Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20

"Kamu sungguh tak berhak mengganggu hidupku. Sejengkal pun jangan muncul di hadapanku."

Pesan itu buru-buru diketik Dani dan dikirimkan ke nomor yang baru saja menghubungi ponsel Sintya. Sementara Sintya terpaku di kursi. Ia lalu menegak jus tomatnya sampai habis dalam sekali minum.

"Dia bercanda ..."

Dani menatap Sintya yang seolah menenangkan diri sendiri.

"Tidak. Dia ada di sini. Aku justru ingin melihatnya. Rasa ingin tahuku besar, Neng. Sekuat apa tekadnya untuk menemuimu. Atau dia hanyalah seorang lelaki pengecut yang berdiri di hadapan wanita rapuh sepertimu."

"Tapi, Dan ..."

Dani menutup mulut Sintya dengan ujung telunjuknya. "Aku akan membuatnya keluar, Neng."

Dani mendekat. Ujung jemarinya merapikan poni Sintya dan menyelipkannya di samping telinga.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Ssst ... diam, dan lihatlah ..." Dani memposisikan diri agar mudah terlihat dari luar halaman. Ia ingin sekali membuat Jonan bereaksi nyata atas apa yang akan dilakukannya.

"Dan?"

Dani mendekat. Ia membisikkan sesuatu. Tangannya meraih jemari Sintya dan menggenggamnya.

...

"Apa yang kau lakukan?" Suara lantang pria yang muncul di depan sontak membuat Sintya terlonjak.

"Maas Jo?" Jantungnya berdegup tak menentu. Sementara Dani masih memegang erat jemari Sintya bahkan ia membawa tubuh wanita itu dalam dekapannya seolah mengatakan, semua akan baik-baik saja dan tenanglah.

"Siapa dia? Berani-beraninya menyentuhmu. Kamu masih milikku, Sintya." Jonan mendekat dan menarik paksa Sintya menjauh dari Dani. Namun Dani dengan sigapnya menahan Sintya beranjak dari sisinya. Sintya tampak memegangi pergelangan tangannya yang kesakitan.

"Hentikaaaan! Jangan bikin huru-hara di tempat ini. Apa yang Maas lakukan di sini? Kita sudah berakhir. SUDAH BERAKHIR! Tidakkah Mas mengerti? Jangan ganggu aku. Leave me alone!" Sintya berteriak. Beruntunglah ini akhir pekan. Penghuni kosannya pada mudik.

"No. I will never leave you, anymore. Please, Sintya. Everything gonna be alright. I promise." Jonan mendekat perlahan.

Sintya mengeratkan genggamannya pada tautan jemari Dani.

"Jangan menyentuhnya!" Dani pasang badan.

"Jangan ikut campur. Ini bukan masalahmu." Jonan menggeser badan Dani ke samping.

Dani menahan. "Sekarang ini sudah jadi masalahku. Kenyamanan Sintya adalah kenyamananku juga. Kau dengar tadi? Kalian sudah berakhir. Silakan angkat kaki dari sini." Dani tampak tenang.

Jonan bergeming. Matanya menatap lekat dua bola mata Sintya yang berair.

"Setakut itukah kamu padaku, Sintya? Coba lihat aku baik-baik. Aku datang dengan segala kerendahan hatiku. Maafkan aku." Jonan melemah.

Sintya melihat Jonan yang penuh harap padanya. Matanya beradu pandang. Sintya memandangi bekas luka di pojok mata kanan mantan calon suaminya itu. Ada rasa iba. Hatinya melunak. Kakinya sedikit bergerak. Namun, Dani mengetatkan tautan jemarinya. Ia bertekad takkan melepaskan Sintya.

Sintya menoleh ke Dani. Pria berondong itu terlihat begitu dewasa. Penuh ketenangan dan penuh kekuatan yang tak biasa. Matanya beralih ke Jonan. Pria yang tampak lemah itu sungguh terlihat sangat kecil di hadapan Sintya.

"Mas Jo ... Mas sungguh tak bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana bisa Mas menjagaku bila Mas begini? Apalah yang dibutuhkan seorang wanita selain merasa tenang dalam dekapan seorang lelaki yang mengaku mencintainya sungguh-sungguh? Apa yang Mas lakukan sepenuhnya membuatku takut dan ingin terus menjauh dari Mas." Bibir Sintya bergetar.

Jonan menatap Sintya dengan matanya yang melemah.

"Aku hanya butuh sebuah jawaban, Sintya ... satu jawaban untuk banyak pertanyaan dariku. Apakah masih ada cinta untukku? Apakah kamu memaafkanku? Apakah mau memberiku kesempatan? Apakah kamu mau kembali ...?"

Air mata Sintya tak menunggu perintah untuk luruh di pipinya yang ranum. Ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya lalu menggeleng kepalanya berulang-ulang.

"Kurasa kau sudah tahu jawabannya, Bro. Dia tak punya waktu untukmu. Pergilah," ujar Dani kalem.

Jonan bungkam. Menatap Sintya dalam.

Sintya bertambah isak.

Dani merengkuh kepala Sintya dan membawanya ke dada.

Jonan bereaksi. Ia mengepalkan tangannya.

"Bisakah kau melepaskan Sintya? Kau tak boleh menyentuhnya!" pinta Jonan.

"Kau yang harus melepas Sintya dari hati, Bro. Kehadiranmu hanya membuatnya semakin luka. Pergilah ... atau aku akan mengusirmu dengan kasar." Dani masih berbicara penuh ketenangan.

"Sintya, dengarkan aku dulu ...," ujar Jonan, tanpa mempedulikan kata-kata Dani. "Ada hal yang mungkin harus kamu tahu. Tentang Selena ..."

Sintya menengadah. "Aku tak butuh penjelasan apa-apa."

"Kami memang pernah dekat. Aku pernah mencintainya. Tapi tidak terlalu. Itulah mengapa aku tak memperjuangkannya ketika ia memilih pergi karena lelaki lain ... Ketika ia datang kembali, aku telah kalah karena tidak bisa mengendalikan diri akan rayuannya. Tapi percayalah, Sintya ... itu bukan dari hatiku. Tentangmu ... aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku akan memperjuangkanmu sekuat daya yang kupunya. Karena aku benar-benar mencintaimu, Sintya ..."

Jonan tertunduk. Sungguhlah ia lega karena sudah mengatakan itu di hadapan Sintya.

Dani mendengar dengan baik kata-kata yang meluncur pasti dari bibir Jonan. Ia pun merenggangkan tautan jemari Sintya. Memandangi wajah Sintya yang memerah. Dihapusnya air mata yang mengalir di pipi. Lalu ia mengembuskan napas panjang.

"Kamu pasti tahu apa yang diinginkan hatimu, Neng. Ikuti kata hatimu." Dani tersenyum tulus.

Sintya mengangguk kecil. Ia lalu berjalan perlahan menuju Jonan.

"Mas ..."

Jonan mengangkat kepalanya dan menatap wanita yang dirindukannya sebulan lebih itu. Matanya berbinar-binar.

"Sintya ..."

Spontan Sintya memeluk Jonan.
"Terima kasih ... terima kasih atas cinta yang Mas punya untukku, aku--"

Jonan merengkuh kepala Sintya dan mencium bibir wanita itu tanpa permisi. Sintya kaget, tapi ia tak bereaksi. Ia biarkan lelaki yang merindunya itu menghabiskan kerinduannya.

Dani terpana. Ia masih mencintai lelaki itu. Ya, ia memilihnya.

Dani berbalik badan. Menunggu beberapa waktu. Dunia seakan berhenti. Ada rasa sesak di hatinya. Ia bahkan tak bisa melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Dani terpaku karena rasa cemburu. Namun, rasa sayangnya membuat ia meyakinkan hati, akan bahagia bila Sintya bahagia karena pilihannya. Bukankah itu hakikat cinta yang sesungguhnya? Berani melepas apa yang memang harus dilepaskan. Bahwa cinta tak harus memiliki, itu ia tahu persis. Sebuah ungkapan yang kini ia rasakan sendiri. Ia tak mungkin memiliki Sintya.

"Sudah?" Suara Sintya membawa Dani dan juga Jonan pada kenyataan waktu yang masih berdetak.

"Sudah?" ulang Sintya pada Jonan.

Dani masih bergeming. Ia tak berani menoleh.

"Apakah ini berarti ya untuk semua pertanyaanku?" tanya Jonan pada Sintya.

Sintya menggeleng. "Terima kasih untuk cintamu. Aku telah memilih."

Jonan tersenyum. Ia memegangi pundak Sintya.

"Aku telah memilih untuk menjalani waktuku tidak denganmu."

Jonan menatap Sintya tak percaya.
"Maksudmu?"

"Aku memaafkan Mas. Dan aku ... memilih untuk tidak memilihmu, lagi.  Biarkan aku mencintai Mas dengan caraku sendiri. Mas akan lebih bahagia bila tidak memenjarakan diri di orbitku. Mas akan menemukan cinta yang lain. Aku terlalu takut bila bersama Mas. Bukanlah cinta bila ada ketakutan di dalamnya."

"Sintya ..." Jonan kembali menarik Sintya dalam pelukannya.

Dani berbalik dan melihat dua insan yang berseberangan hati di hadapannya.

Jonan kembali menciumi Sintya. Hati Dani mulai terasa panas. Ia mendekat.

"Cukup, Jonan. Kau sudah cukup membuatnya tersiksa." Dani menarik paksa Sintya.

Jonan masih memegangi sebelah tangan Sintya.

"Sintya, apa ini yang kauinginkan?"

Sintya bergeming.

"Baiklah ..." Jonan melepaskan tangan Sintya. "Aku akan melepasmu ... sementara. Sepertinya kamu butuh waktu untuk merenungi ini semua. Kuharap kedatanganku yang akan datang aku sudah mendapatkan jawaban dari hatimu yang jernih, Sintya. Kamu jodohku. Dan selamanya akan begitu."

Dani melotot. "Dasar keras kepala!"

"Kau ... jangan senang dulu. Aku akan kembali. Mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku," ujar Jonan.

Dani bergeming. Ia membiarkan Jonan melangkah pergi.

Takkan kubiarkan ia menemuimu lagi, Sintya.

"Dan ... terima kasih sudah menjadi kekuatan untukku," ucap Sintya memecah keheningan malam yang kian larut.

Dani tersenyum. "Ada imbalannya loh ... gak ada yang gratis di dunia ini."

"Hah?"

"Ya ... aku punya sebuah permintaan ..."

"Apa itu?"

"Hapus dulu ini ..." Dani mengusap air mata yang masih menetes di pipi. "Lalu ini ..." Ia menghapus keringat di dahi Sintya dan menyampirkan poni ke samping telinga wanita itu. "Dan ini ..." Dani mengecup lembut bibir Sintya penuh kehangatan.

Sekejap Sintya merasakan aliran listrik di sekujur tubuhnya ... dan hatinya ...

"I think ... I'm falling in love ... with you ...," bisik Dani di telinga Sintya yang memerah.

Dari kejauhan, sebuah hati terbakar. Ia merasa kalah ... benar-benar kalah. Apakah aku hafmrus berhenti?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro