Part 22
Maafkan karena lagi-lagi telat update.
Hehehe sungkem dulu ah ...
yook lanjuttt.
"Tidak sekarang!" Sintya menegaskan.
"Itu artinya, aku masih punya kesempatan?"
Sintya bergeming. Dipandanginya wajah Dani lekat. Ia menemukan sebuah kesungguhan yang tak terbatas. Namun, hati Sintya belum menemukan jawaban untuk pintu hatinya.
"Aku ingin memulihkan hatiku terlebih dahulu. Dan yang paling penting ... aku ingin pulang. Ini benar-benar sudah larut."
"Habiskan dulu makanannya. Sayang ... "
Sintya mengangguk. Walau ia sudah terasa kenyang, namun membuang-buang makanan bukanlah sifatnya.
Dani memandangi Sintya yang melahap makanannya perlahan. Mungkin ia memang terlalu terburu-buru dan membuat Sintya kaget lantas teringat dengan mantan calon suaminya itu.
Dalam hati Dani berjanji akan pelan-pelan masuk ke kehidupan Sintya. Sampai Sintya benar-benar siap untuk hidup bersama dengannya. Bukan impian yang muluk-muluk, kan? Semoga semesta mendukungnya.
Dari kejauhan Jonan masih memperhatikan Sintya dan Dani. Sesungguhnya ia menyusul Sintya hanya ingin memastikan bahwa Sintya memang masih mencintainya dan ia berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan gadis itu.
Tapi rupanya benar adanya. Sintya membencinya. Begitu kecewa. Begitu sesak dada Jonan menyadari itu. Ia semakin tenggelam dalam penyesalan. Untuk mundur, tak punya jalan pulang. Bila terus maju, ia mungkin akan membuat Sintya semakin tersiksa karena kelakuannya.
Argh. Jonan berteriak di dalam hatinya. Ia berjalan membelakangi tempat Sintya berada. Langkahnya gontai. Terasa berat. Seolah tertarik di seberang sana. Ia menoleh. Tidak. Ia tetap tak boleh menyerah. Biar bagaimanapun ia telah berjanji pada hatinya. Sintya adalah cinta terakhir yang ia izinkan menetap di hatinya. Mungkin ... saat ini ia tak bisa merengkuh Sintya dengan kedua tangannya. Tapi ia bisa memeluk Sintya dalam ingatan. Dalam kenangan.
I will always here, Sintya.
***
Ketukan di pintu membuat Sintya bangun tergesa-gesa. Ia bahkan belum mencuci muka. Dengan buru-buru ia berlari ke depan.
"Ya ampun, Daniiii. Apa yang kamu lakukan pagi buta begini?"
Dani tersenyum tanpa rasa bersalah. "Pagi buta? Hei, ini sudah jam delapan pagi, Neng. Mau tidur sampai jam berapa?"
Sintya mengucek-ngucek matanya. Dan melihat sekeliling. Sinar matahari pagi menyambutnya hangat.
"Eh, sudah siang ya? Ah, tapi ini hari Minggu, Daniiii!" teriaknya lagi. "Harusnya aku masih tertidur pulas dan bangun jam tiga sore lalu bersiap kembali ke Kediri. Trus ngapain juga kamu ada di sini? Pulang sana," usir Sintya.
"No, no, no," ujar Dani santai. Ia lalu menarik tangan Sintya untuk duduk di teras. "Lihat ini ..." Dani menunjuk ke arah meja.
Mata Sintya membelalak. "Apa ini?"
"Aku tahu kamu pasti suka ini ... bukalah."
Sintya mengambil kotak dari meja dan membukanya.
Ia mengernyit. "Brownies?"
Dani mengangguk.
"Daaan ... ini?" tunjuk Sintya ke bungkusan kecil di meja.
"Aha, ini ... valina ice cream. Aku tahu kamu suka sekali makan brownies dengan lelehan es krim vanila di atasnya. For your information, brownies ini aku yang membuatnya. Spesial. Sejak subuh tadi aku mengolahnya. Es krim ini aku beli di gerai es krim favoritmu."
Sintya menatap Dani tak percaya. "Seberapa banyak kamu tahu tentang aku? Tentang apa yang kusuka, atau apa yang tak kusuka? Seberapa ...?"
"Ssst ... sudah. Kalau aku katakan tahu semua tentangmu, kamu takkan percaya. Jadi, sini ... duduklah di sini. Nikmati ini sebelum es krimnya meleleh." Dani menarik Sintya untuk duduk di sampingnya.
Sintya menurut.Meski ia masih mengantuk, brownies selalu bisa membuatnya melek. Apalagi es krim vanila itu ...
Sintya tersenyum. "Makasih ya. Ini Minggu yang menyenangkan walau sesungguhnya ini terasa aneh untukku karena ini pertama kalinya seorang pria memberiku brownies buatannya sendiri. Aku tak percaya lelaki sepertimu mau-mauan sibuk di dapur bersama tepung, gula, telur dan ..."
"Sudah, sudah. Ayo dimakan," potong Dani tak sabaran.
Sintya mengambil potongan brownies dan menaruhnya di cup es krim. Ia menyendoknya sedikit demi sedikit.
"Aww." Sintya meringis.
"Apa ini?" Sintya mengeluarkan sesuatu dari mulut dengan telunjuknya.
"Apa ini?" ulangnya. Sesuatu yang ...
"Cincin?" tanya Sintya seraya memandang Dani yang sedang tersenyum.
Dani mengangguk. "Ya ... itu ... ehm ... untukmu."
"Untuk?"
"Melamarmu."
Sintya menjatuhkan kedua tangannya malas. "Dani ... jangan mendesakku. Sudah kukatakan ... aku belum siap. Aku tidak mau pacaran."
"Aku tak mengajakmu pacaran, Neng. Menikah."
Sintya menggeleng. "Jangan merusak moodku hari ini. Kumohon."
"Baiklah. Tapi, pakai cincin ini ya ..." Dani mengambil cincin mungil itu dari tangan Sintya dan memakaikannya ke jari manis Sintya. Gadis itu pasrah.
"Baiklah. Aku akan memakainya. Terima kasih ya. Dan ah, ya tentu saja. Terima kasih camilan pagi harinya. Tapi bisakah kamu pulang? Aku ingin kembali beristirahat." Sintya bangkit dan membalik badan menuju pintu.
"Tunggu!"
Sintya menoleh. "Ya?"
"Istirahatlah. Nanti sore aku akan mengantarkanmu ke Kediri. Dan ... jangan terlalu dipikirkan soal lamaranku. Aku bisa menunggumu," ujar Dani.
Sintya mengangguk lalu kembali ke dalam.
Sintya mengambil jubah mandinya dan bersiap mandi ketika suara ketukan terdengar lagi.
"Ada apa la--gi?" ujarnya saat membuka pintu.
"Hai. Apa aku mengganggu?"
"Mas Jo? Apa yang Mas lakukan di sini? Bukannya ..."
"Ya, aku masih di sini, Sin. Dan syukurlah tidak ada pria itu. Aku ... merindukanmu." Jonan melangkahkan kakinya mendekat.
"Jangan. Mas tidak boleh masuk." Sintya menahan langkah Jonan. Jantungnya berdegup lebih kencang. Ingatannya kembali ke waktu yang lalu. Ia tak mau kejadian mengerikan tempo hari terulang.
"Aku tidak akan menyakitimu, Sintya. Tidakkah kamu melihat kesungguhan di mataku? Aku hanya ingin kita bicara baik-baik. Bolehkah aku duduk?"
Sintya berpikir sejenak. Ia lalu mempersilakan Jonan untuk duduk.
"Oke, apa yang ingin Mas bicarakan."
"Hanya satu kata, Sintya."
"Apa?"
"Kesempatan."
Sintya buru-buru menggeleng. "Tidak, Mas. Kalau pun ada kesempatan, itu akan kupakai untuk berlari sejauh mungkin dari Mas."
"Kalau pun kamu ingin berlari, aku akan terus mengejarmu. Kita berlari bersama."
"Tidak."
"Ya. Kita berdua. Tidak ada yang lainnya. Aku akan mengajakmu berlari ke tempat di mana kita bisa tenang dan hidup dengan cinta kita."
"Kumohon, Mas. Jangan bicara soal cinta."
"Sintya. Kamu tak bisa membohongi hati. Kamu masih peduli akan hubungan kita. Aku tahu itu."
Sintya bungkam. Jonan ada benarnya. Ia masih berharap semua akan baik-baik saja. Termasuk cinta yang sedikit tersisa untuk Jonan di hatinya.
"Ini ..." Jonan menyerahkan satu amplop.
"Apa ini?"
"Dua buah tiket untuk kita berlari."
"Maksud Mas?"
Jonan mengambil tangan kanan Sintya. "Bila kamu masih berharap aku benar-benar berubah, maka izinkan aku membawamu bersamaku berlari. Kita pergi berdua. Kita mulai hidup baru. Hanya kita."
Tawa Sintya pecah. "Mas, Mas. Gak usah drama banget deh. Ini lagi. Apa-apaan ini?" Sintya melempar amplop itu ke tangan Jonan.
"Aku takkan ke mana-mana. Kalau mau berlari, berlarilah."
"Sintya, plis."
"Apa lagi, Mas Jonan?"
"Jadi kamu tetap tidak memberikanku kesempatan?"
"Ya!" jawab Sintya mantap.
"Baiklah. Sepertinya memang kamu sudah tidak berharap apa-apa atas cinta ini. Aku pamit ..."
Sintya terpana. Mengapa tidak ada perlawanan dari Jonan?
"Ya, Mas." Sintya mempersilakan Jonan pergi. Ia lalu membalikkan badan.
Namun tiba-tiba ...
"Maaf, Sintya. Aku harus melakukan ini."
"Apa yang ... Mas?" Sintya lunglai .... Ia tak sadarkan diri di rengkuhan Jonan.
"Maafkan aku ..."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro