Part 23
"Maafkan aku, Sintya ..." Jonan terpaku dengan tubuh lunglai Sintya dalam rengkuhannya.
Sesungguhnya Jonan tak punya niat menyakiti Sintya sedikit pun. Di detik-detik terakhir, ia masih berharap Sintya berkata iya atas permintaannya. Namun, keegoisan hatinya menutup akal sehat. Sintya terlalu kaget atas perlakuan Jonan yang menarik paksa tubuhnya. Dan tanpa diduga kehadiran Dani mengubah segalanya.
"Maaf, Sintya. Aku harus melakukan ini." Dani yang melihat perlakuan Jonan menghadiahkan sebuah pukulan telak ke lelaki yang menyakiti Sintya.
Namun, Sintya refleks menghalangi.
"Apa yang ... Mas? Ough."
"Sintya!"
Sintya lunglai. Alih-alih menghantam Jonan, pukulan Dani mengenai dada Sintya. Seketika semuanya gelap.
***
Setelah beberapa waktu berkutat dengan pertolongan pertama, Jonan dapat menyadarkan Sintya. Sementara Dani, dengan rasa bersalahnya pada Sintya, ditambah dengan rasa kesal pada Jonan, memilih berdiam di sisi dinding ruang tamu.
Sintya memegangi dadanya. Masih terasa nyeri. Ia memandang wajah Jonan yang menantapnya lekat.
"Mengapa masih di sini?"
"Sin ..." Dani mendekat.
"Ssst," larang Jonan. "Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," lanjutnya tanpa menghiraukan Dani yang tiba-tiba saja duduk di sebelah tempat pembaringan Sintya.
"Neng, maafkan aku. Tadi itu refleks. Sungguh aku tak bermaksud memukulmu."
"Ya, Dani. Apa pun maksudmu, itu tak baik. Kamu sudah bukan anak kecil lagi. Kekerasan tidak akan menyelesaikan apa-apa. Justru menambah masalah. Mas Jo tadi sudah ingin berpamitan, kok. Iya kan?"
Pernyataan Sintya ditanggapi perasaan bersalah Jonan. Sebenarnya ia bukan berpamitan. Tapi memang ingin menarik paksa Sintya untuk ikut bersamanya.
"Kau dengar? Seharusnya kau memang tidak ada di tempat ini. Sintya sudah mengizinkanmu untuk pergi. Tunggu apa lagi?"
Jonan terdiam. Kakinya terpaku. Ia tahu ia harus pergi. Tapi rasa ingin memiliki justru semakin besar. Ia tidak bisa membiarkan Sintya jatuh ke pelukan laki-laki lain.
"Sintya, apa pun yang kamu minta akan aku penuhi, asalkan kamu memberikan satu kali kesempatan untukku membuktikan semua ini."
"Membuktikan apa?"
"Aku mencintaimu."
"Cinta saja tak cukup, Mas Jo. Semua bisa bilang cinta. Cinta menjadi terlalu mudah untuk diucapkan."
Dani merasa tersindir saat kata-kata itu terlontar dari bibir Sintya. Tapi dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. Seingatnya ia belum pernah mengucapkan kata cinta pada Sintya. Atau sudah? Ah belum kayaknya.
"Awalnya aku percaya semua kata-kata Mas. Tapi ... ini soal ketidaksetiaan. Mas sudah menodai rasa percayaku dengan itu. Seperti kata kebanyakan orang, selingkuh itu bakat. Sekali berselingkuh, bukan tidak mungkin akan kembali berselingkuh setiap ada kesempatan."
"Maka jangan berikan kesempatanku untuk berselingkuh darimu, Sintya."
Sintya melotot. "Mas pikir kemarin itu aku berikan kesempatan Mas untuk bermain di belakangku? Di saat-saat seharusnya Mas memikirkan tentang pernikahan kita? Bagaimana nanti? Sudahlah. Obrolan ini tidak akan berujung. Sia-sia."
"Sintya ..."
"Mas Jonan ... Aku sudah cukup bersabar atas semua yang Mas lakukan. Mas sudah kelewat batas. Kumohon, jangan biarkan aku melaporkan Mas pada polisi. Mas membuat hidupku terancam. Kumohon. Mengertilah, Mas Jo."
"Bro, pergilah. Aku akan menjaganya untukmu."
Jonan mengerti. Kali ini ia benar-benar harus meninggalkan Sintya.
Tanpa berkata-kata, Jonan keluar dari ruang tamu dan perlahan menghilang dari balik pintu.
Sintya tak melepaskan pandangannya di ujung pintu yang terbuka. Sementara Dani membiarnya Sintya dengan lamunannya beberapa saat.
"Kamu.... kenapa tidak pergi juga?" Suara Sintya memecah keheningan. Namun pandangan Sintya tetap tak beralih.
"Barangkali.... ada yang bisa aku lakukan untukmu, Neng?"
"Perutku sakit...," ujar Sintya seraya memegang perutnya.
"Karena pukulan tadi?" Dani cemas. "Maafkan aku ..."
"Aku sudah bosan mendengar kata maaf hari ini," tepis Sintya.
Dani tersenyum kecut. "Kita ke dokter? Ah, mungkin nemang harus ke dokter. Kita tak tahu apakah pukulanku itu mematahkan tulang rusukmu atau apa gitu?" ujar Dani serius.
Sintya menggeleng. "Tak perlu. Aku baik-baik saja. Tapi aku sakit perut."
"Kuambilkan minyak kayu putih ya. Tunggu." Dani beranjak.
"Tidak. Aku hanya ingin ke kamar mandi. Mules. Kamu pulang saja. Dan jangan mengganggu istirahat siangku. Nanti sore aku harus kembalu ke Kediri."
"Ya ampun, Neng. Mules aja loh bikin khawatir. Ya udah. Aku pulang dulu. Nanti ... aku yang akan mengantarmu."
Tanpa menunggu komentar Sintya, Dani pun menghilang dari ruangan itu.
***
Tiga tahun berlalu ...
Waktu benar-benar obat paling mujarab untuk hati dan jiwa yang patah. Hari berlalu begitu cepat. Sintya nyaris melenyapkan Jonan dari ingatan. Bila beberapa waktu lalu ia mendengar nama Jonan atau hal-hal yang berkaitan dengan lelaki itu, hatinya masih berdesir, kali ini ia sudah tak merasakan apa-apa.
Apalagi dengan hadirnya Dani. Lelaki itu selalu muncul saat jam pulang kerja. Sintya yang tinggal di basecamp menjadi tidak enak dengan rekan-rekan kerjanya karena Dani selalu saja mericuhi ketenangan basecamp. Padahal perjalanan Malang-Kediri bukanlah hitungan menit. Tapi Dani seolah tak peduli dengan jarak yang memisahkan ia dan Sintya.
"Jadi kapan peresmiannya?" tanya pak Purwa saat istirahat makan siang.
"Peresmian apa?"
"Itu ... kamu dan cowokmu itu."
"Dani? Hehehe, dia hanya teman, Pak," sanggah Sintya.
"Teman tapi mesra ..." sindir pak Purwa.
"Ah, si Bapak. Gak, temen. Ya, cukup dekatlah. Lagi pula, saya belum lagi memikirkan pernikahan. Masih ingin berkarier dulu."
Pak Purwa menarik napas panjang. Ia mengambil pisang dan memakannya. "Kamu pikir kerja di sini bisa membawamu pada karier yang kamu inginkan?"
Sintya terdiam. Lalu menggeleng. "Tidak."
Ya, tentu saja. Pekerjaan Sintya hanya seputaran mengurus administrasi. Dan di perusahaan ini ia tidak bisa mengambil bagian lain. Untuk turun ke lapangan dan menjadap jabatan tinggi di perusahaan pun ia tak bisa. Karena memang ia tak berkompeten di bidang pertanian. Ia hanya sekadar tahu soal pembenihan padi dan jagung hibrida.
"Wanita sepertimu, lebih baik jangan menunda-nunda menikah. Kamu harus keluar dari sini."
"Keluar? Maksud bapak?"
"Berapa umurmu?"
"Eh ... umur?"
"Dua bulan lagi usiamu dua puluh sembilan tahun. Kamu sudah bukan gadis remaja loh."
"Pak Purwa, ih ..." Sintya tersipu. Ia menyadari usianya tak lagi muda.
"Ah, satu lagi ... kamu harus mengambil waktu khusus untuk mengembangkan hobimu."
"Hobi?"
"Menulis. Saya tahu cerpen-cerpenmu sering beredar di media cetak. Itu perlu diasah. Apalagi sekarang kamu sedang menulis novel, kan? Mungkin itu tempatmu yang sesungguhnya."
"Pak Purwa..." Sintya terharu. Sebagai atasan, Pak Purwa cukup perhatian dengan anak buahnya termasuk Sintya. Ia tak menyangka, pak Purwa memperhatikannya sejauh itu.
"Dani pria yang baik. Ia menunjukkan keseriusannya sama kamu. Kenapa tidak membuka pintu untuknya?"
Sintya tersenyum. "Dia cuma teman, Paaak."
"Kalau kamu bilang masih akan menunggu pangeran berkuda putih datang, ya saya bisa bilang apa? Coba kamu ingat-ingat apa yang sudah Dani lakukan untukmu tiga tahun ini? Saya yakin ia tidak sedang buang-buang masa mudanya demi kamu."
Kata-kata terakhir pak Purwa membuat hatinya sedikit tertusuk. Apakah benar yang ia lakukan? Membiarkan Dani tergantung dengan perasaannya?
Dani tak pernah lagi meminta jawaban semenjak hari itu. Hari di mana Jonan menghilang. Dani tak pernah bertanya soal lamarannya.
Satu hal yang membuat Dani bertahan adalah karena rasa sayangnya yang tulus. Dan Sintya merasakan tulusnya persahabatan dari Dani. Meski kadang apa yang Dani lakukan, bukanlah perlakuan seorang sahabat melainkan lebih.
Benak Sintya memutar kenangan yang tak sedikit selama tiga tahun belakangan. Dan matanya lekat di jari manisnya. Tempat cincin yang diberikan Dani bersemayam.
Ya, seharusnya ia memberikan jawaban untuk Dani. Sebuah jawaban yang sebenarnya dinanti-nanti selama ini.
Apakah aku siap membuka pintu hatiku?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro