Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 21

Dani mengecup bibirnya teramat lembut dan hati-hati. Sintya terbuai sesaat sebelum akhirnya angin malam membawanya dari angan.

"Maaf, Dan ...," Sintya melepaskan diri perlahan dari Dani. "Maaf, ini tak boleh terjadi," lanjutnya lagi seraya menjauh.

"Kenapa?" Dani menarik tangannya. "Maaf kelancanganku, tapi ..."

"Sudah. Ini sudah malam. Aku mau istirahat. Sepertinya kamu juga sudah harus pulang, kan?"

"Hei, tidak ada yang menungguku di rumah ... lagi pula ini belum terlalu malam. Dan ... kita sama-sama belum makan malam. Kita di sini sedari sore."

Sintya memegang perutnya. Memang ia sudah terasa lapar dari tadi.

"Kita cari makan?" tawar Dani.

Sintya bergeming. Pikirannya tertuju ke kulkas. Mengingat-ingat ada makanan apa yang tersimpan di sana. Sialnya, ini hari pertama ia kembali ke kosan setelah berhari-hari tinggal di basecamp. Ingatannya melayang pada buah-buahan yang ia simpan di kulkas basecamp sebagai persediaan kala lapar melanda di malam hari.

"Sudah, jangan kelamaan mikir. Ayo, kita cari makan di perempatan saja. Gak usah jauh-jauh, agar kamu bisa segera rebahan di kasur nanti."

Sintya mengembuskan napas. Tidak ada pilihan lain. Daripada ia kelaparan tengah malam, lebih baik menerima tawaran berondong di depannya itu.

"Sebentar, aku ambil sweater dulu."

Dani tersenyum. Walau bukan acara kencan, ini sudah cukup membuatnya senang. Paling tidak, jadi juga ia mengajak Sintya keluar malam minggu ini.

Tak lama kemudian, Sintya keluar dengan sweater biru muda dan rambut diikat ekor kuda. Gadis cantik yang wajahnya bak pinang dibelah dua dengan wajah artis Asmirandah itu bahkan tidak terlihat lebih tua dari Dani. Tubuhnya yang mungil sangat menggemaskan Dani. Lelaki itu menatap Sintya sambil tersenyum-senyum.

"Kenapa kamu?"

"Cantik."

Sintya tak menanggapi. Ia berjalan mendahului Dani.

"Sebentar aku ambil motor dulu."

Sintya menggeleng. "Tidak, aku ingin berjalan kaki saja."

"Wah, romantis ... Oke deh." Dani menyusul.

"Bukan romantis ... tapi aku tak mau berboncengan denganmu. Suka ngebut dan ..." Sintya terdiam.

"Dan?"

"Abaikan." Sintya menutup mulutnya lalu berjalan lebih cepat dari sebelumnya.

"Hei, tunggu ... kenapa? Takut kalau harus memeluk pinggangku?" Dani menggoda.

Sintya tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana. Kenyataannya, ia malu. Malu terhadap Dani. Ciuman tadi ... betapa mudahnya ia menyerahkan bibirnya pada pria lain, selain ... Jonan. Menyadari itu, SIntya menelan ludahnya. Tenggorokannya tercekat. Mengapa ia masih memikirkan Jonan setelah sesaat lalu ia mengusir mantan calon suaminya itu?

"Neng? Kamu gak apa-apa? Apa kamu sudah terlalu lapar sampai gak bisa bicara?" Dani mencoba memecah keheningan antara ia dan Sintya. Yang terdengar hanya lalu lalang kendaraan bermotor, desau angin, dan langkah mereka berdua yang saling beradu di trotoar. Ini belum terlalu malam, hanya saja sudah hampir jam sebelas. Tempat tinggal mereka bukan di lingkungan kampus, jadi suasana tak seramai lingkungan kosan yang banyak mahasiswanya.

"Tidak, aku tak terlalu lapar. Hanya saja kantuk sudah menyerang. Jadi agak mengantuk nih."

Dani tertawa. "Ngomong kek. Kalau ngantuk itu obatnya ya ngobrol. Cerita apa saja."

"Mau makan apa?" Mata Sintya beredar. Perempatan pos polisi ini tak terlalu ramai. Ada beberapa warung di pinggir jalan yang masih buka.

"Kamu mau apa, Neng?"

"Itu saja," tunjuk Sintya.

"Tahu telur?"

Sintya mengangguk. Dani mengiyakan. Sebenarnya ia kurang suka makanan satu itu. Tapi demi Neng Sintya, bolehlah malam ini ia menyantapnya. Bukankah makan makanan yang tak disukai bersama pujaan hati, makanan itu akan terasa lezat?

Dani menggandeng Sintya menuju warung yang letaknya di seberang pos polisi. Masih ada beberapa pengunjung.

Setelah memesan, Dani kembali ke meja yang lebih dulu ditempati Sintya. Gadis itu sedang membenarkan ikat rambutnya dan menghapus peluh di dahinya.

"Sini," Dani mengusap kening Sintya dengan tisu.

Sintya kikuk. Dani tersenyum menanggapinya.

"Jangan kaku gitu, ah. Kenapa jadi takut sama aku? Gak, gak ... aku takkan menciummu di tempat seperti ini. Nanti, kalau sepi aja ..." goda Dani.

"Ih, apaan sih, Dan. Tambah malam tambah ngawur ah," ujar Sintya kesal.

"Neng, sebenarnya, ada yang ingin aku omongin."

"Ya tinggal ngomong aja. Dari tadi juga kan udah ngomong kali," ujar Sintya ketus.

"Ya ampun, kalo aku tambah malam dibilang ngawur, lah si Neng, tambah malam tambah galak. Auuum," kelakar Dani yang bikin Sintya tambah manyun.

"Udah ah, mau ngomong apa?" Sintya menunggu Dani bicara seraya menyeruput teh manis yang baru saja diantar.

"Gini, berhubung kita sudah terhubung, aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin sekali lebih serius. Begini ... mungkin ini terlalu cepat. Tapi ... aku ingin melamarmu."

Sintya tersentak. Serasa dejavu. Jonan.

Sintya menggeleng. "Jangan aneh-aneh, deh, Dan. Gak lucu tau gak?" Sintya mengalihkan pandangan ke pengunjung lain yang asyik bercengkerama dengan pasangannya.

"Aku gak aneh loh. Ini serius."

Sintya mengetuk-ketukkan kakinya di lantai. Waktu terasa berputar lama sekali.

"Sin? Neng? Jangan diam aja dong."

Sintya memandang mata Dani, lalu secepat kilat ia alihkan pandangan ke tempat lain. Ia menggeleng-geleng.

"Kalian kenapa sih? Begitu ngeliat cewek, langsung aja ngelamar. Aneh."

"Yaaa, gak semua cowok kali. Langka loh, cowok ketemu cewek lalu ngajak nikah. Yang ada ngambil kesempatan, grepe-grepe sana sini, kalo udah puas ditinggalin."

"Grepe-grepe?" tanya Sintya. "Oh, cium-cium kayak kamu tadi, gitu? Ya apa bedanya kamu sama yang suka ambil kesempatan?"

Dani tersenyum malu. "Kalau yang tadi itu ... memang benar kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Eh tapi itu bukan grepe-grepe. Itu beneran tulus dari hati. Tulus pengen nyium. Hasrat."

"Hasrat ato nafsu?" Kesalnya Sintya sudah dobel-dobel. "Kamu sama saja seperti Jonan."

Dani spontan mengambil tangan kanan Sintya. Sintya tersentak. Dani menahan dengan genggaman kedua tangannya. "Sintya, gak semua hasrat hati itu penuh nafsu," ujar Dani lembut. "Yang tadi itu, didorong rasa sayang. Kalau kamu mau tahu, itu tadi adalah ciuman pertamaku dengan perempuan."

Sintya kaget. "Jadi selama ini kamu ciumannya dengan laki-laki?"

Dani ternganga. Ia tak menduga Sintya sepolos itu--atau pengaruh hampir tengah malam yang membuat otak dan pikirannya agak kurang normal.

"Laki-laki? Aduh Sintya ... sepertinya kamu memang terlalu laaapaaarrr. Pak, buruan, ini kekasih hatiku mau pingsan loh," Dani agak berteriak pada sang penjual. Sementara si penjual hanya tertawa kecil sembari mengatakan sabar.

Sintya tak bereaksi apa-apa. Ia kadung jengkel dengan sikap Dani. Begitu mudahnya bilang sayang. Apa bedanya ia dengan Jonan yang getol merayunya, bilang cinta, bilang sayang, memintanya menikah, lalu semua kekonyolan ini terjadi dan membuatnya hancur hati.

Ia tak mau tertipu lagi. Satu-satunya pria yang ia percaya adalah Vandi, kakak sepupu yang adalah cinta pertamanya--dan kini menjadi suami dari wanita lain. Betapa beruntungnya istri mas Vandi, begitu pikirnya. Tiba-tiba saja ia merindukan Vandi. Namun, komitmennya untuk tidak mengganggu kehidupan Vandi, membuatnya menahan diri untuk tidak menghubungi pria itu walau sesungguhnya jarak antara mereka berdua hanya terpisah jarak dua jam perjalanan saja. Vandi di kota Buaya dan ia di kota Apel.

"Sin, ini dimakan dulu." Dani menyodorkan sepiring tahu telur yang mengepul ke hadapan Sintya. "Makanlah ... setelah makan jawablah permintaanku tadi ..."

Sintya melotot. Tanpa ba bi bu, ia menyantap hidangan sederhana itu.

Tiba-tiba getar ponsel mengagetkan Sintya. Diambilnya ponsel dari kantong celana.

Sebuah pesan masuk.

"Wanita baik-baik tidak akan mau keluar dengan pria aneh nyaris tengah malam begini. Cepat pulang dan istirahatlah."

Sintya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia memutar tubuhnya. Mencari seseorang.

"Jonan?" tanya Dani.

Sintya tak menjawab. Ada pesan masuk.

"Jangan duduk terlalu dekat dengan pria itu."

Sintya tiba-tiba menggeser kursinya. Apa yang ia lakukan? Mengapa ia masih peduli dengan Jonan?

Sintya mematikan ponselnya. Ia menatap Dani penuh harap.

"Kamu merasa diteror?"

Sintya mengangguk.

"Terimalah lamaranku. Aku akan membawamu pergi jauh dari pria itu. Aku akan menjagamu. Sepenuh hatiku. Aku berjanji. Aku berjanji dengan sungguh-sungguh."

Tiba-tiba saja Sintya merasa kekenyangan. Ia telah menghabiskan dua gelas besar teh manis. Satu gelas miliknya dan satu lagi milik Dani. Sementara, tahu telur baru dicicipi dua tiga suap.

"Mari kita pulang," pinta Sintya.

"Lamaranku diterima?"

"TIDAK!"



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro