiku masih tertuju padamu," ujar Jonan seraya menatap lekat foto profil Sintya.
Sebuah panggilan telepon mengagetkannya. Dilihatnya nama pemanggil. Lalu dengan malas ia mengabaikannya. Tangannya kembali memainkan mouse. Scrolling status-status Sintya yang berulang kali ia baca. Tampaknya waktu memang mengubah Sintya menjadi jauh lebih dewasa. Apa karena menulis? Orang bilang menulis bisa menjadi terapi pemulih jiwa. Apakah ia benar telah menghapusku dari hatinya?
Notifikasi WA berbunyi bertubi-tubi.
Gak pulang lagi kau?
Ya ampun!!!
Laki-laki macam apa kau itu? Gak tengok anak kau sakit? Cukuplah kau buat aku menderita. Jangan pula anak kita yang kau buat sengsara.
Jo!
Jonan!!!
Jonan meletakkan ponselnya di sebelah keyboard. Dadanya terasa sesak. Matanya menatap pigura kecil di sisi sebelah kiri. Seorang anak laki-laki berusia satu tahunan dengan mata bulat bercahaya menatap lurus ke depan.
Lagi-lagi ponsel berbunyi. Segera ia mengangkatnya.
"Lusia? Aku akan pulang. Ini masih banyak kerjaan. A-"
"Kerjaan gak akan ada habisnya, Jo. Sudah berapa malam tidur di apotek? Aku tak mau tahu, pulang malam ini! Anak sakit bukannya diurusin. Orang lain sakit, selalu diutamain. Bawa obat jangan lupa. Percuma punya ayah dikelilingin banyak obat tapi anak sendiri gak diobatin," ujar Lusia kesal.
"Iya. Tunggu sejam lagi."
"Gak mau tahu, cepet pulang!" Teriak Lusia.
Jonan menutup panggilan tanpa salam. Tak bisakah istrinya itu bicara tanpa teriak? Tak bisakah Lusia berkata lembut setidaknya seperti Sintya?
Sintya? Argh, kenapa otakku selalu penuh dengan namamu, Sin?
Kalau saja Jonan tidak melakukan kesalahan lain demi menutupi kesalahan terdahulu, mungkin saja kehidupan seperti di neraka ini tidak akan ia jalani.
2 tahun yang lalu ...
"Mas, aku hamil." Gadis itu mengucap sebuah kenyataan yang membuat Jonan tak berkutik.
Lusia, asisten apoteker di tempatnya bekerja. Ketika memutuskan hijrah dari Alor, Jonan kembali ke pulau Jawa dan menetap di tanah kelahirannya, Mojokerto. Di sana ia bergabung dengan rekannya mendirikan sebuah apotek. Dan di sanalah ia berkenalan dengan gadis manis berambut ikal berdarah batak. Semua karena terbiasa. Terbiasa bersama membuat mereka saling dekat. Tanpa ikatan berpacaran. Teman tapi mesra. Namun, karena nafsu yang tak bisa dibendung, hubungan pertemanan itu benar-benar lebih dari sekadar teman.
"Mas? Kau akan bertanggungjawab, kan? Ini bukan hal kecil," tanya Lusia. Gadis itu memang sangat menyukai dan mencintai Jonan. Ia sadar, adanya dirinya hanya sebatas pelarian semata. Lusia tahu cerita tentang Sintya dan betapa besar cinta Jonan untuk gadis yang entah ada di mana itu.Tapi usahanya untuk mengikat Jonan berhasil. Benih Jonan tumbuh di dalamnya.
"Lusia, aku tidak akan mundur kali ini. Bila ini memang takdirku, aku akan menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Tapi ... kumohon jangan kau minta aku untuk melepaskan Sintya dari hati dan pikiranku."
"Lelaki macam apa kau ini!"
"Kau hamil bukan karena keinginanku, Lusia."
"Berengsek!!!"
"Terserah kau sebut aku apa. Berengsek, bajingan, lelaki tak tahu diri, silakan. Sebut saja. Begitulah aku, dan kau masih saja nempel padaku," ucap Jonan tanpa ekspresi.
Kehamilan Lusia bukanlah apa-apa untuknya. Meski ia cemas kehidupan seperti apa yang akan ia jalani dengan wanita yang tak menghargai seorang laki-laki seperti Lusia. Adalah sebuah kesalahan karena membuka pintu hatinya untuk Lusia. Wanita itu jauh dari kata ideal buatnya. Wanita yang suka marah-marah dan egois. Satu kelebihannya yang bisa dipandang adalah, ya benar ... Lusia bertubuh bak gitar spanyol. Laki-laki mana yang mampu mengalihkan pandangan dari tubuh seksi itu. Jonan tentu saja laki-laki yang tak menolak diberi tanpa meminta.
Pernikahan tak dapat dihindari. Jonan menikahinya. Namun, tak satu malam pun ia merebahkan tubuhnya di samping Lusia. Ia lebih suka tidur di ruang TV atau di apoteknya. Lusia tak dapat melarang. Dinikahi Jonan saja, ia sudah beruntung. Setidaknya, ia tak perlu lagi bekerja, ditambah keluarga Jonan yang memang keluarga terpandang, sedikit banyak mengangkat derajat hidupnya. Semuanya terpenuhi. Dan lagi, segala gerak-geriknya tak diperhatikan Jonan. Ia bebas bertemu siapa saja, dan mau apa saja.
Namun, semua berubah ketika Jonan hampir tak pernah pulang. Lusia baru merasa keberadaannya sebagai seorang istri sangat tidak berarti. Apalagi, kehadiran Virgo, anak lelakinya yang membutuhkan sosok ayah, benar-benar membuatnya frustrasi. Ia tak mungkin membesarkan anaknya seorang diri. Bagaimanapun, ia ingin membuat Jonan mengerti posisinya sebagai seorang ayah.
***
Sementara itu ...
Sintya mematut dirinya di depan cermin. Rasanya ia telah lama tidak memanjakan diri berkaca. Bekerja di basecamp dan hanya di dalam ruangan selayaknya rumah sendiri, membuatnya tidak peduli berias diri. Namun, itu berdampak positif untuk kulit wajahnya. Bebas dari riasan, membuat wajahnya lebih natural. Alih-alih terlihat sebagai seorang wanita yang akan menuju kepala tiga, ia justru terlihat seperti gadis remaja yang imut.
Sintya tersenyum sendiri memandangi wajah mulusnya. Akhir pekan ini, ia menerima ajakan Dani untuk berlibur ke kota wisata Batu. Bukan hal baru memang. Karena Batu selalu ia lewati ketika pulang pergi dari Malang ke Kediri. Malam ini ia berniat untuk menjawab pertanyaan Dani tiga tahun yang lalu. Dengan penuh keyakinan, ia akan memberikan jawaban yang tepat.
"Mbak ... Mbak Sin?"
"Ya, Lel, masuk aja."
Leli, teman satu kosan yang sedang sibuk-sibuknya masa skripsi, menyembul dari balik pintu.
"Duh, yang mau diapelin ..."
"Ah, apaan sih. Biasa aja kali."
"Nih, Mbak ..." Leli menyerahkan bungkusan besar.
"Apa ini?" Sintya menerima bungkusan yang terasa berat di pegangannya. Sintya dan Leli saling berpandangan begitu terdengar suara cericit dari dalam bungkusan
"Gak tahu. Ada yang nganterin. Udah pergi lagi. Kurir kayaknya sih. Coba dibuka, aku penasaran."
Sintya membuka dengan hati-hati ... bunyinya seperti ...
"Wow ..."
"Love Bird. Sepasang lagi ... romantis amat. Baru kali ini aku lihat ada kekasih yang menghadiahkan burung," goda Leli.
Sintya menatap tak percaya. Diambilnya kartu ucapan di sana.
Happy Birthday, Sintya.
Kuharap kamu menyukai hadiah ini ...
Kamu tahu, Love Bird adalah burung yang setia pada pasangannya.
Bila yang satu mati, bisa dipastikan yang satunya lagi segan untuk hidup.
Aku, yang selalu mencintaimu ... tanpamu, aku hampa.
"Bukan dari Dani ..." ujar Sintya pelan.
"Ha? Bukan Dani? Lalu ...?" Leli mengambil paksa kartu ucapan merah jambu itu.
"With Love, J ..." Leli membaca penutup ucapan itu.
Sintya terduduk lemas. Leli memandang cemas.
"Sin?"
Dani muncul di depan pintu kamar.
Ketiganya saling memandang.
Dan detik jam terdengar .... tak tik tak tik ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro