Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2

Jangan bicara keadilan bila cinta yang kaupunya hanyalah sebuah manifestasi egomu semata.

***

Beberapa bulan yang lalu ...

"Haruskah aku pergi?"

Pertanyaan serupa berkali-kali Sintya lontarkan di hadapan Vandi. Sementara pria yang terpaut lima tahun di atasnya itu hanya membeku sembari melemparkan batu-batu kecil yang dipungutnya dari tanah ke danau.

"Mas?"

Vandi menoleh. Lalu senyum tergurat di bibirnya.

"Apa kau ingin kita melawan? Rasanya tak mungkin, Dik. Ini bukan hanya tentang kita ... tapi keluarga besar kita. Apa kau lupa, Dik?"

Sintya mendengus. "Tapi kita berdua yang menjalani, kan?! Mereka pernah muda. Mengapa mereka lupa rasanya anak muda jatuh cinta?"

Vandi tertawa. "Bagi mereka, cinta yang kita punya ini hanya main-main. Dianggap sebuah perjalanan biasa saja."

"Apa Mas juga menganggap demikian? Apa itu artinya..." Sintya terdiam.

"Hei, kenapa jadi sensi begitu? Dengar, kau istimewa buatku. Bila tidak, kita tak ada di tempat ini sekarang. Tidak ada hari-hari indah sebelum ini. Tidak ada ..." Vandi menatap nanar ke arah danau. Ia sebenarnya tak ingin cengeng. Tapi kata-katanya barusan justru terdengar bergetar keluar dari bibirnya.

Sintya jatuh hati pada Vandi saat masih duduk di bangku SMA. Cinta merah mudanya datang malu-malu. Vandi adalah sepupu jauh dari keluarga papanya. Pertama kali mereka bertemu saat liburan panjang akhir tahun di rumah eyang Sintya. Vandi, pria yang santai dan terkesan slengehan begitu melekat dalam benak Sintya. Dua tahun setelah perkenalan itu mereka dipertemukan lagi dalam sebuah acara keluarga. Saat itulah Vandi melihat Sintya sebagai gadis yang merekah. Gadis yang mencuri hatinya lewat sepotong cake. Sepotong cake yang tiba-tiba meluncur dari piring Sintya ke kepalanya saat gadis itu terpeleset dari tangga saat hendak turun. Vandi yakin seyakin-yakinnya Sintya gugup ketika matanya saling beradu pandang. Detik ity juga keduanya tahu ada benang merah yang mengikat jari manis mereka.

Ini tahun keempat mereka menjalin kasih. Bukan waktu yang singkat tentu saja. Apa pun dapat terjadi dalam empat tahun. Putus sambung bukan hal baru. Sebagian besar masalah terjadi ketika Sintya dan Vandi berhadapan dengan kedua orangtua.

Tak ada yang salah dengan cinta mereka. Vandi, meski kata sebagian besar keluarga adalah pria yang 'nakal', tapi bersama Sintya, ia adalah pasangan yang paling bisa menjaga Sintya untuk segala hal. Hanya saja orangtua Sintya sangat tidak menyukai hubungan mereka berdua. Dan puncaknya adalah dua minggu lalu, sebelum mereka bertemu di danau ini. Sintya harus berangkat demi keinginan orangtuanya. Hatinya menolak, tapi sebagai putri satu-satunya mau tak mau ia harus menurut. Meski kakinya benar-benar terikat di sini. Bersama Vandi.

"Jadi, apa Mas tidak ingin menahanku di sini?"

"Dik, coba dimengerti dulu keadaannya. Bila kita terus begini, benar kita bahagia. Tapi mereka? Keluarga besar kita? Hubungan orangtuaku dan orangtuamu? Tak sedikit saudara-saudara kita menjadikan kita bulan-bulanan bila kumpul-kumpul. Itu juga membuatmu jengah untuk ikut setiap ada acara keluarga kan? Mas bukan tak ingin menahanmu di sini tapi ..."

"Tapi?"

"Pergilah ... kita tak boleh egois. Jangan sampai hubungan ini menjadi duri dalam keluarga besar kita."

Sintya terdiam. Pikirannya makin kusut.

"Apa sudah tak ada lagi cinta?"

Apa sudah tak ada lagi cinta? Pertanyaannya menggema di relung hati Sintya.

"Dik," tangan Vandi meraih jemari Sintya, "ini bukan saat yang tepat membicarakan cinta. Tak perlu dijawab sebab yang namanya cinta itu tetap ada di hati ini. Dengan atau tanpamu di di dekat mas, rasa sayang ini gak akan pergi begitu saja. Kita berdua bukan anak kecil seperti kata mereka. Mas hanya ingin yang terbaik untukmu, untuk kita. Bila kita memang berjodoh, ke mana pun kakimu melangkah kita pasti akan bertemu, Dik."

Mata Sintya mulai terasa panas. Sedari tadi ia mencoba untuk tidak menangis.

"Jadi, apa ini yang terbaik untuk kita?"

"Mungkin ... yang pasti, terbaik untukmu karena patuh pada papamu. Kalau bukan kamu siapa lagi yang akan mengikuti kemauan orangtuamu? Masa tetangga?" canda Vandi.

Sintya tersenyum kecut. Tiba-tiba ia menyesali diri karena ketunggalannya. Kalau bukan dia siapa lagi?

"Aku akan menjaga hatiku untukmu, Mas."

"Jangan dijadikan beban. Tak ada yang tahu hari esok. Bila hari ini kamu bilang cinta, bisa jadi esok katakan benci."

"Ihh, Mas Vandi apaan sih? Kenapa seakan putus harapan sih?"

"Kelak kau akan mengerti, Dik."

***

Kelak kau akan mengerti ...

Sintya terngiang-ngiang kata-kata Vandi sebelum ia pergi. Hari ini tepat seminggu ia putus hubungan komunikasi dengan cinta pertamanya. Serasa separuh jiwanya terbang. Aktivitasnya menjadi kacau balau.

Apa yang harus kumengerti, Mas?

Jonan memperhatikan Sintya yang sedari tadi melamun di depan monitor. Harusnya ia sudah menyerahkan laporan stock opname obat. Tapi tampaknya pekerjaan itu belum usai digarap.

"Sin? Pulang nanti makan malam bersama ya ..."

Sintya bergeming.

"Hei ... apa yang terjadi padamu?" Jonan memegang lengan kiri Sintya.

"Eh, ya Mas? Ada yang bisa kubantu?"

Alih-alih menjawab, Jonan menggeser kursi putar dan meletakkannya tepat di samping Sintya.

"Kamu kenapa?"

"Gak apa-apa. Aku hanya mencocokkan stok ini. Ada yang minus. Sementara terpaut jauh," kata Sintya mengalihkan rasa galaunya.

"Jangan bohong. Dari tadi kamu terus melihat ponselmu. Vandi?"

Sintya terhenyak. Lalu ia menggeleng. "Tidak. Bukan urusan Mas."

"Stop it, Sintya. Bangun! Vandi bukan pria yang layak untuk terus mendapat perhatianmu."

Sintya melotot. "Mas! Mas tak berhak berbicara seperti itu. Mas tidak tahu apa-apa soal dia. Dan ... jangan pernah iseng mempertanyakan dia lagi."

Jonan bergeming. Tangannya terlipat di dada. Lalu ia mengembuskan napas panjang.

"Mungkin ini akan menjawab kegalauanmu, Sintya."

Jonan menyerahkan sebuah bungkusan putih berukuran agak besar.

"Apa ini?" Dilihatnya shipping address bertujuan dirinya. Dari Surabaya. Vandi.

Penuh rasa penasaran, Sintya membawa bungkusan itu keluar ruang. Ia menuju ke pantry.

"Simpanlah ini. Tidak ada gunanya untukku. Selamat berbahagia di sana bersama orang yang tepat."

Sintya meremas catatan kecil yang ia temukan di atas bungkusan.

Apakah ini artinya aku harus mengerti?

Tanpa perlu meminta izin, air matanya jatih sejatuh-jatuhnya. Ia sungguh tak mengerti. Ia takkan pernah mengerti. Bahwa cinta secepat kilat berubah arah. Ia benci. Benci ditinggalkan begitu saja. Tunggu. Bukan ditinggalkan. Ia yang pergi meninggalkan Vandi. Dan ia benci harus mengakui bahwa sesungguhnya dirinyalah yang membuat semua ini jadi kacau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro