Part 19
"Gimana, Neng, betah di sana?" Dani muncul tiba-tiba dari rumah sebelah.
Sintya yang baru saja keluar dari pintu dan meletakkan juice tomatnya di meja tersentak.
"Ngagetin deh ih. Nang Neng Nang Neng aja." Sintya mempersilakan Dani untuk ikut bergabung menikmati suasana Sabtu sore yang cerah.
Sejak peristiwa pengantaran interview tempo hari, Dani lebih senang memanggil Sintya dengan sebutan Neng. Berasa lebih akrab untuknya. Dani menawarkan diri mengantar Sintya ke Kediri, untuk menetap di sana Senin-Sabtu. Sintya tinggal di basecamp seperti yang dikatakan pak Purwa. Sintya bertanggungjawab atas team wilayah barat mengenai basecamp dan seisinya. Dan selama ia bekerja, Dani selalu menemani. Kehadirannya begitu terasa nyaris 5 menit sekali dalam sebuah pesan.
"Perlu diceritain lagi ya betapa betahnya aku di sana?" cibir Sintya. Rasanya hampir semua hal yang terjadi di basecamp tak luput dikisahkan baik lewat SMS atau telepon tiap malam.
Ya, Dani dan Sintya telah diakrabi waktu.
"Ya sebenarnya lebih enak kalau diceritain langsung kan, Neng. Bisa kelihatan ekspresimu. Jadi, gimana tanggapan teman-teman barumu atas kehadiran seorang wanita cantik di basecamp?"
Sintya tersenyum. Ia mengenang hari pertamanya di basecamp.
"Ini admin kita yang baru, perkenalkan, Sintya." Pak Purwa menyebut namanya. Sontak Sintya bangkit dari kursinya dan memperkenalkan diri.
Berpasang-pasang mata memandangnya dan menyambutnya dengan senyum hangat.
"Wuih, Pak Purwa tumben merekrut cewek," celetuk seseorang.
"Iya, mana betah cewek di sini ... kecuali yang di corn ya ..." tambah seseorang lagi.
Perusahaan pembenihan yang letaknya di sebuah desa kecil di ujung Malang ini membudidayakan jagung dan padi hibrida. Kebetulan Sintya bergabung dengan Team West Rice. Itu artinya dia bergabung di tim beras wilayah barat. Menurut penjelasan Pak Purwa, team rice baru berdiri setahunan. Dan kali ini antara team barat dan timur sepakat mencari admin cewek, bukan cowok seperti team corn.
"Semoga saya bisa betah di sini. Mohon bimbingannya ya. Dan kesabarannya tentu saja dalam membimbing saya." Sintya membungkukkan badannya, seolah memohon.
"Pak Purwa pinter pilih admin deh." Seseorang yang tampaknya lebih tua dari pak Purwa itu mengeluarkan suara dan diikuti anggukan kepala dari beberapa orang.
"Nah, karena di sini sudah ada ceweknya, semoga bisa jadi penyemangat yang lainnya dalam bekerja. Sintya tolonglah dianggap sebagai adik sendiri yang patut kita jaga dan lestarikan supaya betah," ujar Pak Purwa.
Sintya merasa nyaman disambut. Basecamp layaknya keluarga baginya. Ia diterima sepenuhnya.
"Hei, malah melamun. Gimana ceritanya?" Tepukan di lengan kirinya membangunkannya dari lamunan.
"Eh, enggak kok. Sampai mana tadi?" tawanya.
"Ah, sudah, abaikan. Ngomong-ngomong, yuk jalan-jalan sore. Malam mingguan ..."
Sintya menggeleng. "Aku capek, Dan. Di sini aja ya ..."
Dani mendengus. Ia tahu Sintya lelah. Perjalanan dari Kediri ke Malang melewati jalan pegunungan yang berkelok-kelok tentu membuatnya lelah. "Ya udah di sini aja."
"Oh ya, Dan ... selama ini kamu mengenalku dari pertanyaan-pertanyaan yang kamu ajukan. Curaaang. Aku bahkan belum mengenalmu secara resmi," ujar Sintya.
"Halah, kayak apa aja. Ya tinggal tanya aja. Kamu gak bertanya ya aku gak menjawab," ujar Dani santai.
"Gitu ya? Dasar pria misterius."Sintya tertawa kecil.
Dani memang misterius. Sintya hanya tahu bahwa Dani adalah penghuni kontrakan sebelah. Pria yang lahir setahun sesudah Sintya muncul di dunia itu bekerja di sebuah dealer. Ia menjadi supervisor muda yang terbaik karena penjualannya meroket setiap bulan. Keahliannya adalah memikat calon pembeli. Komunikasinya nomor satu. Siapa sih yang tak mengenal Dani? Setidaknya itu yang Sintya tahu dari Leli.
"Ah, gak misterius kok, Neng. Hanya berbicara seperlunya saja. Tahukah bahwa kita ini layaknya sebuah buku. Semakin rapat buku itu tertutup, semakin penasaran orang ingin membacanya..."
"Ya, bisa jadi. Dan sekarang aku penasaran. Ceritain dong tentang dirimu," pinta Sintya.
Dani tertawa. "Cerita apaan? Kamu aja. Jadi dia masih meneleponmu?" tembak Dani tanpa ba bi bu.
"Dia?"
Dani mengangguk. "Ya, dia... calon suamimu yang batal itu."
Sintya mendengus.
"Iya, bukan cuma aku yang diceritakan Leli, tapi temenmu itu juga menceritakan sepotong kisahmu padaku," kata Dani penuh kemenangan.
Sintya memiringkan bibirnya. Ia sedang tak ingin membicarakan tentangnya.
"Duh, jangan cemberut dong, Neng. Nanti cantiknya hilang. Saranku sih, ganti nomor aja. Dia pasti akan berhenti menghubungimu."
"Aku sudah mencobanya, Dani. Dia selalu berhasil mendapatkan nomorku. Berapa kali kuganti tetap saja."
"Wah, pria yang gak punya malu," tanggap Dani.
"Hei, ngomong-ngomong, kamu gak ngapelin cewekmu? Ini malam minggu loh."
Dani menggeleng. "Tampaknya Leli gak menceritakan bagian terpenting deh."
"Apa itu?" Sintya penasaran.
"Walaupun kata orang aku playboy, aku ini masih setia dengan kesendirianku. Masih mencari yang cocok. Mungkin ... mungkin saja itu Neng," ujar Dani pelan.
"Hahaha," Sintya tertawa lepas. "Ah, kamu itu ... gak lah ..."
"Kenapa? Karna aku brondong?" tanya Dani serius.
Sintya menghentikan tawanya lalu ia tersenyum. "Bukan ... bukan karena usia. Tapi ..."
"Kamu masih berharap dia datang dan kembali mengambil cintanya yang tertinggal di ruanh hatimu yang terdalam?"
Sintya terpana. Bukan jawaban itu yang ingin ia utarakan.
Sintya menggeleng.
"Aku ... aku hanya belum siap kembali patah hati."
"Aku siap mengobati bila kamu patah hati, Neng." Dani berujar serius.
Sintya tertawa. "Aduh, kenapa jadi kaku begini sih."
Dani tak menampilkan ekspresi apa pun.
"Neng, serius. Meski kamu belum mengenalku, aku sudah mengenal siapa kamu dalam beberapa hari percakapan kita. Ya, tak bisa dibilang percakapan sebenarnya karena kita hanya dipertemukan lewat pesan-pesan dan suara di balik jaringan seluler. Tapi itu sudah cukup membuatku tahu bagaimana hatimu."
"Danii... jangan ..."
"Ssst. Pelan-pelan saja. Aku ada di sini. Saat kamu butuh, Dani ada."
Sintya tersenyum. "Kamu akan jadi teman terdekatku."
Teman? Dani mengembuskan napas pasrah.
"Mungkin ..."
Sebuah panggilan telepon mengganggu keheningan.
Sintya menatap layar ponselnya. Nomor tak dikenal. Pikirannya tertuju pada teman kerjanya di basecamp.
Ia menjawab panggilan itu.
"Sin?"
Jantung Sintya berdegup kencang. Ia lalu menutup sepihak.
"Siapa?"
"Dia."
Dani paham siapa yang menelepon. "Sudah jangan diladeni." Ada sedikit perasaan posesif dalam hatinya. "Sini hapenya."
Baru saja ia hendak memblokir nomor tersebut, sebuah pesan masuk.
"Aku sudah di dekatmu. Siapa laki-laki itu? Kamu hanya milikku."
Dani berdiri. Matanya beredar. Ia mencari 'dia'.
"Neng, sebaiknya kamu masuk. Dia ada di sini."
"Apa?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro